Kematian adalah peristiwa yang enggan dibiarkan masuk ke dalam pikiran manusia. padahal mati adalah sama dengan lahir dan hidup. Ketiganya ada sebagai bagian tak terpisahkan dari diri manusia. Namanya juga makhluk hidup kan? Sama dengan yang lain; ada proses untuk lahir, bertumbuh dan kemudian habis. Ketika lahir, biasanya orang akan bersukacita. Menyambut kedatangan yang baru. Demikian juga ketika tumbuh. Meski ada yang salah arah keliru jalan, optimisme itu tetap bisa dipelihara. tapi begitu menjelang ajal, banyak manusia yang memang nggak siap. Mulai dari perasaan tidak rela, berat untuk ditinggal, bingung, kosong, hampa dan tidak mampu membayangkan situasi yang baru tanpa sosok yang dicintai. Perasaan-perasaan seperti itu wajar adanya. Akan tetapi tidak jarang orang suka melebih-lebihkan. Mengapa? Sebab tidak punya skenario atau kesanggupan untuk beralih ke dalam situasi yang berbeda. Kehilangan memang menyebabkan diri menjadi limbung dan harus terbiasa. Butuh waktu untuk melepas kesedihan dan masuk ke dalam situasi yang berbeda itu. Duka yang berlarut-larut tentu tidaklah bagus dan kerap memupus semangat hingga harapan untuk hidup. Padahal sebagai orang yang ditinggal, masih ada hal-hal lain yang harus diperhatikan dan dilakukan.
Itulah sebabnya kematian menjadi sebuah proses yang tidak pernah siap untuk dihadapi. Ketika seseorang akan lahir, mereka yang mendapat anugrah tersebut sudah pasti akan menyiapkan segala hal sebagai penyambutan. Mulai dari periksa ke dokter, beli baju hingga persiapan sekecil-kecilnya juga akan diperhatikan. Saat bertumbuh, maka itu peran dari dua pihak. Ada yang mendorong dengan semangat hingga biaya, ada pula yang menjadikannya sebagai kewajiban untuk mengembangkan diri sebisa mungkin. Pada saat kematian, sangat jarang orang mempersiapkan diri. Meski sekarang sudah bisa mencicil tanah pemakaman non umum kalo mau lebih eksklusif, nyaris tidak ada yang menabung untuk membeli kain kafan atau peti mati. Demikian juga soal dikubur atau dibakar tergantung kepada keluarga dan keyakinan yang ada. Apapun itu, hal terpenting yang juga kerap dilupakan adalah soal wasiat. Orang sangat jarang untuk memberi wasiat berupa informasi semisal soal kepemilikan, hutang piutang dan urusan duniawi lainnya. Pertama, hal itu dianggap tabu karena kebiasaan untuk merahasiakannya kepada keluarga atau keturunan. Kedua, wasiat dilihat hanya soal materi yang bisa mengundang keributan. Padahal dengan wasiat, segala keinginan dan peninggalan bisa diatur sebaik-baiknya. Mulai dari soal tatacara pemakaman, pembagian harta waris, hingga soal mau diapakan dan dimana jenazah itu kelak. Dengan wasiat, orang bisa meminimalisasi sengketa sekaligus mendamaikan pihak yang ditinggal. Maka ucapan "gimana nanti terserah yang ditinggal saja" adalah sebuah pewarisan kebodohan yang menjadi pemicu masalah di kemudian hari.
Hal lain yang juga jarang disiapkan secara fisik atau mental adalah ketika seseorang sakit keras. Maut memang bisa datang sesuka hati, bahkan ketika seseorang lagi sehat-sehatnya atau lagi lucu-lucunya. Tapi sakit keras adalah indikasi bahwa kemungkinan besar yang bersangkutan tidak akan lama lagi pergi. Oleh karena itu, dengan waktu yang tersisa harus mampu menyelesaikan segala urusan yang ada. Ketidaksiapan bisa ditunjukkan oleh diri yang enggan untuk menerima kenyataan bahwa ajal makin dekat, atau bisa orang lain yang memberi harapan-harapan palsu dalam doa. Mengapa? Uumumnya orang akan lebih senang berkata ;'semoga cepat sembuh' atau 'segera diangkat penyakitnya', ketimbang mengatakan 'semoga mendapat kondisi terbaik'. Harapan semacam itu dapat dibenarkan sebatas penyemangat tapi menjadi tidak realistis dan membingungkan. Menunggu keajaiban adalah mungkin, tapi tentu saja orang harus sadar bahwa semakin kecil peluang maka semakin besar tuntutan untuk bersiap diri.
“Death is the wish of some, the relief of many, and the end of all” – Lucius Annaeus Seneca
Itulah sebabnya kematian selalu dipandang mengerikan, karena pemandangan yang tidak mengenakkan. Ditinggal tentu saja jauh lebih berat ketimbang didatangi. Perpisahan dengan yang lama sering menyakitkan daripada menyambut yang baru. Akan tetapi itu semua adalah siklus normal. Siklus yang seharusnya menyadarkan manusia bahwa kelekatan dengan segala proses adalah justru membuat diri menjadi korosif. Jika kita begitu terpesona dengan kelahiran dan jijik dengan kematian, hidup macam apa yang harus diisi sehingga dapat menerima semuanya? Tentu saja hidup yang benar-benar harus mandiri, tidak terikat dengan peristiwa dan bisa menerima semua siklus secara baik. Sebab kelahiran adalah kesempatan untuk membuat seseorang mencicipi dunia. Hidup bertumbuh adalah upaya untuk membuat diri menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Kematian adalah final dari semua itu untuk memberi ruang bagi yang akan hadir selanjutnya. Bukankah dengan dengan semua itu, artinya kita harus bahagia? Pikir!