Banyak orang sudah sering menyaksikan apa yang kelihatan gempita ternyata cuma kepalsuan. Apa yang banyak dibicarakan, tidak lebih dari sekedar gimmick dan iklan, apa yang dijanjikan eh nggak taunya zonk doang. Tentu saja ada perasaan kecewa, gundah, gelisah, merasa bahwa apa yang sudah dikerjakan atau diusahakan, sendiri atau bersama, dengan segenap keyakinan dan percaya, bisa bubar seketika. Kalo sudah gitu, biasanya akan gampang menyalahkan. Mulai dari diri sendiri sampai orang lain. Tuhan pun juga ikut-ikut diseret. Seolah ukuran keberhasilan, pencapaian dan keinginan itu sudah mutlak nggak bisa digugat. Tapi tunggu dulu; beneran kerja atau usaha? Beneran sudah bareng-bareng? Beneran modal percaya doang?
Jika dipikir-pikir, nggak semua proses untuk bisa sukses atau mendapatkan sesuatu itu batal gegara faktor eksternal bahwa hidup itu tidak adil. Bisa jadi ternyata kita yang tidak adil. Hidup sih netral-netral aja. Jalan seperti biasa. Ada yang lahir, hidup dan mati. Masalahnya ya jelas; kalo cuma numpang hidup. Usaha ala kadar, mikir cuma sebentar, kerja juga biasa-biasa. Wajar kalo keberhasilan, pencapaian dan keinginan juga setimpal. Mendadak jadi gelisah sendiri. Menyangka bahwa dengan segala yang sudah dilakukan kemudian kenapa orang lain bisa lebih sukses. Mengira jika semua adalah konspirasi dan dunia ikut-ikutana memusuhi.
Apalagi di era ketika media sosial punya andil untuk memoles citra, membangun imaji seolah diri ini adalah sosok yang sudah begitu sempurna. Lihat saja Instagram, tempat orang berpamer visual tentang konsep keindahan yang notabene hanya satu fragmen di antara kehidupan sehari-hari yang getir. Foto lagi liburan, perayaan atau kebersamaan yang cuma sesekalinya bisa diupload berulang. Itu sama seperti Facebook dengan memori, berikut pantun, kata bertuah, atau kombinasi di antaranya. Membuat seolah orang selalu berada di dalam kebahagiaan yang bisa jadi muncul hanya sebentar saja. Atau Linkedin; tempat orang menjilat, pamer pencapaian, berburu kerja atau memberi indikasi bahwa dirinya begitu sibuk dengan karir. Padahal sebagai budak korporat atau pelacur donor ya tetap dalam kerangka aktivitas jam dan hari yang sudah ditentukan. Ditambah pula kembali macet-macetan, bayar cicilan dan nggak lupa sikut-sikutan naik jabatan.
Lantas apa yang mau dicari? Sudah pasti konsep keadilan demikian adalah semu. Sudah tau kalo citra dan imaji itu hanya refleksi buatan yang tidak punya bentuk keaslian. Maka nggak heran, bahwa di dunia nyata yang sebenarnya masih ada orang-orang yang beneran sukses, berhasil dan mendapat apa yang dinginkan tapi nggak pernah diperlihatkan. Sebab itu nggak penting. Nggak ada yang pamer potongan tiket atau visa perjalanan, nggak ada yang pamer hasil meeting atau draft pekerjaan, nggak ada yang pamer abis beli rumah atau kendaraan. Nggak ada juga yang pamer pulang pergi kerja atau beraktivitas rutin yang dilakukan. Kalo pun ada, itu hanya buih nggak penting. Bukan sesuatu yang wow dan harus dilihat orang lain.
"Life is not fair, it never was and it is now and it won't ever be. Do not fall into the trap. The entitlement trap, of feeling like you're a victim. You are not." ~ Matthew McConaughey