Kita masih ingat sekitar dua tahun, tepatnya 2 Maret 2020 ketika Sikopid pertama terjadi di Indonesia. Nggak ada yang menyangka bukan? Reaksi orang saat itu masih songong; mulai dari orang biasa sampe pejabat cenderung menganggap remeh. Cuma flu biasalah, minum air jahe cukuplah, Sikopid nggak mempan di daerah tropislah dan sebagainya. Bahkan keremehan seperti itu menjadi bertambah konyol dengan segala lelucon dan olok-olok bahwa bangsa ini tangguh dan nggak bakalan menjadi wabah yang mematikan. Kenapa? Sebab sebelumnya sudah ada flu burung, flu Hongkong, dan kawan-kawannya itu toh anyep sebelum masuk Endonesah.
Becandaan itu dengan segera menjadi kepanikan ketika korban nyawa mulai berjatuhan. HIngga saat ini sudah 6,4 juta jiwa lebih yang pernah positif terkena Sikopid dan hampir 158 ribu di antaranya tewas meregang nyawa. Kepanikan itu kemudian membuat orang menjadi irasional. Mulai parno dengan situasi sementara pemerintah sendiri persis kayak orang tolol karena yang tadinya arogan kemudian mau tidak mau harus menyesuaikan diri meski awalnya bergumul dengan akronim. Wajar saja, bangsa ini kan gila singkatan. Apa aja disingkat-singkat. mulai dari PSBB, ODG, hingga kemudian PPKM yang terus diulang per dua minggu. Vaksin yang dulunya masih pake skala prioritas kemudian digenjot biar nggak mubazir. Oh iya, selain gila singkatan, bangsa ini juga gila privilese. Mereka yang dapet vaksin harus pake syarat birokrasi ini itu mulai dari kopi KTP, bahkan sempet juga ditanya KK. Padahal katanya sudah era digital, tapi tetap saja mengandalkan kertas.
Jumlah yang tewas sebanyak itu tentu menyisakan duka hingga sekarang. terlebih pada tahun 2021, ketika sedang mencapai puncaknya. Ada saja setiap hari yang meninggal. Berbarengan dengan itu, Work From Home juga menjadi semakin gencar. Orang menghindari resiko tertular berpapasan dengan orang lain dengan tidak masuk kantor. Bagaimana suasana di rumah. Jika masih punya ruang privat dan internet, tentunya bisa bersyukur. Sebab ada juga yang umpel-umpelan setiap hari ketemu muka malah menimbulkan ketegangan sosial tersendiri. Rumah tangga banyak yang bubar karena sudah sama-sama di rumah, tidak ada ruang dan tidak ada kerja. Apalagi yang mengandalkan nafkah dengan turun ke lapangan atau jalan semisal buruh proyek hingga supir ojol. Anyeb pasti.
Kerja dari rumah adalah hal yang biasanya bagi sebagian orang yang memang secara ekosistem sudah menerapkan itu jauh sebelum pandemi. Akan tetapi itu tidak biasa bagi para birokrat atau pekerja kantor yang memang punya tradisi 'ngantor' antara jam 9 hingga jam 5 sore. Banyak yang mengira WFH itu santai, sampe ditinggal maen sepedaan yang memang lagi ngetren selama wabah. Ini lucu juga; dah tau ada penyakit masih aja main-main. Saking santainya, sampe tidak memikirkan gimana koneksi internet yang layak. Baru kemudian orang menyesuaikan diri meski berat. WFH memang memberikan keleluasaan. Nggak perlu pake celana panjang dan sepatu yang tetap menganggur hingga dua tahun. Tapi WFH juga melelahkan karena orang harus melototin layar, fokus dan bahkan bikin mata capek. Meski demikian ada juga orang yang kemudian bergenit-genit dengan streaming; mulai dari bikin seminar terus menerus dan sudah pasti ada yang berbayar dan memberi honor.
"Life doesn’t get easier or more forgiving, we get stronger and more resilient." ~ Steve Maraboli
Kini pandemi mulai dilihat mereda. Normal Baru yang dulu digembar-gemborkan itu mulai menghilang entah kemana. Pertama, ada ketidakpatuhan yang muncul dengan mulai melepas masker. Kalo soal cuci tangan, sebagian masih ada yang membawa cairan antiseptik. Tapi jangan tanya soal jaga jarak. Bangsa ini kan demen banget dengan hidup kolektif sosial. Mulai dari arisan hingga duduk dempet senyum dengan orang tak dikenal pun jadi. resiko penularan jelas jadi tetap tinggi. Kedua, banyak kantor yang mulai memaksa karyawannya untuk kembali bekerja WFO. Alasannya biar tetap ada kontrol, disiplin, efektivitas blabla. Kampus pun juga demikian. Kalo kagak, bisa mubazir tuh investasi bangunan dan meja kursi sebelum wabah. Proses kehidupan digital yang sempat bergerak maju lima tahun lebih cepat gegara pandemi dimana orang sudah terbiasa online, kini mundur lagi dengan mengandalkan tatap muka. Padahal biar gimana dengan digitalisasi ada efisiensi yang sulit di raih dibandingkan bertemu secara fisik.
Artinya, segala konsep tentang Normal Baru sudah hilang begitu saja. Namanya juga cuma konsep kan? Balik Normal kini menjadi pilihan. Orang sudah jenuh terisolasi. Jiwa kolektif sosialnya meronta-ronta pengen jalan-jalan, healing, staycation, arisan, cipika cipiki, hingga kumpal kumpul kagak jelas apa tujuannya. Jalanan kembali macet, polulis dan buang bensin dianggap sebagai sebuah kewajaran yang dirindukan. Kalo pun masih ada Sikopid, sejalan dengan waktu dan mutasinya sudah pasti dianggap semakin remeh lagi. Iya sih lebih cepat menular, tapi nggak terlalu mematikan ya? Persis seperti flu biasa ajalah. Entah kalo ada penyakit yang lebih brutal lagi; kembali kita bersongong-songong dahulu sebelum panik, parno dan kemudian kembali normal.
Ah, ternyata memang tidak pernah belajar.