Konon katanya Sikopid bentar lagi lewat. Normal Baru cuma jadi dongeng sebelum tidur. Dulu katanya pernah ada dan kini sudah mulai dilupakan. Sebagian orang sudah kebelet pengen balik lagi kayak dulu; kerja dari kantor hingga bermacet-macetan. Tapi selama dua tahun ini ada disrupsi berupa kebiasaan baru yang membuat sebagian lainnya udah males beranjak dari rumah. Buka laptop, pake kemeja dan celana pendek, ogah keluar, apa-apa tinggal pesan dan minim interaksi secara fisik. Tapi dasar namanya manusia, sudah pasti rada hipokrit atau munapikun juga. Giliran urusan kerja, maunya tetep dari rumah. Pas diajak reuni, arisan, kumpal kumpul, mana mau lewat ngejum doang. Nggak berasa katanya. Sementara itu banyak kantor sudah menerapkan kebijakan untuk kembali masuk. Bahkan ada juga yang konsisten begitu meski pandemi sedang menggila kemarin. Katanya biar disiplin, demi efektivitas kerja dan juga logika konvensional soal konsep kerja itu sendiri; masa' lu udah dibayar tapi nggak kelihatan muka?
Jadi hal yang penting untuk direnungkan adalah, mana yang sebenarnya cucok buat di era pasca Sikopid semacam ini; kerja dari rumahkah, tetep datang ngantorkah, atau kombinasi keduanya? Jawaban yang cepat dan kompromis tentu saja adalah melakukan keduanya. Kerja dari rumah atau WFH punya tantangan sendiri; mulai dari internet yang lelet, berbagi tugas dan beban kerja domestik, hingga urusan kantor yang tetap membutuhkan kehadiran fisik seperti tandatangan basah hingga koordinasi langsung tatap muka. Sedangkan kerja dari kantor atau WFO sudah pasti akan berurusan dengan kemacetan, rasa lelah yang nggak perlu mulai dari jalan hingga stress ketika berhadapan dengan orang, harus pake baju dan sepatu serius serta tidak lupa dandan, tidak lupa juga pengeluaran tambahan mulai dari parkir hingga makan siang. Akan tetapi kombinasi keduanya juga jauh lebih sulit. Pertama, tidak semua orang punya privilese untuk WFA atau Work From Anywhere, menggabungkan kedua fungsi seperti kantor di rumah, atau kantor dan rumah di mana saja. Kedua, tidak semua pekerjaan bisa dengan WFH apalagi WFA. Masuk dalam sisi kategori itu adalah semisal support yang tidak bertemu dengan klien atau orang lain, sedangkan sales, marketing atau workforce yang bersifat ujung tombak sudah pasti harus bertemu. Ketiga, dari sisi level pekerjaan adalah semakin tinggi maka semakin besar kemungkinan untuk berkoordinasi dengan banyak pihak baik internal maupun eksternal. maka sudah pasti pula harus bertemu dengan pihak-pihak lain secara langsung dan tatap muka.
Jadi, mimpi basah milenial untuk bisa bekerja dari rumah menjaga kerapuhan sifat introvert serta menghemat biaya itu semakin sulit untuk dilakukan. Malah sebaliknya, atas dasar kebutuhan maka second job, third job bisa jadi diambil. Mau WFH, WFO, WFA nggak masalah juga ternyata. Lain cerita kalo anak orang kaya; ngambil kerjaan inti bahkan tambahan pun dengan alasan mau belajar lebih banyak. Apalagi buat mereka yang baru berumah tangga; punya anak satu dua masih kecil tentu butuh biaya yang sangat besar dan tidak cukup hanya mengandalkan satu dua sumber gaji sebagai penghasilan tetap. Let's say sekarang patokan UMR Jakarta 4,6juta. Buat para profesional muda kerah putih tentu maunya bisa dua digitlah minimal. Dengan kesadaran akan minim skills selepas kuliah, maka tawaran apa aja diambil dulu. Dalam hitungan bulan jika nggak cucok maka rerata akan cari lagi dan membandingkan take home pay yang diperoleh termasuk gaji. Peluang semacam itu akan terus mengecil hingga memasuki usia 30an dan mulai beralih pikir untuk mencari kenyamanan. Sebab berpetualang di dalam pilah pilih kerjaan hanya asyik kalo masih muda, punya banyak energi dan hidup sendiri. Semakin tua, badan mulai loyo, kemakan lelah di jalan, maunya yang pasti-pasti aja. Tidak mengherankan jika memasuki usia segitu, udah males cari-cari lagi meski jiwa meronta nggak betah. Hutang, cicilan dan bayaran sudah pasti nambah dan membesar. Bakal ribet kalo harus mikir yang lain kan?
"Most of us spend too much time on what is urgent and not enough time on what is important" ~Stephen Covey
Tentu saja masih ada yang bertahan untuk bisa menjaga sisa privilese yang dimiliki; entah karena orang tua masih mampu, pasangan bergaji lebih besar, atau ada sumber-sumber keuangan pasif yang bisa dimanfaatkan. Pertanyaannya, mau sampai kapan? Sebab era pandemi yang katakanlah mau berlalu ini tidak memberikan learning yang sungguh untuk mengubah gaya hidup manusia di Endonesah. Rerata sih sekarang udah biasa ngejum atau menggunakan teknologi streaming lainnya. Tapi kemajuan seperti itu sudah dianggap given atau selayaknya terjadi sejalan dengan wabah. Kalo pandemi selesai ya disrupsi dianggap selesai juga. Padahal harus diakui juga bahwa di masa depan orang juga harus bisa lebih antisipatif bukan saja terhadap kemungkinan Sikopid lain, tapi juga seandainya situasi membuat semua harus kembali mengandalkan kegiatan dari rumah. WFH mengasyikkan, tapi nggak asyik buat bisnis yang udah keluar duit banyak nyewa bahkan beli ruangan. Selain itu, perspektif soal kerja itu sendiri idealnya memang bertambah. Tidak melulu hanya dari kantor, tidak melulu gaji, tidak melulu kerah putih yang bisa menghasilkan jumlah besar. Masih banyak peluang lain yang bisa digunakan senadainya mau tetap darti rumah atau di mana saja. Orang tidak harus bekerja selamanya di bawah orang lain. Ada juga yang nekad buka usaha sendiri dan bisa berhasil.
Sebab memasuki usia 40an, umumnya orang sudah mulai harap-harap cemas dan gelisah seandainya karir dianggap cuma gitu-gitu doang. Udah nggak kemana-mana, dibalap pula sama yang muda. Antrian tambah panjang, boss lebih junior juga. Gaji kagak naik-naik, mikir ntar mau pengsiun jadi apa. Hal terburuk adalah ketika sudah memasuki usia senja malah nggak ada tabungan, simpanan dan atau investasi. Pengeluaran selama ini bisa dikatakan lebih besar pasak daripada tiang. ada hutang, cicilan dan bayaran yang masih menunggu. Tapi tenang aja, itu masih lama kan? Mereka yang 40an sekarang aja nyantai-nyantai bebek kok; di permukaan tetap cengengesan tapi di bawah kaki sibuk panik mengayuh cari cuan. Itu pun yang beneran paham. Kalo nggak, ya tiduran aja di rumah berasa masih Sikopid blom lewat.