Sekuat-kuatnya mental manusia dewasa, seringkali ia bisa mendadak jadi baper, sensi, tersungging, sampai jadi ngamuk, histeris, nangis atau juga meraung-raung tak kunjung habis. Persis seperti bocah yang dirundung oleh teman-temannya. Atau bisa juga malah jadi agresif makin menjadi, bahkan melakukan kekerasan verbal hingga fisik. Mengapa demikian? Sebab pada hakekatnya orang juga punya kelemahan. Ada beberapa titik tertentu di dalam pikiran dan perasaan yang kalo disentil atau ditowel sedikit, sudah pasti bakal tertusuk sangat dalam. Titik-titik tersebut antara lain soal keyakinan, seksualitas dan pastinya uang.
Bicara soal keyakinan, atau kadang juga disebut agama adalah hal mutlak yang kerap menjadi identitas tidak saja secara kultural tetapi juga alam pikir dan perilaku sosial bagi orang-orang di negara ini. Saking kuatnya melekat, maka setiap ada gesekan perbedaan keyakinan meski hal-hal kecil tapi jadi masalah besar. Sebab agama mengatur banyak hal yang menjadi batasan perbedaan mulai dari soal makanan, soal relasi kekerabatan bahkan juga urusan politik. Kalo kesinggung dikit, urusan jadi panjang. Jangan bayangkan beda agama. Satu agama beda aliran aja bisa lebih ganas dan brutal menghadapi perbedaan. Lantas kenapa soal keyakinan jadi ribet begitu? Rata-rata sama; megang sesuatu yang tak terlihat dan berupa janji. Jadi ini market yang agak sulit. Di satu sisi ada pengharapan surgawi di tengah kehidupan duniawi yang semakin dihindari, sementara di sisi lain ada upaya pengumpulan multi level agar semakin banyak yang ikut. Belum lagi ditambah bumbu pengalaman rohani, testimoni, khotbah, kampanye dan sejenisnya. Maka nggak heran orang jadi ribut gegara perbedaan tafsir hingga kepercayaan. Uniknya, hal semacam ini kerap terjadi di negara seperti Asia dan Afrika. Entah mengapa, apakah ada hubungannya secara geografis atau geopolitik dengan tingkat kesejahteraan bahkan cuaca, perlu diselidiki lebih jauh.
Demikian halnya dengan seksualitas. Ini bukan semata soal kemampuan fisik, seberapa sering, besar kecil kelamin atau sekedar hubungan seks. Lebih dari itu seksualitas juga memberi definisi luas tenang bagaimana pendidikan dan pemahaman tentang relasi sosial, kekerabatan, perkawinan, orientasi, keturunan, hingga bagaimana manusia itu hidup di dalam ekosistemnya. Pendapat miring selalu diberikan kepada mereka yang punya orientasi berbeda, banyak anak, nggak punya anak, tukang kawin cerai, blom pernah nikah, setia itu bego, selingkuh itu bejad, jomblo, buaya darat dan sekian banyak atribut yang merupakan justifikasi sosial sebuah komunitas terhadap warganya. Adakah di antara mereka yang luput dari labelling semacam itu? Tidak. Sebab seksualitas dianggap jadi ukuran tersendiri di dalam menilai manusia yang konon harus bisa sempurna secara sosial. Padahal sih kalo busuk ya busuk aja. Maka pencitraan seksual jadi penting seperti halnya lelaki jadi kunci master yang bisa buka banyak gembok dianggap hebat, sementara kalo perempuan jadi gembok yang bisa dibuka hampir semua kunci disebut gembok rusak. Bukankah itu seksis dan berat sebelah? Sudah pasti. Belum lagi pencitraan tentang keluarga harmonis di media sosial. Nggak ada yang tau seandainya memang sudah pisah ranjang kan? Atau pamerin anak di medsos; ternyata cuma agar dibilang lebih peduli.
Hal yang sama juga soal uang. Ini bukan saja soal nominal atau nilai secara kuantitatif tetapi meliputi cara mencari nafkah, tipe dan jenis pekerjaan, pilihan investasi, cara mengamankan dapur biar asap pendaringan tetap ngebul dan sejumlah aktivitas sosial ekonomi lainnya. Apakah ada yang dianggap ideal? Ada sih, tapi bo'ong. Semua orang punya caranya masing-masing entah jujur atau nipu, penuh berkat atau muslihat, tidak ada yang sama. Ketidaksamaan itulah yang kemudian membuat manusia satu sama lain seringkali merasa lebih baik, lebih ideal dan sekali lagi seperti poin pertama di atas; merasa bersyukur punya nasib baik, beruntung, orang pilihan dan berada di jalan yang benar. Sementara penilaian berbeda yang diberikan kepada orang lain justru bisa mendemotivasi. Sudah tua bangkotan tak beriman, lemesan eh bokek pula. Padahal urusan duit selama tidak merugikan orang lain, bagaimana cara mencari dan menghidupi diri sendiri adalah hal yang penting untuk bisa dilakukan siapapun. Kecuali parasit dan nebengers pastinya.
“Vulnerability sounds like truth and feels like courage. Truth and courage aren't always comfortable, but they're never weakness.” ~ Brené Brown
Jadi antara keyakinan, seks dan uang selalu berkaitan. Siapa yang nggak sensi udah dibilang bernasib sial, tukang selingkuh, miskin pula? Atau sebut saja kombinasi di antara ketiga hal tersebut diambil dari faktor atau unsur yang terburuk versi masing-masing. Maka tantangan terhadap kedewasaan sebagai penentu dalam kematangan seseorang adalah bagaimana ia beraksi dan bereaksi terhadap ketiga itu. Labelling akan terus terjadi karena orang terpancing untuk memberikan penilaian atas pemahaman yang tidak seberapa. Sebaliknya pula, banyak orang yang justru terpancing dengan memberikan pembenaran yang tidak perlu. Menampilkan citra hidup beriman, sederhana dan bahagia. Itu pun jadi postingan pula. Ngapain juga bersembunyi dibalik topeng yang berbeda? Buat apa capek-capek mengubah persepsi orang lain? Toh cuma dirimu yang tau dan merasakan sendiri. Itu pertanyaan yang dalam, spodara-sodara. Kecuali jika ternyata memang selemah itu. Lemahhh.