Dalam hidup selalu akan ada pilihan. Mulai dari yang paling sederhana yakni satu di antara dua, hingga yang paling rumit dan kadang tetap sama juga berupa satu di antara dua. Hal yang membedakan adalah kompleksitas masalah dan kedalaman, sehingga pilihan yang dianggap paling sederhana sekalipun ternyata bisa dilematis sehingga bisa tidak mudah dilakukan. Demikian juga dengan faktor usia serta pengalaman yang membuat keputusan juga turut berperan. Konon katanya otak bagian prekorteks yang berfungsi secara kognitif dalam perannya membantu pengambilan keputusan baru berkembang pada saat usia duapuluhtahunan. Tidak mengherankan jika ada istilah abege labil sebagai masa-masa sulit untuk dapat memutuskan sesuatu. Sama halnya dengan pengalaman, sebab itulah yang membuat seseorang menjadi dewasa. Usia boleh bertembah, tapi jika pengalaman sekaligus wawasan minim maka seseorang tidak ubahnya seperti anak kecil yang tidak pernah lepas dari kemanjaan. Dewasa nggak bisa sekejap kan?
Selain itu keputusan juga dipengaruhi oleh hal lain seperti pergaulan, lingkungan, habitat bahkan ekosistem di mana seseorang tinggal. Didikan keluarga dan dengan siapa dia bermain akan turut mempengaruhinya dalam menentukan pilihan. Semua menentukan bagaimana ia berpikir, bertindak dan memutuskan dalam konteks preferensi, data yang tersedia, fakta yang dialami, serta pilihan-pilihan apa saja yang menurutnya memungkinkan untuk diambil. Semakin luas dan bertingkat sebuah pergaulan, maka preferensi, data dan fakta yang dijadikan rujukan bisa sangat beragam. Artinya, terbuka peluang kemungkinan untuk menatap dari perspektif yang berbeda. Bayangkan jika seseorang hanya mengandalkan pergaulan yang homogen, monoton dan nggak banyak dinamika. Sudah tentu apa yang diputuskan dan dipilih tidak aka banyak variasi dan pengembangan.
Lantas apa hubungannya hidup dengan semua itu? Sejak awal seseorang akan dihadapkan pada pilihan-pilihan yang bersifat normatif. Mulai dari soal pendidikan formal mau sekolah dan kuliah dimana, urusan karir seperti mau kerja apa, menikah seperti pasangan hidup yang bagaimana, mau tinggal dimana, dan seterusnya. Itu bersifat normatif, artinya suka atau tidak sebagian besar orang akan dihadapkan pada pilihan semacam itu. Pilihan-pilihan tersebut juga acapkali nyambung satu dan lainnya, sehingga preferensi, data dan fakta yang dimiliki sebagai modal pengambilan keputusan akan turut berpengaruh. Jadi di satu sisi kita tidak bisa menyalahkan nasib. Sebab nasib bukanlah sesuatu yang given atau sudah terjadi digariskan apa adanya. Hanya takdir hidup dan mati yang sudah pasti.
Nasib baik atau buruk ternyata juga banyak dipengaruhi oleh pengambilan keputusan itu sendiri. Semisal, orang yang malas sejak kecil akan memperlakukan ruang lingkup pergaulannya tidak berkembang. Berteman hanya itu-itu saja bahkan hingga sekolah dan lanjut kuliah. Ketika lulus, lapangan kerja juga menjadi terbatas bukan saja karena bidang ilmu yang sempit dan nggak laku, tapi juga temen dan relasi yang hanya segelintir. Ketika dapet kerja pun, nggak banyak improvement yang bisa dilakukan. Karakter sudah mengeras dan kondisi hidup juga kian terbatas. Soal jodoh? Ya sudah tinggal nunggu aja. kalo gelisah pun mulai berpikir gila kiri kanan sikat embat apa yang ada. Bandingkan dengan orang yang membuka diri sejak dini, mengolah pengalaman sehingga preferensi, data dan fakta di dalamnya semakin kaya. Dengan demikian banyak pilihan sehingga sekalipun seandainya ada yang gagal, tidaklah jadi masalah mengingat akan ada banyak rencana, banyak kanal dan banyak kesempatan sebagai hasil apa yang ditanam selama hidup.
Dengan demikian, pilihan yang keliru adalah banyak dipengaruhi oleh perkembangan pribadi seseorang ketimbang hanya menghadapi kondisi yang ada di luar. Pilihan yang salah itu adalah saat apa yang dihadapi tidak punya kesesuaian dengan hasrat atau keinginan. Padahal hasrat atau keinginan itu juga dipengaruhi oleh pengalaman yang membentuk perspektif. Semakin minim pengalaman, maka perspektif juga makin sempit. Semakin sempit perspektif, maka pilihan-pilihan juga terbatas. Pilihan yang terbatas memaksa orang hanya bisa melakukan sesuatu yang mungkin dia tidak sukai. Oleh karena tidak suka, maka akan ada ketidaksesuaian, konflik, tekanan dan besar kemungkinan kabur meninggalkan tanggung jawab yang lebih besar. Itulah sebabnya seringkali hasrat atau keinginan yang bahasa kerennya adalah passion penting untuk dimiliki dengan tepat dan benar.
“Every decision is easy once you make it. The important thing is to think carefully, make your decision, and then work to make your choice the right one. That is the secret to a happy life. There are very few wrong decisions in life, but very few people who are willing to make the effort it takes to make their decisions the right ones.” ~John Kramer
Kita bisa lihat bahwa passion masih dibentuk dalam fase pendidikan. Selalu ada ruang untuk salah ambil keputusan dan memperbaikinya. Akan tetapi jika sudah masuk dalam ranah karir atau jodoh, urusan itu semakin kompleks. Di masa sekarang menjadi seorang jendral atau guru besar, banyak yang hanya mengandalkan kemampuan secara administratif. Maka kualitas jabatan yang muncul akan jauh berbeda. Tidak lagi menjadi pemimpin atau pendidik, tapi berdamai dengan passion berupa menyampingkan kualitas dan mengedepankan pencapaian. Pokoknya sampe ke puncak, habis perkara. Demikian juga soal jodoh. Kulit-kulitnya dulu baru isinya, atau nggak peduli kulit langsung timpe. Konsekuensinya adalah pilihan-pilihan yang semakin kompleks atau rumit itu kemudian dijalani dengan terpaksa. Kalo sudah gitu, ngaku keliru pun ogah. Lebih baik menanggung malu ketimbang mundur teratur. Usia makin bertambah, pengalaman gitu-gitu doang, aktivitas sehari-hari cuma bolak-balik antara dua titik, perspektif semakin membeku dan nggak terima pendapat lain. Ujungnya malah baperan. Tambah sial merana aja kan?