Sejalan dengan dekade ini, penggunaan internet menjadi semakin marak di Endonesah. Betapa tidak, pada Januari tahun 2022 jumlah penggunanya sudah mencapai 204,7 juta orang dari jumlah populasi yang sudah melewati 273 juta jiwa. Jumlah pengguna tersebut naik sangat drastis dibandingkan menjelang pandemi yakni tahun 2019 sebesar 150 juta orang.
Artinya, kebutuhan akan internet sudah menjadi hal yang lazim, bahkan beberapa tahun yang lalu penggunaannya belumlah semarak seperti sekarang. Pada saat pandemi belum muncul, orang tidak membayangkan bahwa pertemuan daring akan menjadi sebuah kebutuhan utama. Tapi itu berubah lantaran tidak dapat bertatap muka secara langsung. Ada dorongan yang memaksa dari situasi wabah sehingga penggunaan teknologi internet menjadi percepatan sekaligus kebutuhan publik. Konsekuensinya, perkembangan teknologi seiring biaya dan resiko juga menjadi tumbuh pesat.
Berkaitan dengan itu, maka konsep otomatisasi rumah cerdas atau smart home juga menjadi sebuah terobosan baru. Awalnya orang tidak membayangkan sebuah rumah dengan fasilitas teknologi macem Tony Stark si Iron Man. Ada banyak penggunaan teknologi di dalam sebuah rumah menyangkut pengaturan baik home appliances seperti kulkas, microwaves, hingga AC dan televisi. Bahkan untuk lampu dan saklar juga menggunakan perintah berbasis aplikasi yang tidak saja pake jari tapi juga suara. Singkatnya, begitu banyak Internet of Things atau IoT di sekeliling kita. Apa tujuannya? Pertama jelas adalah tawaran efisiensi. Bayangin jika sehari-hari lampu baru padam ketika orang baru bangun tidur dan pencet saklar. Dalam sebuah smart home, otomatisasi adalah sebuah keharusan sehingga ada efisiensi dan penghematan biaya tanpa harus menunggu si empunya hadir.
Kedua, maksimalisasi penggunaan. Teknologi membuat manusia harus dapat secara efektif memberdayakan segala hal yang ada di sekelilingnya. Pastinya akan ada perhitungan biaya tersendiri, namun biasanya dirancang untuk jangka panjang. Contohnya ya penggunaan ponsel. Sudah banyak ponsel cerdas yang beredar di market dengan harga hingga puluhan juta. Banyak orang yang mampu beli, tapi seberapa yang bisa digunakan secara maksimal? Meski bisa ini itu, tapi kalo ujungnya hanya buat chat dan poto-poto selpih kan percuma. Padahal ponsel dalam konteks smart home bisa digunakan sebagai kendali lebih dari sekedar fungsi interaksi personal.
Ketiga, fungsi pemantauan, pengamanan dan perlindungan. Tidak heran pula jika CCTV saat ini juga masuk dalam IoT baik independen atau sistem di dalam smart home. Tidak seperti manusia yang terlena dan bisa ngorok, CCTV tidak pernah tidur. Fungsinya pun bukan lagi pasif hanya merekam data tetapi kini juga bisa aktif dengan alarm, peringatan bahkan juga terkoneksi dengan keamanan eksternal. Jadi sebuah smart home yang kini berubah dari embrio yang kelak akan lebih canggih dalam beberapa tahun mendatang, memberikan begitu banyak hal yang tidak bisa dibayangkan manusia sebelumnya selain di pilem-pilem.
Akan tetapi bisakah sesederhana itu? Ternyata tidak di Endonesah. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi seperti basis pendukung seperti listrik yang masih dimonopoli dengan layanan byarpet. Maka tidak mengherankan jika konsep smart home saat ini hanya bisa maksimal di apartemen atau perumahan tertentu yang mengandalkan sumber tenaga listrik berlapis. Oleh sebab itu, listrik alternatif akan menjadi pilihan di masa depan seperti penggunaan panel surya. Iya sih, saat ini masih mahal banget dan teknologi batere masih bapuk belum berkembang pesat.
Tantangan lain adalah soal internet itu sendiri. Sudah kecepatan ala-ala, biaya mahal pula. Perangkat pun bercampur antara versi resmi yang sudah menjadul serta versi canggih tapi impor gelap. Kalo mau bagus seperti dedicated line, harganya juga maut. Semampu apapun orang membayar, tetapi juga mentok saat tau bahwa DNS atau Domain Name System yang berfungsi menghubungkan Uniform Resource Locator (URL) dengan Internet Protocol Address (IP Address) diatur sedemikian rupa lewat regulasi pemerintah. Artinya, banyak penyedia jasa internet 'dipaksa' buat pake DNS non publik. Ini berdasarkan logika bahwa di luar sana, internet berbasis DNS publik seperti Google atau Cloudflare itu jahat, nggak bisa disensor dan muatannya negatip. Maka dengan penggunaan DNS non publik, pemerintah bisa campur tangan melakukan breidel internet terhadap konten yang dianggap sesat. Maka jangan heran nggak bisa bukan Reddit, apalagi Pornhub. Yaelah, emangnya buka internet buat coli doang apa?
“Some devices are smart, unlike their owners.” ~ Mokokoma Mokhonoana
Akan tetapi tantangan terbesar adalah pada manusianya sendiri berikut kemampuan untuk memilih dan memutuskan. Salah satu kelemahan di dalam perkembangan teknologi internet adalah bukan pada dependensi terhadapnya. Itu pendapat filsuf jadul. Tapi yang menjadi dilematis adalah dependensi terhadap ekosistem yang muncul karena merek. Meski sudah banyak penyedia layanan hingga IoT, tapi tidak ada sistem yang universal dan membuat orang bisa memilih apapun. Jika sudah pake brand A, maka aplikasinya nggak bisa pake brand B. Jadi demi efisiensi, dependensi terhadap satu merek tidak dapat dihindari. Itu persis kayak si Android dengan Apple kan? Jika tidak, akan muncul inefisiensi yang menyebabkan ponsel berisi beragam aplikasi dan membuat pengelolaan bertambah rumit.
Selain itu, rumah cerdas juga belum tentu penghuninya pintar. Artinya, penggunaan teknologi juga harus dibarengi dengan produktivitas yang mumpuni. Kalo masih males-malesan ya percuma. Cuma jadi penikmat aja. Sebab secanggih apapun gawai yang dimiliki, belum tentu juga diimbangi dengan pemilik yang bisa memaksimalisasi penggunaan dan juga dirinya sendiri. Tapi ini juga biasa sih. Rumahnya masih o'on, orangnya apalagi; bangun siang dari tidur singkat di kasur kapuk kemudian cari kopi dan butuh satu dua jam sebelum beneran melek. Buka-buka hape intip status dan kemudian tidur lagi. Jadi kapan pintarnya?