Pandangan umum mengatakan bahwa senjata tajam terbuat dari logam yang harus cukup mumpuni. Apalagi pusaka seperti keris, tentu haruslah dari logam dengan kualitas dan mutu terbaik. Di masa sekarang, membuat pusaka tetap bukan pekerjaan yang remeh. Pertama, definisi tentang pusaka dipandang sebagai benda yang menakutkan. Tidak semua orang menginginkannya lebih dari barang pajangan atau souvenir. Ada anggapan bahwa memiliki pusaka harus dengan perlakuan khusus, ritual-ritual tertentu yang dianggap memberatkan bahkan bertentangan dengan keyakinan. Kedua, mendapat sebuah pusaka dilihat sebagai sebuah proses yang bersifat tidak masuk akal seperti penarikan benda dari alam ghaib hingga mengandalkan perdukunan dengan ketentuan harga yang relatif tinggi. Ketiga, banyak orang menggampangkan pembuatan pusaka seperti keris, hanyalah seperti proses barang modern yang tinggal didisain, dicetak dan diasah.
Pada hakekatnya, pembuatan sebuah pusaka terutama di Bali tidaklah seperti itu. Tentu saja ada proses yang sangat panjang, tidak saja dari sisi ritual yang memang menjadi prasyarat umum karena pusaka adalah identitas personal seseorang atau tempat tetapi juga dari sisi teknis material yang membutuhkan keahlian, pengetahuan metalurgi, teknik penempaan hingga mematangkan bahan logam yang ada hingga menjadi sebilah keris. Hal terpenting adalah bagaimana pembuat pusaka seperti seorang pande atau empu pembuat keris mampu melakukan reinovasi dalam pekerjaannya. Istilah reinovasi adalah padanan yang pas untuk menyebut sebuah kegiatan dalam konteks menemukan kembali. Mengapa? Sebab reinovasi adalah memperkenalkan ide-ide baru di masa sekarang, yang sebenarnya sudah ada pada masa lampau dan terlupakan. Dengan demikian reinovasi adalah menghidupkan kembali teknik-teknik tertentu, dalam hal ini adalah pembuatan keris pusaka.
Hal itulah yang dilakukan oleh Pande Made Gde Suardika, dari Prapen Wesi Aji Denpasar. Prapen yang terletak di banjar Tegal Kuwalon,Sumerta Kaja Denpasar ini melakukan reinovasi dengan mengkonstruksi ulang teknik pembuatan keris pusaka yang pernah dilakukan leluhurnya di masa silam. Upaya untuk melakukan rekonstruksi jelas tidak mudah, sebab data primer berupa catatan di dalam lontar harus dikumpulkan dari beragam sumber. Catatan itu ada baik dalam bentuk tertulis, maupun lontar tanpa tulis yakni pengetahuan rahasia yang diturunkan secara lisan. Secara genealogi historis, Pande Made Gde Suardika adalah keturunan ketujuh dari garis soroh atau klan Pande Tonja Denpasar. Klan ini di masa lampau adalah pembuat pusakabagi raja dan petinggi kerajaan Badung. Setelah terjadinya Puputan Badung pada tahun 1906 dan kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, posisi kerajaan sebagai kekuasaan feodal semakin surut. Peran klan Pande juga mengecil dan kalau pun masih berurusan dengan logam tidak lebih dari pembuatan perkakas seperti alat pertanian atau pertukangan. Baru kemudian pada abad ke-21 tepatnya di tahun 2005, Pande Made Gde Suardika menghidupkan kembali prapen (tempat penempaan keris) untuk menempa pusaka Bali.
Di Prapen Wesi Aji inilah upaya untuk menempa keris berjalan dan dilakukan sangat berbeda dengan kebiasaan umum yang ada sebelumnya. Pertama, seperti halnya di Bali maka pembuatan pusaka dilakukan dengan ritual ketat yang menghubungkan antara aspek sekala (material kasat mata) dengan niskala (imaterial tak terlihat). Keduanya memiliki fungsi sebagai jembatan atau penghubung fisik dan rohani dalam setiap kegiatan manusia, terlebih dalam menempa keris. Akan tetapi fungsi Prapen Wesi Aji adalah lebih dari sekedar itu. Selain sebagai tempat pemujaan Dewa Brahma yang menaungi para pencipta pusaka, prapen juga berfungsi menjadi tempat aktivitas sosial yakni berkumpulnya para penggemar, pencinta dan penikmat bilah tosan aji tidak saja dari Bali, tetapi juga luar Bali bahkan mancanegara.
Tidak terhitung baik individu maupun lembaga seperti para raja, sultan, pejabat tinggi negara, pemuka agama, utusan desa, hingga orang biasa yang tidak dikenal, kemudian datang berbincang dan berdiskusi dengan hangat mengenai keris bersama dengan Pande Made dan keluarga besarnya. Kedua, dengan demikian prapen menjadi tempat yang sangat terbuka dan tidak memandang siapapun yang datang. Artinya, siapapun yang berkepentingan dalam soal keris baik urusan tukar pikiran, menambah pengetahuan hingga proses nuasen atau memohon pembuatan kerisuntuk tujuan tertentu akan diterima tanpa melihat latar belakang masing-masing. Maka tidak mengherankan jika Prapen Wesi Aji selalu kedatangan tamu tidak saja dari soroh atau klan Pande, tetapi juga klan lain seperti beragam soroh Brahmana, Ksatria dan lainnya. Keterbukaan semacam inilah yang menjadi keunikan dari Prapen Wesi Aji sejalan dengan situasi masa sekarang.
Dengan dinamika semacam itu yangterjadi, maka inspirasi untuk membuat keris harus tetap berjalan mengikuti zaman. Seperti diketahui bahwa sebilah keris Bali memiliki tiga unsur logam yang bersifat mutlak ada yakni besi, baja dan nikel. Di era lampau, memperoleh ketiga bahan baku itu dilakukan melalui penambangan dan perdagangan. Seperti halnya nikel pada periode masa kerajaan di Nusantara, memiliki sumber yang sangat terkenal yakni di daerah Luwu, kini Sulawesi Selatan. Banyak senjata pusaka atau polo bessi dalam bahasa Bugis menggunakan dari daerah ituyang memiliki kandungan nikel sangat tinggi. Di zaman Majapahit, satu kilo besi Luwu dihargai setara dengan lima puluh kilo beras. Penggunaan besi dengan kandungan nikel tinggi ini masih berlaku hingga sekarang jika melihat pembuatan badik atau kawali Bugis seperti di daerah Bone hingga Sidenreng Rappang yang memiliki bilah berwarna putih, tekstur agar kasar dan mengkilat. Kandungan nikel yang tinggi menjadi ciri khas di dalam pembuatan senjata pusaka Bugis dan Makassar. Selain itu, masih ada upaya untuk mencari nikel melalui meteorit. Ini agak sulit karena seandainya ada meteor yang jatuh pun biasanya hanya tersisa sedikit dan kandungan yang ada belum tentu juga cocok baik secara sekalamaupun niskala untuk ditempa menjadi bahan sebuah pusaka.
Pembuatan barang logam dari pasir sebenarnya adalah teknik yang sudah dikenal di Nusantara sejak masa lampau. Hanya saja, secara perlahan pengetahuan dan kemampuan tersebut lama-kelamaan surut, terutama setelah kedatangan bangsa Eropa yang memperkenalkan wrought iron atau besi tempa yang diperoleh melalui proses peleburan selain cast iron atau besi cor. Besi yang dihasilkan dalam bentuk wrought iron adalah jenis besi yang memiliki karakteristik lunak, ulet, dan berseratyang dihasilkan dari massa gumpalan besi yang relatif murni yang sebagian dikelilingi oleh terak (ampas menyerupai batu kaca yang tersisa setelah logam yang diinginkan telah dilebur). Selain itu, wrought iron biasanya mengandung kurang dari 0,1persen karbon dan menghasilkan satu hingga dua persen terak. Karena sifat dan karakteristik yang dimilikinya maka wrought iron lebih unggul untuk proses pengerjaan pembentukan logam dibandingkan dengan besi cor yang terlalu keras dan getas karena kandungan karbonnya yang lebih tinggi. Teknologi yang diperkenalkan bangsa Eropa tersebut di satu sisi memudahkan kebutuhan akan logam tempa untuk berbagai macam benda dan barang industri, namun di sisi lain membuat orang kemudian melupakan teknik dan proses yang dianggap rumit seperti mengubah pasir menjadi logam yang biasanya digunakan untuk kebutuhan benda pusaka.
Apalagi di zaman sekarang, memperoleh ketiga bahan baku baik besi, baja dan nikel jauh lebih mudah karena sudah ada faktor pembuatan khusus pabrikan dan juga distribusi perdagangan melalui online market place. Besi, baja dan nikel yang dihasilkan olehpabrik memiliki ukuran dan kandungan yang pasti serta tidak tercampur dengan unsur lain. Pembelian melalui pasar daring juga memungkinkan, termasuk bahan setengah jadi hingga sebilah keris utuh yang diperjual belikan. Bagaimana dengan meteor? Meski keasliannya kadang diragukan, ada saja penjual yangmenyediakan meteor baik dengan branding seperti Campo del Cielo Argentina atau Nantan China yang merujuk lokasi tempat jatuhnya meteor tersebut. Jika masih belum memadai, banyak unsur campuran lain yang bisa didapat seperti nikel atau bahkan titanium melalui benda-benda seperti velg
motor, kacamata, tongkat golf dan sebagainya. Hal semacam itu sebenarnya adalah lumrah di masa sekarang ketika akses dan informasi tidak lagi menjadi kendala bagi siapapun selama memiliki kekuatan finansial tertentu. Apalagi jika definisi tentang pusaka menjadi sebuah paradoks yang membingungkan. Di satu sisi, orang melihat sebagai benda yang menakutkan, tapi di sisi lain mereka yang memahaminya justru cenderung menggampangkan proses pembuatan dengan alasan komersial atau mengikuti selera pasar.
Itulah sebabnya, pembuatan keris di Prapen Wesi Aji telah sampai pada satu titik berupa langkah baru untuk menempa keris dari pasir. Pertama, dari sisi teknis ada alasan kuat untuk menelusuri kembali bahan dasar besi, baja dan nikel dari sumber pertama logam yakni pasir. Mengubah pasir menjadi logam sebagai tahap pertama juga membutuhkan pengetahuan dan teknik tersendiri. Upaya untuk memelihara dan merawat pengetahuan tersebut tentu saja tidak bisa hanya sekedar mengumpulkan sumber informasi tertulis dan lisan melainkan juga praktek secara langsung. Kedua, dari sisi spiritual, bahan dasar tersebut merupakan sebuah kemurnian tertentu. Murni di sini bukan soal besi, baja dan nikel yang bebas dari unsur material lain tetapi juga masih belum tersentuh dan langsung dari alam sebagai anugrah Sang Maha Pencipta. Hal ini sebab pembuatan sebuah pusaka diyakini sebagai sebuah proses yang juga mengandung komitmen dan konsistensi yang tidak terputus dari awal hingga akhir. Ketiga, dari sisi sosial ekonomis, pengolahan pasir menjadi logam dan kemudian benda pusaka bukan saja melelahkan dalam pengertian ruang dan waktu tetapi juga biaya kesabaran dan finansial yang mau tidak mau akan menjadikan benda pusaka yang dihasilkan memiliki nilai yang sangat tinggi. Di dalamnya bukan saja terkandung unsur sekala dan niskala tetapi juga simbol kerja keras, pengorbanan, kesukarelaan hingga persaudaraan. Sebab sudah menjadi kelaziman bahwa pembuatan pusaka di Bali seperti halnya di Prapen Wesi Aji tidak didasari oleh kegiatan yang bersifat transaksional. Semua aktivitas adalah bersifat konsensual seperti halnya ngayah (kerja sukarela) dan bentuk partisipasi secara kolektif dalam adat Bali. Tentu saja ini diasumsikan bahwa semua pihak yang terlibat tahu betul akan hak dan kewajibannya sehingga proses hidup prapen akan tetap berlangsung.
Tahap pertama dalam membuat keris dari pasir adalah dengan mengumpulkan bahan pasir dari berbagai tempat, yang diyakini masih memiliki unsur sekala berupa kandungan pasir besinya tinggi dan juga secara niskala yakni memiliki kesucian tertentu sepertidi gunung dan pantai. Dalam konteks materi, pasir yang memiliki kandungan besi tinggi adalah pasir hitam yang dikenal sebagai mineral feromagnetik. Pasir jenis ini dihasilkan dari aktivitas gunung berapi dan tercampur dengan mineral berat seperti magnetit dan silikat. Maka pasir hitam biasanya terdapat di wilayah baik dataran tinggi, sungai atau pantai yang dengan dengan gunung berapi. Sedangkan dalam konteks spiritual, lokasi tempat pengambilan pasir adalah tempat dimana ritual melasti atau upacara penyucian sebelum hari raya Nyepi di pinggir pantai, atau tempat sunyi untuk bermeditasi di pegunungan. Itulah sebabnya, pasir yang diambil dari kedua tempat tersebut secara konseptual dan simbolis merupakan bentuk Rwa Bhineda, atau dualitas keseimbangan yang berpengaruh kuat terhadap diri maupun semesta alam. Atas dasar pertimbangan dan perhitungan kedua makna dan konteks itu maka pasir hitam diambil dari daerah pantai Watu Klotok di Klungkung, pantai Padang Galak di Sanurdan hulu tukad atau sungai Unda di Sidemen Karangasem.
Pengambilan pasir hitam dari ketiga tempat tertentu mengikuti proses ritual yang biasa dijalankan di Bali. Ada perhitungan wariga atau waktu tertentu dan juga penggunaan sarana bebantenan atau sesaji untuk memohon kepada Sang Maha Pencipta agar proses tersebut dapat berjalan dengan lancar. Selanjutnya proses pengumpulan pasir hitam tersebut secara simbolis adalah wujud dari Segara Gunung, yakni pertemuan entitas yang berbeda tapi sama berupa pasir dari laut dan gunung. Pantai Watu Klotok dikenal sebagai tempatuntuk melaksanakan bagian dari ritual upacara-upacara besar yang diselenggarakan di Pura Besakih. Pantai Padang Galak yang merupakan muara sungai Ayung adalah bagian tidak terpisahkan dari kehidupan dan aktivitas keagamaan masyarakat di Denpasar termasuk prapen Wesi Aji, sedangkan sungai Unda yang bermuara di Sidemen adalah aliran dari sumber air di Gunung Agung yang merupakan tempat suci di Bali.
Tahap kedua adalah proses peleburan pasir yang juga mengikuti ritual berkaitan dengan waktu tertentu untuk mengubahnya menjadi bahan logam. Proses semacam ini jika diamati mirip dengan bagaimana para pembuat pedang di Jepang mengubah pasir menjadi tamahagane atau bahan logam untuk katana (pedang Jepang). Istilah tama (berharga) dan hagane (baja) memberi deskripsi tentang sebuah bahan logam untukbakal senjata yang bernilai tinggi. Sementara itu di Prapen Wesi Aji,penyebutan tentang bahan serupa yang dihasilkan melalui proses peleburan pasir adalah wesi malilang atau besi yang bercahaya. Di dalam sumber-sumber informasi melalui lontar tertulis maupun lisan, wesi malilang adalah lelehan pasiryang didapat melalui pemanasan konstan dengan suhu tinggi. Lelehan yang berwarna menyala tersebut oleh para leluhur di masa lampau disebut sebagai bercahaya. Lelehan itu kemudian didinginkan hingga mengeras menjadi gumpalan logam berwarna hitam yang disebut wesi wreksani yang berarti besi mulia atau bertuah. Untuk bisa menghasilkan wesi malilang hingga menjadi wesi wreksani membutuhkan waktu yang cukup panjang. Proses itu bisa berlangsung setidaknya selama delapan belas jam hingga sehari penuh sebelum benar-benar dingin dan siap untuk ditempa menjadi bahan keris.
Tahap ketiga ketika wesi wreksani sudah dihasilkan maka dilakukan proses pengulenan (bahasa Bali: mijeh,bahasa Jawa: mijer) bahan yang dipanaskan dan dibentuk menjadi lempenganpanjang untuk bahan keris (bahasa Jawa: kodhokan). Pada proses ini besi diulen atau dilipat dalam bentuk lipatan persegi yang terdiri dari tiga lapis kemudian dipanaskan dan ditempa ulang terus menerus. Lempengan panjang yang sudah ditempa itu akan membentuk lipatan persegi kembali, dipanaskan ditempa kembali. Jumlah pengulenan tersebut dilakukan berulang-ulang hingga ribuan kali. Semakin tinggi jumlah lipatan yang dihasilkan melalui proses mijeh,maka semakin tinggi pula kadar dan kualitas logamnya. Percikan bunga api yang dihasilkan adalah kotoran logam yang dikeluarkan dari lempengan melalui proses tersebut. Semakin banyak ditempa, maka kadar logam menjadi semakin murni, kadar karbon menjadi semakin tinggi dan bahan keris menjadi semakin kuat. Tujuan dari pengulenan atau pemijehan seperti itu tidak lain adalah untuk menghasilkan benda pusaka berkualitas tinggi baik dari sisi unsur sekala maupun niskala. Keris pusaka Bali berfungsi tidak saja sebagai simbol persona atau karakteristik individual si pemilik, tetapi juga masih digunakan dalam acara ritual atau upacara tertentu seperti pawiwahan atau pernikahan, odalan pura dan sebagainya. Maka membuat sebuah keris pusaka menjadi sebuah perhatian yang sangat khusus mulai dari proses pemilihan bahan, pemijehan hingga finishing sebuah bilahnya kelak.
Tahap keempat adalah proses pembentukan dan penyepuhan bilah keris. Ketika proses pengulenan selesai dan semua unsur logam sudah menyatu dalam bentuk bakal keris, maka selanjutnya adalah membentuk bilah sesuai dengan yang diinginkan. Ini merupakan suatu keunikan tersendiri di Prapen Wesi Aji karena hanya sang Pande seorang diri yang mengetahui dan terlibat dalam penentuan apakah keris tersebut memiliki bentuk lurus atau luk, berapa jumlah luk, berapa panjang bilah dan seterusnya. Umumnya keris selain berbilah lurus adalah memilih jumlah luk antara 1 hingga 31, sedangkan yang masuk dalam kategori standar adalah luk 3 hingga 13. Dengan keterlibatan seorang diri maka sang Pande harus mengerahkan kemampuan baik pengetahuan, intuisi dan kebendaan untuk dapat menghasilkan keris yang benar-benar tidak saja berkualitas tetapi juga estetis bercita rasa tinggi. Maka tidak mengherankan jika proses ini bisa berlangsung selama berbulan-bulan karena tidak saja mengikuti perhitungan wariga atau kalender tradisional untuk kecocokan hari, tetapi juga olahrasa dan inspirasi yang menyertai. Setelah mendapat bentuk yang diinginkan, maka proses selanjutnya menyepuh atau memperkuat logam sehingga karakter pamor dan kekerasan keris menjadi lebih kuat. Penyepuhan keris di Bali juga memiliki dua teknik yakni secara sekala atau fisik dengan mencelup bilah keris yang membarake dalam cairan minyak, maupun secara niskala atau spiritual yakni dengan menempelkan bilah keris tersebut ke bagian tubuh sang Pande seperti lidah (bahasa Jawa: sepuh dilat), telapak tangan atau kaki dan lainnya.
Tahap terakhir adalah proses pewarangan dan pembuatan warangka atau sarung keris. Mewarangi keris adalah penggunaan warangan atau mineral yang mengandung arsenikum dalam bentuk batu atau bubuk yang kemudian dilarutkan dalam air untuk merendam bilah. Pewarangan ini bertujuan untuk (a) membuat bilah menjadi tahan karat, (b) membuat pamor menjadi lebih indah terlihat dan (c) membuat bilah juga menjadi beracun sebagai senjata fungsional. Penggunaan warangan selain memang berbahaya karena mengandung racun, juga tidak mudah untuk dilakukan. Komposisi yang keliru di tangan para pemula membuat bilah keris bisa menjadi terlalu hitam atau belang. Kualitas warangan juga harus diperhitungkan sebab jika warangan tidak bermutu bagus maka hasilnya tidak bagus pula. Selain itu proses pewarangan juga tidak dapat dilakukan sesering mungkin karena bilah dapat menjadi keropos dan rapuh karena terkikir kandungan asam yang terdapat dalam larutan warangan. Akan tetapi hal yang terpenting untuk diketahui, tradisi untuk mewarangi keris sebenarnya relatif baru yakni sejalan dengan berkembangnya kerajaan Mataram pasca Majapahit di Jawa. Di Bali sendiri dahulu proses pewarangan tidak begitu dikenal, karena keris di Bali umumnya diasah atau sangling. Proses nyangling menggunakan batu asahan kecil dan dilakukan dengan gerakan berulang agar bilah keris menjadi mengkilat dan pori-pori logam tertutup rapat. Di daerah lain seperti di Kalimantan atau Sulawesi juga awalnya tidak dikenal proses pewarangan karena bilah dibiarkan apa adanya (bahasa Jawa: putihan) dan hanya dilakukan perawatan dengan menggosoknya menggunakan jeruk nipis. Bahkan di beberapa daerah di pulau Jawa sendiri, banyak ditemukan bilah pusaka tua yang memang tidak menggunakan warangan entah karena faktor kebiasaan atau juga kelangkaan penggunaan warangan. Setelah pewarangan selesai, maka selanjutnya adalah pembuatan warangka atau sarung keris lengkap dengan gagang atau danganan. Di Prapen Wesi Aji, pembuatan warangka dilakukan oleh para sahabat yang memang memiliki profesi dan keahlian untuk itu.
Tahap terakhir dalam proses pembuatan keris sebagaimana lazimnya adalah upacara Pasupati yakni menghidupkan keris yang awalnya adalah pasir menjadi logam, logam menjadi sebilah senjata, senjata yang bermutu dan bernilai seni tinggi, kini menjadi sebuah benda pusaka. Dengan upacara Pasupati, maka sang Pande menghadirkan manifestasi Paśupati yang mewakili berbagai inkarnasi Dewa Siwa yakni Sadyojata, Vamdeva, Tatpuruśa, Aghora dan Iśana yang ada di lima penjuru mata angin: Barat, Utara, Timur, Selatan dan Tengah. Kelimanya dilambangkan dengan aksara Sa,Ba, Ta, A, dan I. Semua itu melambangkan mewakili lima elemen utama alam semesta yaitu bumi, air, udara, cahaya dan ether. Bilah keris kini menjadi paripurna menjadi sebuah pusaka dan siap untuk dibawa para pemohon yang juga sekarang menjadi pemiliknya. Salah satu keunikan di Prapen Wesi Aji adalah dengan tidak adanya dasar transaksional yang melandasi kepemilikan keris, maka para pemohon tidak pernah tahu dhapur bilah seperti apa dan pamor keris bagaimana yang dibuat untuk mereka. Hal itu sepenuhnya adalah otoritas sang Pande untuk membaca karakter, memiliki visi dan juga memilih kecocokan bagi para pemohon (mewirasa).Tentu saja ini berbeda dengan kelaziman pengetahuan orang bahwa keris itu melulu bersifat transaksional dan pembeli menentukan sendiri dhapur serta pamor yang diinginkan. Di luar bilah itu sendiri, transaksi yang berlangsung adalah seandainya para pemohon menginginkan warangka dan atau danganan yanglebih bagus dari sisi estetika dan nilai seperti taburan permata, penggunaan logam mulia atau benda bermakna seni lainnya. Hal itu dapat dilakukan dengan menghubungi pihak lain yang memang memiliki keahlian untuk itu. Setelah menjadi pusaka, maka tidak sedikit para pemohon yang terkejut tapi sekaligus mengakui bahwa keris yang dibuat bukanlah sesuai dengan keinginan, melainkan selaras dengan karakter masing-masing.
Mengapa demikian? Dapat disimpulkan bahwa menghadirkan sebilah pusaka untuk seseorang adalah sebuah rangkaian proses yang sangat panjang dan tidak terputus mulai dari pemilihan bahan hingga menjadi sebuah bentuk keris yang memiliki taksu atau kharisma tersendiri. Istilah taksu menjadi penting dalam budaya Bali sebab apapun yang dibuat, dilakukan dan dijalankan secara sungguh, memiliki komitmen dan bersikap konsisten akan memiliki taksu-nya masing-masing. Ini ada dalamsemua aspek kehidupan tidak saja dalam membuat keris oleh pande di prapen,tetapi juga warangka dan danganan oleh pengrajin, tapel atau topeng yang dihasilkan oleh pembuat, tarian sakral oleh penari dan sebagainya. Oleh karena itu taksu yang kuat tidak saja dinikmati oleh pelaku tetapi juga orang lain yang melihatnya. Maka istilah metaksu menjadi sebuah ukuran tersendiri apabila sebilah keris dilihat dan dinikmati sebagai sebuah benda pusaka dengan aspek fisik, aspek seni dan juga aspek spiritual.
Dengan menyempurnakan teknik pembuatan keris dari pasir hingga menjadi bilah, maka Prapen Wesi Aji melakukan reinovasi yang sesungguhnya. Di satu sisi ini adalah upaya untuk menghidupkan kembali teknik dan cara kuno yang pernah ada, dan di sisi lain sekaligus membuat terobosan untuk membuat bagaimana proses menjadi sebilah keris adalah paripurna dari awal hingga akhir. Tentu saja ini bukan perkara mudah sebagaimana diceritakan di awal. Faktor lain yang juga menjadikan proses ini sangat berat adalah ketiadaan produksi arang sebagai bahan baku yang dijual secara komersial di Denpasar atau Bali. Pembuatan keris secara tradisional membutuhkan arang dalam jumlah banyak agar tanur pembakaran bisa berjalan sesuai dengan waktu yang diperlukan. Konsekuensinya, prapen harus menyiapkan sendiri arang dengan menyisihkan waktu untuk membakar kayu dan membuatnya menjadi arang. Ini menjadi pekerjaan tambahan yang cukup memakan waktu dan melelahkan apalagi jika musim hujan dan keterbatasan lahan di tengah kota Denpasar yang kian sesak dan sensitif terhadap asap.
Selain itu, ada juga faktor lain seperti minat dan kepentingan orang di zaman sekarang jika berbicara soal kebutuhan terhadap pusaka. Keris di Bali atau Indonesia pada umumnya masih dipandang masih sebagai benda sakral, Akan tetapi sakralitas tersebut kerap diremehkan karena ketidaktahuan dalam soal teknis maupun esensinya sebagai benda pusaka. Ada orang yang menganggap bahwa keris tidak berguna lantaran di dalam konsep berpikirnya keris mudah dibuat, diperjualbelikan dan tidak memiliki nilai selain sebagai benda pajangan. Ada pula yang menganggap tosan aji atau benda pusaka itu adalah hal yang harus dihindari dan dipilah hanya berdasarkan nilai seni estetika belaka, atau malah sebaliknya mengejar klenik dan takhyul dibalik benda buatan manusia itu. Beragam informasi di zaman pasca modern yang nilai kebenarannya kian tidak dapat ditertanggungjawabkan, membuat persepsi soal tosan aji menjadi semakin miris. Padahal benda pusaka jelas memiliki banyak dimensi seperti pengetahuan dan aplikasi teknologi, nilai seni estetika, nilai guna fungsional, yang semuanya menjadikan benda tersebut punya taksu tersendiri. Bayangkan jika semua itu diabaikan dan hanya diberi nilai ekonomis sebagai benda transaksional. Maka tidak mengherankan jika persepsi yang muncul semakin lama semakin negatif.
Akan tetapi jalan panjang yang ditempuh Prapen Wesi Aji, dalam hal ini Pande Made Gde Suardika untuk melakukan reinovasi pembuatan keris dari pasir tidaklah sia-sia. Selain kualitas yang dihasilkan hingga metaksu dalam perspektif budaya Bali memiliki nilai tinggi, dukungan dari para sahabat, saudara dan juga adat Bali masih tetap berlangsung. Terlebih dari mancanegara yang datang, hadir dan menyempatkan diri untuk mengunjungi prapen. Hal tersebut memberikan pandangan yang sangat jelas bahwa keris masih dibutuhkan oleh dunia dan memelihara warisan budaya tidaklah berhenti hanya pada satu titik kepuasan belaka.