broken image
broken image
broken image

Dunia Si Ferdot

  • Headline
  • About Me
  • My Books
  • My Blog
  • My Gallery
  • Contact Me
  • …  
    • Headline
    • About Me
    • My Books
    • My Blog
    • My Gallery
    • Contact Me
    broken image
    broken image
    broken image

    Dunia Si Ferdot

    • Headline
    • About Me
    • My Books
    • My Blog
    • My Gallery
    • Contact Me
    • …  
      • Headline
      • About Me
      • My Books
      • My Blog
      • My Gallery
      • Contact Me
      broken image

      Teman Beracun, Hidup Beracun

      · Renungan

      Orang memang tidak bisa memilih dengan siapa dan di mana dilahirkan, tetapi masih bisa memilih untuk dengan siapa hidup, bergaul dan bersosialisasi. Sebab pada dasarnya, sebagai makhluk sosial manusia punya kesempatan dan bisa membangun hidupnya agar lebih baik. Masalahnya tidak semua orang menyadari akan hal itu. Ada yang tetap berada di dalam lingkungan yang tidak sehat, ada dalam pengaruh teman-teman yang menjerumuskan. Contohnya soal penyalahgunaan narkoba atau kejahatan kecil seperti pemerasan, penodongan, yang cenderung berkembang menjadi besar seperti pembegalan, pencurian dan sebagainya. Demikian pula dengan pergaulan lain bahkan seperti di dalam keluarga atau kantor, pengaruh tersebut bisa saja tidak sehat secara mental. Akan tetapi situasi tersebut nggak gampang berubah. Mengapa demikian? Pertama, biasanya orang sudah merasa tidak perlu berpikir  untuk berpindah habitat. Ada faktor kenyamanan atau kecemasan jika berganti lingkungan. Kedua, lingkungan yang ada sekarang mengontrol secara kuat dan homogen sehingga berpindah adalah konsep yang mustahil dilakukan kecuali terpaksa dengan alasan sosial ekonomis.

      Dengan situasi semacam itu, orang tidak bisa membedakan lagi antara tindakan yang menguras mental dengan tindakan yang konstruktif. Pengalaman-pengalaman negatif  akan selalu dilihat secara positif. Tindakan bullying atau perundungan hanyalah dilihat sebagai bentuk candaan. Kecemasan akan masa depan dipandang sebagai motor untuk bisa berubah secara drastis. Himpitan nasib buruk atau kekurangan secara ekonomis menjadi pemicu untuk angan-angan kosong. Ego sebesar gajah menjadi optimisme yang berlebihan,  keengganan untuk memperbaiki diri atau menambah keahlian dipandang sebagai proses yang harus dilewati karena sudah merasa serba bisa. Minder bisa ditutupi dengan rasa percaya diri. Langkah kecil sebagai permulaan harus dibiarkan karena sudah mampu melompat. Menggampangkan? Sudah pasti.

      Ketidakmampuan membedakan tersebut mencerminkan pribadi yang rapuh dan galau namun berlindung dibalik narsisme, hasrat untuk menjadi instan, material dan ujungnya konsumtif. Padahal menginginkan melulu pengalaman positif sebenarnya adalah pengalaman negatif. Semakin mengejar sesuatu di luar kemampuan akan menguras energi berlebihan.  Semakin ingin mengejar keberhasilan, akan semakin memandang diri serba gagal dan kekurangan. Semakin ingin digambarkan sempurna, maka semakin menolak kondisi aktual yang ada. Semakin ingin mendapatkan keuntungan material, maka semakin brutal cara dan upaya untuk melakukan. Terlebih di dalam lingkungan pergaulan yang sebenarnya cair, maka kohesi paksa akan dilakukan untuk membuat orang harus merasa punya kontribusi. Padahal kemampuan dan kapasitasnya belum tentu juga merata. Ujungnya hanya sekedar jadi buih pemanis sehingga tidak akan pernah bisa terwujud.

      Sampai di tahap itu, racun mulai merasuk. Saling memanfaatkan, saling rundung, cemburu, dan juga saling berjanji. Bayangkan bila hal tersebut terjadi di dalam keluarga atau kantor, yang secara otoritatif jauh lebih kuat dan memaksa. Tidak ada pintu keluar sebagai posisi tawar juga jauh lebih lemah. Mereka yang tidak bisa keluar hanyalah mengeluh, merasa tidak berdaya, jadi korban dan kemudian membawa atau mewariskan situasi tersebut kepada orang lain. Itulah sebabnya melepas diri dari lingkungan yang beracun akan sangat sulit jika orang lebih memilih mengorbankan ketidaknyamanannya daripada berubah atau berpindah tempat.  Bukankah menjadi elang akan lebih kesepian dibandingkan segerombolan ayam potong? Nggak ada yang mau.

      Tapi begitulah manusia. Lebih baik menelan racun daripada rasa nyaman terganggu. Sebab menjadi sukses, berhasil, digdaya, punya banyak kelebihan serta material tak terhingga adalah impian sulit. Oleh karena sulit maka terkadang jalan yang dipilih adalah bermimpi ejakulasi dengan cepat. Saling menghibur, menguatkan diri, memotivasi, meski cuma di situ-situ aja. Racun memang. Padahal racun yang paling membahagiakan itu membaca buku Filsafat Itu Racun. iye kan?

       

       

      Subscribe
      Previous
      Masalahnya, Apakah Kita Benar-benar Punya Waktu?
      Next
      Baterai Manusia
       Return to site
      strikingly iconPowered by Strikingly
      Cookie Use
      We use cookies to improve browsing experience, security, and data collection. By accepting, you agree to the use of cookies for advertising and analytics. You can change your cookie settings at any time. Learn More
      Accept all
      Settings
      Decline All
      Cookie Settings
      Necessary Cookies
      These cookies enable core functionality such as security, network management, and accessibility. These cookies can’t be switched off.
      Analytics Cookies
      These cookies help us better understand how visitors interact with our website and help us discover errors.
      Preferences Cookies
      These cookies allow the website to remember choices you've made to provide enhanced functionality and personalization.
      Save