Pernah dengar Nostradamus? Jayabaya? Baba Vanga? Ramal meramal atau prophecy sebenarnya adalah aktivitas yang lazim dari budaya manapun. Mulai dari membaca wajah, garis tangan, penggunaan kartu atau alat bantu lainnya, melihat tanda-tanda alam, penggabungan keahlian semacam itu menjadi sebuah ritual tertentu dan sebagainya. Sejak jaman dulu di belahan bumi manapun ramal-meramal bukan saja bersifat personal, kolektif, tetapi juga politis. Ada unsur kuasa dan kepentingan yang lebih besar dibandingkan sekedar rasa ingin tau atau mengubah nasib. Maka tidaklah mengherankan jika para peramal adalah bagian dari kekuasaan di masa lampau yang juga menentukan gerak politik atau kebijakan penguasa. Jangankan itu, ramal-meramal juga ada di dalam kitab suci agama manapun baik sebagai narasi teologis atau legitimasi politik. Sama aja.
Akan tetapi di masa sekarang ketika derap pasca modernisme dan perkembangan teknologi semakin deras, ramal-meramal tidak lebih dari sekedar atraksi atau pemuasan rasa penasaran. Tidak ada lagi unsur kuasa selain duit. Artinya, banyak orang rela bayar mahal hanya untuk meyakinkan diri atas apa yang dianggapnya akan terjadi dan mempengaruhi langkah ke depan. Padahal sejatinya ramal-meramal bukan itu. Misalnya saja membaca garis tangan atau wajah yang dikenal dengan istilah fisiognomi. Kita tentu pernah mendengar pernyataan seperti orang yang telunjuk tangannya lebih tinggi dari jari manis adalah semisal pekerja keras, atau orang yang bertelinga tipis tandanya tidak sabaran. Itu bukan ramalan cuk. Itu adalah data induktif yang dikumpulkan berdasarkan pengamatan terhadap jumlah sampling. Jika sampling semakin banyak, maka probabilitas semakin tinggi. Kalo orang yang bertelinga tipis dan tidak sabaran ada seribu, seratis ribu sejuta orang, maka kesimpulan itu semakin probable alias mungkin. Tidak ada yang bilang pasti atau valid. Jadi hasil pembacaan seperti itu mengandalkan data yang cukup banyak sejak bertahun-tahun bahkan mungkin berabad-abad sebelumnya.
Jadi seandainya ada orang yang dibaca oleh peramal, bukan berarti ia membaca secara personal yang bersangkutan. Peramal membaca data, bukan orang. Data awal yang diberikan sebagai variabel tetap biasanya adalah tanggal lahir, jam lahir, entah bintang atau shio dan seterusnya. Nah, membaca data tentu saja adalah kebiasaan yang dibangun dan menemukan pola. Itu sama seperti melihat tanda-tanda alam. Jika binatang berlarian mencari tempat lebih tinggi maka kemungkinan air laut akan pasang, atau jika hewan turun gunung maka sumber makanan dan habitatnya terganggu. Data-data yang kemudian dikompilasi dan ditabulasi akan sangat membantu para peramal memberikan jawaban yang lagi-lagi probable tapi jadi panduan yang cukup membantu pada jamannya.
Mengapa? Sebab kini sudah ada ramalan cuaca yang berbasis teknologi, kini sudah ada pemetaan karakter berdasarkan unsur saintifik seperti masuk pada ranah psikologi, psikiatri dan ilmu sosial lainnya. Lantas apakah ramal-meramal jadi ketinggalan atau bahkan out of date? jelas tidak. Justru menjadi faktor indikatif yang bisa mendorong arah yang lebih baik dalam pengambilan keputusan. Maka ada game theory, ada chaos theory dan sebagainya. Apalagi saat ini ketika faktor ketidakpastian semakin tinggi. Ramalan yang bahkan sudah ada dari masa lalu seolah bisa memberikan sebuah pegangan, tapi bukan kepastian. Misalnya saja Nostradamus yang catatan-catatannya soal kejadian di masa depan jadi hype untuk dibaca. Padahal seperti dirinya, Jayabaya atau yang lain, data yang diberikan adalah bersifat multitafsir. Isinya nggak lebih dari prosa, lirik atau klasifikasi karya sastra dimana penafsir bisa bebas menentukan maksud. Emangnya Nostradamus pernah terang-terangan gitu nyebut nama, lokasi atau kejadian secara persis? Mana pernah. Ada juga perumpamaan-perumpamaan yang tergantung jaman untuk bisa menafsirkannya.
"The ultimate function of prophecy is not to tell the future, but to make it. Your successful past will block your visions of the future." ~Joel A. Barker
Jadi dapat diketahui bahwa ada bentuk pengetahuan yang berbasis logika induktif untuk bisa membaca jaman. Bentuk pengetahuan ini terus menerus mengalami penyempurnaan melalui penambahan data dari abad ke abad. Ramal meramal dalam konteks ini adalah pengetahuan manusia. Kecanggihan teknologi sudah pasti mendorong pengetahuan, apapun bentuknya untuk bisa mengambil data lebih cepat, lebih akurat, lebih luas dan mumpuni. Penarikan kesimpulannya ya tetap sama; berujung kepada kemungkinan. Beda dengan deduktif dimana satu tambah satu adalah sudah pasti dua. Terlebih tujuannya kan jelas; bukan sekedar menyampaikan masa depan tetapi menentukannya dengan kerja keras dan usaha.
Tapi sialnya manusia, selalu menuntut kepastian apalagi ditengah hidup yang semakin tidak pasti. Alih-alih bijak menggunakan ramalan sebagai motivasi atau memperbaiki karakter, manusia mencari kepastian dan sudah jelas tuntutannya adalah hitam putih; sukses atau tidak sukses, kaya atau melarat, berhasil atau gagal dan seterusnya. Dasar manusia emang, udah maunya enak eh sekalinya gagal yang jadi sasaran adalah ramalan. Dianggap nggak cucoklah, mengada-ngada atau bahkan klenik syirik dan sebagainya. Padahal hidup sendiri ya nggak gitu. Mau ramalan sebagus apapun kalo situ kebluk dan nggak bergerak ya sudah pasti anyep. Nggak pake kemungkinan lagi. Mending tidur aja lagi sambil nunggu mimpi basah kan?