Aktivitas berpikir adalah sesuatu yang lazim dilakukan orang, entah dalam proses menganalisis sesuatu, mengkaitkan satu kejadian dengan yang lain, hingga memecahkan masalah. Berpikir sudah pasti punya kaidah, maka disebut dengan bernalar. Sebab kalo tidak, sama saja dengan memelihara bentuk liar seperti otak atik gathuk, cocoklogi dan sejenis kesesatan epistemiknya. Akan tetapi yang tidak dapat disangkal adalah berpikir membutuhkan energi. Ia bisa menguras energi dengan luar biasa ketika otak digunakan secara fokus dan terus menerus. Uniknya, sebagian orang menganggap bahwa aktivitas semacam ini justru menghasilkan energi tertentu. Dengan kata lain, berpikir yang dilakukan secara intensif, terus menerus dan fokus akan mampu mewujudkan kenyataan dari apa yang dipikirkan. Misalnya, dengan berpikir bahwa hidup ini akan sukses maka segala kemudahan akan datang dengan sendirinya. Berpikir bahwa kita menginginkan X, maka X akan dapat dimiliki.
Apakah benar demikian? Buat mereka yang percaya dengan law of attraction atau hukum ketertarikan tentu saja itu adalah benar. Sebab dengan melakukan hal yang positif, maka hal yang positif lain akan datang. Ada ketertarikan yang sama. Semisal, orang dengan karakter yang menyenangkan dianggap akan mengundang teman yang menyenangkan juga. Orang yang licik bakal ketemu yang sejenis. Lantas bagaimana dengan berpikir? Tentu saja akan dilihat bahwa berpikir dalam skala, eskalasi, jenis dan fokus tertentu akan mengundang hal yang sama pula. Akan tetapi buat sebagian orang itu dianggap mustahil. Pertama, belum ada penelitian lebih dalam mengenai aktivitas berpikir yang proses dan output semacam itu adalah mendapat apa yang diinginkan. Sementara input yang maksimal dilihat belum tentu memberi hasil yang nyata. Kedua, dengan posisi semacam itu maka apa yang dianggap sebagai ketertarikan masih ada dalam ranah pseudosains, atau tidak memiliki bentuk ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Oleh karena itu, apakah seseorang dengan berpikir secara serius semisal akan kaya raya kemudian bisa terwujud? Bisa iya, bisa tidak. Ini bisa dilihat mulai dari sumbernya terlebih dahulu yakni kegiatan otak. Aktivitas berpikir sefokus dan seintensif apapun tentu saja punya batasan dan jangkauan tersendiri. Ada input personal berupa persepsi, kategori, pengalaman dan data yang bisa jadi terbatas dan berbeda satu sama lain sehingga menghasilkan definisi yang berbeda pula. Kaya dalam pemahaman si A belum tentu sama dengan si B. Ketika si A mendefinisikan kaya raya berdasarkan input personal yang dia miliki dan berupa "hidup nyaman sejahtera cukup tak kurang suatu apa", itu pun masih harus dirinci terlebih dahulu. Apa yang dimaksud dengan nyaman? Sejahtera? Cukup? Tak Kurang suatu apa? Bisa jadi si A membayangkan bahwa dirinya mampu bayar hutang, tak dikejar penagih dan berhenti sampai di situ. Lain halnya dengan si B yang memberi definisi bahwa kaya raya adalah "segala sesuatu melimpah berlebih". Sudah pasti rinciannya akan berbeda. Nah, jika definisi soal kaya raya saja sudah berbeda, maka pencapaian seseorang tentang hal itu belum tentu bisa diterima dan dipahami sama oleh yang lain kan?
Dengan demikian, aktivitas berpikir tidak bergantung kepada input maupun output yang hendak dihasilkan. Aktivitas berpikir adalah proses kegiatan otak. Jika dilakukan dengan intensif dan fokus, maka hasil apapun yang diperoleh adalah cerminan dari (a) masukan macam apa dan (b) usaha seperti apa yang dilakukan sehingga sesuai dengan harapan yang dinginkan. Maka mikir aja nggak pernah cukup. Usaha juga penting. Sebab kalo tidak cuma jadi pepesan kosong atau mimpi basah. Usaha yang dilakukan tentu saja juga harus selaras dengan apa yang dipikirkan, yakni berdasarkan input personal yang ada. Semisal mau jadi kaya raya, maka basis pengetahuan, sarana, pergaulan dan akses untuk itu harus pula dikuasai. Mulai dari pengelolaan kepemilikan, investasi, berkawan dengan siapa, pengembangan bisnis, logika dan persepsi yang diasah, serta habitat mana yang harus dimasuki. Ibaratnya kalo mau jadi rampok ya harus bergaul dengan rampok. Masa dengan copet? Dengan menciptakan ruang yang sama maka otomatis akan mengundang isi yang sejenis. Disinilah law of attraction berlaku. Jadi ketertarikan bukan sesuatu yang given atau sudah ada sebelumnya. Ketertarikan itu by design atau diciptakan.
"Thoughts become things. If you see it in your mind, you will hold it in your hand." ~Bob Proctor.
Jadi berpikir untuk bisa mewujudkan sesuatu bukan sekedar bermain dan berputar di kepala. Ada proses yang bukan juga hanya sekedar dijalani tapi dibuat. Maka pameo soal pikiran yang mengarah, fokus dan bertubi-tubi bisa mewujudkan sesuatu itu benar JIKA ada unsur lain yang menyertai. Mulai dari bagaimana input yang dilakukan, hingga output yang dihasilkan. Selain itu ada timing atau waktu yang juga harus diperhitungkan. Nggak bisa buru-buru, nggak bisa juga terlalu santai. Itulah sebabnya dikatakan bahwa segala sesuatu ada ruang dan waktunya. Pikiran harus bisa diberdayakan secara maksimal selaras dengan tindakan. Kalo mikir konseptual doang ya sama aja masturbasi otak. Gitu-gitu doang tapi ngeluh mulu nggak pernah bisa sukses. Ya wajar aja, bisanya cuma segitu. Apalagi kalo yang nggak pake mikir; maen sikat embat terus lewat. Bahaya kan?