Urusan utang piutang bikin orang suka jadi jengah, sebab biasanya menjadi berpikir ulang atau melihat ada biaya yang harus ditanggung. Padahal utang dalam konteks bisnis itu biasa. Pertama, ada pembiayaan yang harus dilakukan lebih dari sekedar modal awal yang dimiliki. Jika hanya mengandalkan apa yang tersedia, bisa jadi nggak akan cukup. Menambah modal tidak segampang menunggu seperti berharap dari tabungan atau simpanan. Utang adalah cara untuk bisnis bisa berkembang. Kedua, utang dalam konteks bisnis sudah pasti untuk pertumbuhan yang produktif dan bukan konsumtif. Orang berutang bukan buat hepi-hepi punya duit beli ini itu, tapi masuk dalam skema terencana baik pengembangan maupun pembayaran agar bisnis bisa tumbuh besar dan lancar. Misalnya, beli kendaraan operasional untuk distribusi yang dihitung jauh lebih hemat ketimbang sewa. Bukan beli mobil mewah buat pamer dong pastinya. Ketiga, dengan skema tersebut maka da pembayaran berikut bunga. Sebab si pemberi pinjaman, entah personal atau institusi juga perlu tumbuh. Mau sedikit atau banyak, uang tetap harus berputar agar semua bisa memanfaatkannya secara efektif dan memberi hasil.
Tapi jika utang dilihat dari konteks personal, tentu saja kemungkinan besar akan jauh dari harapan. Sebab umumnya orang ingin meminjam tapi suka nggak jelas juga motif dan peruntukkannya. Jika ingin meminjam dengan jumlah besar, sudah pasti dengan siapa pun harus ada jaminan. Semua tergantung dari posisi masing-masing; apakah kenal, apakah bisa dipercaya, apakah tau pasti peruntukkannya. Sebab jumlah besar dalam kepentingan bisnis dan personal sudah pasti mengandalkan trust. Rasa saling percaya itu penting. Mereka yang sudah kenal lama pun belum tentu bisa dipercaya, tapi yang baru pun bisa sebaliknya. Maka jaminan nggak harus berupa benda atau materi, tapi juga hitam di atas putih atau omongan. Nah, yang terakhir ini paling berat karena sekali lancung tak menepati bisa dipastikan nama baik tidak akan pulih selamanya. Sementara peminjaman dalam jumalah kecil, lebih mengandung jebakan betmen. Begitu ditagih, si pengutang bisa misuh-misuh; "ah segitu aja lu perhitungan!" Repot kan jadinya?
Perilaku semacam itu jelas memperburuk persepsi orang terhadap urusan hutang piutang. Ketika minjam sudah seperti gembel, tapi begitu jatuh tempo orang yang memberi pinjaman malah jadi kayak pengemis. Belum lagi jika motif pinjaman hanya sebatas untuk keperluan konsumtif. Ini punya resiko membesar dan tidak memberikan hasil apapun. Mengonsumsi hanya menghabiskan baik dalam waktu cepat atau lambat. Menimbulkan pula kebiasaan untuk menggampangkan sumber-sumber penghasilan dan skema pembayaran. Tetiba muncul ucapan "pake duit elu dulu ntar gajian gue ganti". Nah, mau bilang apa? Terlebih jika peminjaman seperti itu baik kepada personal mau pun institusi, memiliki skema pengembalian dengan bunga. Sudah menggampangkan, kini ternyata malah jadi berat. Apalagi sama pinjol, bisa bertumpuk-tumpuk jadinya.
Alhasil orang jadi semakin benci terhadap hutang dan bunga. Sebab dianggap memberatkan, mencekik bahkan membunuh. Ini tidak sepenuhnya salah, tapi entah mengapa seperti membalik masalah. Analogi yang sama adalah seperti situ nyebrang jalan seenaknya pas lampu kuning, tapi malah ngamuk maki-maki diserempet mobil yang lewat. Kebiasaan berhutang yang tidak pada tempatnya seperti hanya untuk kebutuhan mengonsumsi, enggan memperhatikan skema, lebih dari kemampuan bayar yang ada, sudah pasti akan menyulitkan. Tapi kenapa dilakukan? Pertama, perilaku yang anggap enteng, berat sebelah dan menganggap pemberi hutang adalah setan alas yang harus dihindari. Padahal tidak ada penawaran jika ada permintaan. Kedua, kebiasaan mengonsumsi tanpa perhitungan dan sekedar yakin akan pemasukan permanen seperti gaji membuat orang tidak punya rencana cadangan. Bagaimana jika terjadi sesuatu yang membutuhkan biaya secara mendadak? Sibuk beli ini itu tapi nggak mikir menyimpan apalagi menginvestasi. Ketiga, dalam proses interaksi hingga transaksi tidak ada trust yang dibangun. Orang umumnya hanya mengandalkan kedekatan. Awalnya biasa aja, lama-lama kok dekat, bikin nyaman dan saling curhat, tau-tau bilang "gue pinjem duit dong". Gimana nggak shock jadinya.
"Chains of habit are too light to be felt until they are too heavy to be broken." ~Warren Buffet
Jadi urusan utang piutang bukan perkara remeh. Tapi dengan mudahnya sekarang orang meminjam, tidak berbanding lurus juga dengan kesadaran untuk menghitung resiko. Tau-tau hape berdering terus, ditagih sulit, lari sama sini, pura-pura lupa atau blagak pilon kalo ditanya. Itu baru sama temen, gimana sama pinjol atau bank? Sudah pasti resiko besar meski cuma telat bayar. Duit dipinjam cuma buat senang-senang. Bunga menumpuk, gagap sampai baru nyadar kemudian sudah diblacklist masuk daftar BI. Eh malah nyalahin bahwa itu riba, nggak bener, masuk neraka dan sebagainya. Padahal semua salah elu doang; kenapa terlalu keburu napsu cuma buat memiliki yang dibeli bahkan bukan dengan duit sendiri hanya untuk memberi kesan bagus kepada orang yang bahkan pula belum tentu kenal. Emang lu gila aja. Dasar tukang ngemplang.