Bertambahnya usia masih saja dianggap identik berbanding lurus dengan kebijaksanaan. Padahal mah nggak juga. Banyak orang yang semakin tua malah semakin pecicilan, atau setidaknya menunjukkan gaya masih sanggup demikian. Tujuannya adalah sebagai impresi buat orang lain, meski itu adalah refleksi dari ketidakmampuan. Dengan demikian, menjadi tua tidak melulu identik dengan bijaksana, apalagi sukses, mapan, kaya, atau punya pencapaian yang bisa dibanggakan.
Itulah sebabnya menjadi tua dan mengapresiasi umur yang bertambah tidaklah bisa dimiliki oleh setiap orang. Banyak yang takut ketika ulang tahun sebagai penanda umur itu terjadi. Berpikir masih ada hal yang belum diselesaikan atau diraih. Masih kepengen ini itu yang nggak kesampaian. Kenapa takut? Sebab tua konon adalah sama dengan mendekatkan diri ke ajal. Tapi itulah paradoks manusia. Begitu merayakan kelahiran sebagai kesukacitaan meski konsekuensinya penduduk makin padat, menjalani hidup dengan alakadar setengah-setengah sambil nunggu nasib berubah, kemudian menjadi parno, sedih dan bingung kalo ada yang mati.
Padahal dengan semakin tua, idealnya sudah banyak waktu yang digunakan untuk mengembangkan diri atau memperbaiki apa yang masih kurang. Idealnya kan gitu. Tapi privilese alamiah semacam demikian susah dicari dan ditebak. Pertama, kebiasaan untuk selalu melihat hidup dengan cara yang terlalu santai. Nggak buru-buru juga penting. Sebab tergesa bikin orang merasa ada saja yang kurang dan ujungnya nggak bisa menaikmati hidup. Tapi kalo terlalu santai, artinya ya udah terima apa aja yang lewat. Ibarat binatang yang harusnya bisa berburu, ini malah nunggu ada orang yang mau melempar makanan. Kedua, memang sih nggak ada yang tau batasan umur. Apapun bisa terjadi. Lagi baru mau mulai, tau-tau mati ditabrak bis. Lagi sukses, tetiba digondol wabah. Nggak bisa ditebak. Tapi dengan ketidakpastian yang semakin besar itu, sekurangnya ada hal-hal kecil yang masih bisa dilakukan selagi masih bernafas. Misalnya mempersiapkan diri dan mengelola kesempatan yang datang.
Maka nggak heran jika kedua faktor itu diabaikan, orang-orang yang bertambah tua tidak pernah sadar akan apa yang ada di depan mata. Tanpa sadar fisik sudah tidak sekuat dulu, badan makin tambun, kepala makin plontos, dikit-dikit masuk angin, otak nggak bisa mikir, udah nggak sanggup kerja fisik macem pulang pergi jarak jauh. Sementara duit di kantong makin tipis, nggak ada tabungan, nggak ada asuransi, nggak ada investasi. Mau pensiun juga masih ada tanggungan, mau tetap kerja juga nggak kemana-mana. Akhirnya jadi cuma bisa menatap kosong dan berbalik nyinyir melihat sekitar. Cari teman ghibah dan merasa senasib sepenanggungan. Padahal kalo dah sekarat, urusan masing-masing juga kan?
Itulah sebabnya, tua nggak identik dengan bijak. Itu pasti. Menjadi bijak adalah bukan cuma sekedar tau, tapi mempraktekkannya langsung dalam hidup sesuai dengan pengalaman yang sudah ditempuh. Dengan kata lain, kalo pun paham nilai kebijakan maka belum tentu punya pengalaman dan juga terapan sehingga dirinya tidak nyemplung ke comberan seperti sekarang. Okelah saat muda masih main di got. Tapi sampai tua berkubang, jelas nggak ada perubahan. Lantas apa? Menjadi penting saat muda untuk benar-benar bisa menikmati hidup dengan santai tapi juga mampu memanfaatkan situasi, menggunakan pergaulan untuk bisa lebih baik. Bersenang-senang sih wajib dong, tapi ngapain juga mengikuti gaya hidup yang sudah pasti menuju kebangkrutan.
“If you’re not getting older, you’re dead.” ~Tom Petty
Contoh sederhana adalah ngopi-ngopi atau kegiatan yang dianggap konsumtif. Banyak yang nggak tau kalo orang-orang yang kelihatan enak-enakan di mall atau tempat lain yang menghabiskan uang buat ngopi dan makan itu bukanlah spending alias buang duit doang. Sebagian melakukan untuk kepentingan bisnis, negosiasi dengan output yang diharapkan hasilnya bakal jauh lebih besar ketimbang traktiran. Atau ada juga yang merupakan kompensasi dari kerja keras yang dilakukan. Tapi kalo itu dijadikan sebagai sebuah aktivitas rutin tanpa hasil dan kerja yang minim tak seimbang dengan pengeluaran, ya sama aja bo'ong kan?
Itu adalah contoh mengapa hal sekecil itu aja nggak kepikiran. Pantes aja kalo duit nggak seberapa, tapi maunya kayak tuan besar. Giliran pengeluaran nggak imbang, malah minjem atau minta ditalangin. Berarti menjadi bijak juga harus berhari-hati dengan siapa bergaul; apakah mampu mendukung untuk lebih baik, atau ternyata ngajak bareng masuk comberan. Kalo dah gitu baru terasa pas udah tua, ternyata masih aja menderita. Kasian jadinya.