Kalo ngomongin profile, atau deskripsi singkat tentang seseorang maka akan sangat jarang bisa membacanya dengan cermat serta mengupas kedalaman tentang seperti apa sebenarnya orang tersebut. Sebab bukan tidak jarang, banyak orang yang memang sengaja memberi kesan yang berbeda dengan apa yang ada sesungguhnya. Jadi profile pada kulit-kulitnya adalah soal impresi. Maka seringkali bagi mereka yang cuma melihat sekilas, sudah pasti salah memberi penilaian. Oleh karena itu, membaca profile butuh kecermatan dua sisi. Pertama, apakah yang ditampilkan itu adalah yang sesungguhnya atau hanya kesan belaka? Kedua, jika sudah melihat aslinya maka mengapa dan apa tujuannya jika itu berbeda dengan kesan yang ditampilkan.
Biasanya orang demen dengan high profile. Tampil dengan segala wah yang menimbulkan decak kagum. Entah soal penampilan, pencapaian, kepemilikan, kesuksesan, kisah hidup bak putri atau pangeran negeri dongeng. Sebagian kecil ada yang memang pada dasarnya sudah demikian dan tanpa sadar memang memperlihatkan begitu apa adanya. Tapi sebagian besar orang justru mau memberi kesan yang sama seperti itu atau bahkan bertolak belakang dengan realitas yang ada. Menampilkan high profile yang macem begini sebenarnya mudah. Mulai dari hal-hal kecil saja. Makasih buat media sosial yang bisa memberi kesempatan untuk kasih jempol dan ngikut orang-orang sukses, mengesankan pergaulan sosial yang berbeda, pamer foto cakep dengan situasi yang mendukung. Tapi begitu mulai kelewatan seperti flexing atau pamer barang yang bukan dipunya, prestasi yang bukan dibuat, atau keberhasilan yang bukan diraih, maka banyak pula yang gelap mata. Seolah dengan kayak gitu udah beneran bisa keren, cakep, oke, tajir mampus, berhasil dan sebagainya. Niat awal yang mau mengesankan orang lain, malah terperangkap menjadi mengesankan diri sendiri yang nggak perlu. Bahkan dibela-belain buat ngongkosin pake minjem. Buat apa?
Sebaliknya ada juga yang suka low profile. orang menyangka bahwa bentuk seperti ini adalah identik dengan kesahajaan, sederhana, rendah hati, nggak macem-macem, nggak neko-neko. Ada yang beneran emang biasa aja alias kagak mampu dan kagak butuh untuk menjadi sosok yang terlihat di bawah lampu sorot sosial, ada juga yang sengaja ngumpet tapi memperlihatkan buntutnya. Itu seperti kisah bos-bos besar yang dalam narasi diceritakan kerja keras dan hidup tanpa kemewahan, tapi tetep aja bos kan? Atau menangis sedih gegara nggak berhasil dan dikhianati, tapi nangisnya di dalam BMW. Jelas lebih enak daripada nangis di dalam bajay. Maka sikap low profile juga bisa jadi taktik untuk merendah tapi sekaligus tampil tinggi. Istilahnya, sombong alus. Sebagai taktik, maka tidak bisa disalahkan ketimbang pamer jor-joran yang bikin orang langsung muak dan menambah kecemburuan sosial. Paling publik tetap melihatnya sebagai pribadi yang humble dan berusaha keras menutupi 'kelebihan' yang dimiliki.
“Beauty is but skin deep, ugly to the bone. And when beauty fades away, ugly claims its own.” ~Dorothy West, The Wedding
Itulah sebabnya teramat jarang orang yang memang mau tampil apa adanya. Kalo beneran kaya malah pura-pura miskin, kalo beneran miskin malah berlagak kaya. Padahal kalo kaya ya biasa aja. Itu pencapaian hidup kok. nggak perlu dipamerin toh orang juga tau sudah berpunya. Sama juga dengan yang miskin. Kalo emang susah, ngapain jadi gelisah? Bukankah dengan biasa-biasa aja maka akan menghindari segala kemungkinan bertambahnya masalah. Kaya atau miskin, berprestasi atau bapuk, sukses atau gagal adalah kondisi temporer, bukan permanen. Semua bisa berubah atau tidak berubah jika salah pengelolaan atau memang nggak punya wawasan ke depan. Maka mempertahankan itu jauh lebih sulit ketimbang mengubah keadaan. Dengan demikian, sebuah profile entah high atau low, adalah cara taktis untuk bisa sedikit mengubah situasi meski kondisinya masih tetap. Mau pilihan apapun, itu adalah hak setiap orang meski ketika melakukan profiling tetap harus bisa melihat isi daging ketimbang terkesan kulit-kulitnya. Sebab cantik itu sampe kulit, buruk bisa ke sumsum kan?