Dalam hidup sehari-hari kita sering berurusan dengan janji, entah menerima atau memberi. Janji adalah ikrar kesanggupan seseorang untuk merealisasi atau mewujudkan apa yang dikatakan kepada orang lain. Jadi nggak heran jika janji seringkali manis kayak madu atau berasa dikasih surga. Iming-iming muluk yang menjulang hingga membuat orang terlena. Baru nyadar pas ketika sudah waktunya untuk bangun dan menagih omongan. Ternyata tidak sesuai atau seperti yang dikatakan. Kalo sudah begitu, yang ada mulai kesal. Sekali dua kali masih bisa ditelan dengan tambahan permakluman. Tapi jika sudah berkali-kali maka sudah jelas memang demikian karakter yang bersangkutan.
Lantas kenapa orang mudah untuk mengobral janji? Seolah bisa melaksanakan tapi tak pernah bisa ditepati? Pertama, ada kecenderungan orang untuk tidak ingin mengecewakan. Dalam hal ini berjanji memang bukan untuk ditepati, tetapi lebih untuk meredam keinginan dengan harapan-harapan. Ini sama seperti anak kecil yang merengek minta mainan dan kemudian dijanjikan dengan tujuan agar si anak bisa segera melupakan keinginan tersebut. Tetapi yang tidak diantisipasi adalah ketika si anak menagihnya kembali. Janji semacam ini adalah bentuk ninabobok yang sialnya masih juga diterapkan kepada orang dewasa. Ketika diminta, bukan saja hiya ho'oh tapi juga malah membuatnya semakin muluk. Nggak enak untuk menolak jadi aminin lebih baik. Padahal dengan berjanji semacam ini justru malah makin memperunyam masalah sebab orang dewasa jelas punya tujuan, target dan agenda ketika dihadapkan dengan janji.
Kedua, ada pula kecenderungan orang untuk menggampangkan persoalan. Dengan mengumbar janji, maka harapan-harapan yang ada bukan diredam seperti contoh pertama melainkan memberi skema yang seolah lebih matang untuk bisa dieksekusi. Buntutnya ya tetap zonk, saudara-saudara. Maka ada istilah PHP atau pemberi harapan palsu. Tujuannya adalah lebih untuk memperpanjang situasi agar bisa berlama-lama menikmati segala keuntungan dan eksistensi di dalam relasi atau koordinasi yang semakin rumit. dengan cara begitu, mereka yang memberi harapan palsu bisa berlama-lama, seolah tampil dan berniat serius untuk merealisasi walau sebenarnya ya datar-datar aja. Dalam hal ini, mereka yang dijanjikan juga suka nggak enakan untuk nagih atau cenderung membiarkan supaya ada kesan bahwa si pemberi janji bisa serius. Keduanya jelas nggak kemana-mana. Saling sibuk mengelus punggung tapi jalan di tempat. Lama-lama berujung kepada permakluman belaka. Si pemberi sudah biasa begitu, si penerima ya cuek aja.
Ketiga, berjanji adalah cara termudah untuk berproses dan menarik perhatian orang tanpa keinginan serius untuk mewujudkan. Tujuannya lagi-lagi bukan untuk menepati, tapi memang untuk cari perhatian. Dengan mengobral sana-sini, orang menjadi tertarik dan mengikuti umpan. Intinya, emang udah biasa bo'ong aja. Tapi ketika tersadar bahwa ini nggak lebih dari gimmick, ya situasi bisa balik berubah. Omongan bisa jadi pedas, tajam dan menyakitkan. Tapi bukankah ini yang menjadi tujuan? Disukai atau tidak, akhirnya orang lain memberi perhatian. Sebenarnya ini adalah cara sadis yang digunakan lantaran yang bersangkutan memang terbiasa begitu sebagai sebuah karakter. Konsekuensi menjadi tidak penting, orang lain juga nggak penting. Hidup muter sendiri entah apa yang mau dicari.
"The man who promises everything is sure to fulfil nothing, and everyone who promises too much is in danger of using evil means in order to carry out his promises, and is already on the road to perdition." ~Carl Jung
Oleh karena itu janji adalah sesuatu yang sulit. Semakin manis sbeuh janji, maka semakin palsu. Bukan saja untuk ditepati, tetapi orang juga harus bisa mengenal bagaimana si pemberi janji. Terlebih dalam sebuah kerangka personal atau profesional, masih saja hal semacam itu juga digunakan. Jangan salah sangka juga, fenomena janji muluk semacam itu juga eksis karena pada dasarnya memang masih banyak orang yang senang dikasih iming-iming, dipehapein, ditarik perhatian atau cuma berbakat jadi penonton yang rela gratisan buat melihat pertunjukan sebuah kesanggupan seseorang. Menepati janji akhirnya bukan main-main meski kelihatan sepele, seperti datang tepat waktu, mengembalikan barang yang dipinjam, bayar utang, dalam konteks kerja untuk mengeksekusi sebuah penugasan atau bahkan dalam urusan bisnis hingga politik berkaitandengan negosiasi. Sebab dibalik janji yang kelihatan muluk, indah, manis, dibungkus pita, tentu harus dipahami orang macam apa yang memberinya. Apalagi jika diri sendiri yang memang menjadi si pemberi janji. Maka berhati-hatilah.