Istilah excellence atau keunggulan itu sudah sering didengar terutama di dalam lingkup profesional dengan embel-embel pursuit, standar, seeking dan sebagainya. Unggul adalah sebuah pencapaian kualitas yang diidam-idamkan arena menunjukkan sebuah karakter tertentu yang berlaku baik bagi individu, kolektif, tim, organisasi hingga ke entitas yang lebih besar. Sedangkan istilah perfection atau kesempurnaan itu malah nyaris tidak digunakan. Hal ini tentu saja bukan sekedar kecap teori. Pengalaman belasan tahun di dalam dunia riset bisnis sudah menyaksikan itu sejak awal.
Mengapa unggul lebih penting ketimbang sempurna? Sebab pertama adalah unggul bersifat dinamis. Pencapaian kualitas tidak ditentukan oleh situasi yang bersifat permanen melainkan oleh dinamika kerja. Seseorang atau kelompok harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan eksternal sekaligus juga berusaha mempererat relasi internal agar mampu mengikuti perkembangan. Dengan demikian, kemampuan membaca peluang, mengelola ekspektasi hingga menentukan target akan selalu berubah sesuai dengan apa yang sedang terjadi. Sebaliknya sempurna bersifat statis. Sempurna adalah kondisi mustahil lantaran tidak ada proses yang berjalan mulus untuk bisa menjadi lebih baik. Akan ada perbaikan, penundaan, keterbatasan bahkan kegagalan yang terus menghantui. hal-hal semacam itu tidak bisa dihilangkan dan justru malah dibutuhkan sebagai refklesi motivasi yang sesungguhnya.
Kedua, unggul adalah sebuah bentuk kompetisi yang terus memacu perubahan tersebut agar dapat mencapai kualitas lebih baik. Kompetisi umumnya dibayangkan sebagai sebuah proses yang berhadapan dengan pihak lain. Akan tetapi kompetisi bisa saja terjadi dengan ukuran yang lebih sulit yakni diri sendiri. Tidaklah mengherankan jika ada ungkapan menaklukan diri sendiri jauh lebih ribet ketimbang orang lain. Mengapa? Sebab jika jeli biasanya orang sudah tau kelemahan diri sendiri, tapi tidak jarang pula hal itu diabaikan. Sikap permisif, relatif dan membiarkan kelemahan yang ada tanpa sadar memperlambat proses perubahan ke arah yang lebih baik. Sempurna mengandaikan peniadaan kompetisi. Sempurna memalingkan muka dan berupaya agar bisa tumbuh tanpa diganggu. Konsekuensinya, aoa yang dianggap sebagai sempurna akan selalu ketinggalan ketika perkembangan sudah jauh melesat kedepan.
Ketiga, unggul adalah sebuah proses yang melelahkan tidak saja dalam pencapaian tetapi juga memelihara kualitas tersebut agar terus berkembang. Akan selalu ada pemeriksaan, perhatian, dan pemantauan terhadap kualitas yang sudah mulai dibangun untuk bisa menjadi lebih baik. Sudah pasti ada waktu, pikiran, tenaga, bahkan biaya yang harus dikeluarkan. Sempurna justru secara konseptual sudah dianggap sahih, lengkap, keren, bagus, oke jadi nggak perlu diapa-apain lagi. istilahnya, tinggal bawa dan pake. Akan baru jadi masalah begitu realitas yang dihadapi ternyata sudah jauh berbeda. Ada jarak antara apa yang diyakini dan dipercaya, dengan kenyataan yang bisa jadi bertolak belakang.
“The man with insight enough to admit his limitations comes nearest to perfection.” ~Johann Wolfgang von Goethe
Mengejar keunggulan adalah sebuah proses tanpa henti yang memberikan banyak dampak agar diri maupun orang lain bisa berupaya untuk mencapai sebuah kondisi dinamis. Memang sudah pasti tidak akan ada habisnya. Sudah tentu pula melelahkan. Akan tetapi harga yang dibayar akan sangat bernilai buat siapapun yang melakukan itu. Maka mengejar kesempurnaan akan bikin frustrasi. Bagaimana bisa membuat sebuah kondisi jadi patokan ideal jika diperlakukan statis, tidak berubah, enggan berkompetisi dan jadi berhala buat pikiran? Padahal kesempurnaan hanyalah gagasan ideal yang memang cukup dan hanya bagus untuk dibayangkan tapi nggak mungkin bisa diraih. paling cuma dideketin. Jadi jangan heran jika ada orang yang masih berusaha mengejar excellence agar bisa menjadi lebih baik. Belajar dan mencoba sesuatu yang baru. Menerapkan apa yang sudah dipalajari dan mengevaluasinya setiap saat. Akan tetapi ada juga yang berusaha meraih perfection supaya bisa dibilang keren, hebat, sanggup dan mampu. Tapi berakhir pada omongan doang. Pengen begini begitu, tapi ya sudah cuma jadi impian. Sebab buatnya, imaji jauh lebih penting daripada kenyataan. Maklum aja, di jaman gini tampil wokeh lebih asyik daripada keringetan. Nah, pikirin aja sendiri.