Orang bilang, mental pemenang itu tidak akan menyerah. Yakin? Sebaliknya, mereka yang berjiwa pemenang itu harus siap menyerah. Sebab para pemenang tau pasti kapan harus berhenti, kapan harus menarik jeda, kapan harus berganti arah, kapan keluar dari situasi yang tidak menguntungkan, kapan harus meninggalkan kondisi dan lingkungan yang merusak. Para pemenang berhitung ketika segala sesuatu yang sudah diupayakan itu ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Mereka harus siap untuk beranjak, move on, bergerak berpindah mana kala memang tidak ada perubahan.
Itulah mental pemenang sesungguhnya. Bukan saja mental, tetapi juga kemampuan dan ketrampilan untuk melihat ke depan. Proyeksi atas visi yang melihat segala hal, bukan hidup dengan kacamata kuda yang tidak kemana-mana. Satu arah, nabrak tembok pun jadi. Maka menyerah adalah kata kunci penting buat para pemenang. Menyerah bukan berarti keluar dari peperangan, tetapi mundur strategis dari pertempuran. Menarik diri untuk memastikan agar tidak lebih banyak jatuh korban dengan tujuan sia-sia.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mental pecundang adalah agresif yang penuh gengsi. Enggan dibilang kalah jadi ngotot maju terus. Maju tanpa berpikir dan tidak berhitung bahwa apa yang dilakukan bisa sia-sia. Oleh karena gengsi, maka ego menjadi nomor satu. Tidak ingin dibilang gagal, malah kalo bisa bersaing dengan itu-itu saja. Akibatnya, pecundang tak pernah belajar dan mengakui kekalahan. Kalah adalah malu. Menyerah adalah tabu. Padahal dengan menyerah, orang menjadi berpikir lebih dalam, menarik nafas dan berhitung terlebih dahulu.
Jadi menyerah itu adalah hal yang wajar bagi pemenang. Sebab orang kalah hanya tau ngotot sampai kemudian dipaksa bukan lagi mengakui kekalahan, tetapi kegagalan total saat nafas sudah usai. Emangnya mau dikenang seperti itu? Ya gapapa juga sih.