Kalau ditanya orang, konon profesi yang paling gampang gegara tidak ada definisi dan kategori yang sempit adalah menjadi penulis. Apa kerjanya? Ya menulis. Terus siapa yang bilang kalau itu adalah pekerjaan? Apa ukuran profesionalismenya? Terus terang jawabnya gampang-gampang susah. Pertama, menjadi penulis tentu saja beragam. Mulai dari penulis profesional yang dibayar karena tuntutan kerja seperti copywriter, penulis naskah film, atau jurnalis penulis berita. Ada juga penulis yang bergerak di bidang karya sastra seperti penulis cerpen, puisi, novel, roman dan sejenisnya. Ada lagi penulis yang memang bergerak di ranah ilmiah seperti penulis hasil riset atau penelitian baik di bidang bisnis, manajemen, ilmu sosial dan sebagainya. Jadi ruang lingkup penulis itu sangat banyak. Menulis sekedar status, komentar juga bisa dibilang penulis. Tergantung mau disebut demikian oleh siapa dan untuk apa.
Artinya, menjadi penulis apapun juga punya ukuran relatif. Ini bukan sekedar soal kaitannya dengan output akhir berupa seberapa yang bisa dihasilkan.Menulis adalah kepuasan. Jadi pertama yang bisa dijadikan patokan adalah soal produktivitas. Seberapa sering orang menulis. Setiap harikah seperti blog ini? Seminggu sekali? Sebulan sekali? Sebab menulis dalam hal ini adalah untuk tetap terus mengasah kemampuan, mempertajam wawasan dan membiasakan diri untuk tetap bisa terus berhadapan dengan dinamika bahasan yang berbeda.
Kedua, menulis sudah pasti juga punya fokus masing-masing. Bukan tidak mungkin untuk berpindah atau multi fokus. Akan tetapi dibutuhkan pula kemampuan untuk bisa mencerna lebih jauh. Semisal membahas soal sejarah, sudah pasti setidaknya membaca dan meriset bahan yang berkaitan. Membahas budaya, sudah pasti punya pengalaman kontekstual untuk bisa diceritakan sebab nggak cukup hanya dengan pemahaman teks. Membahas soal bisnis, sudah pasti merupakan bagian dari pekerjaan sehari-hari karena keterlibatan dengan kajian dan analisisi yang ada di dalamnya. Fokus punya kedalaman dan multi fokus punya keluasan.
Ketiga, dari kebiasaan produktif dan fokus terhadap yang dikerjakan maka sudah pasti ada hasil yang kemudian bisa dilihat. Seberapa banyak yang terbit. Diterbitkan oleh penerbit atau malah nerbitin sendiri? Seberapa penetrasi yang bisa dilakukan terhadap pembaca? Berapa banyak orang yang kemudian berminat terhadap apa yang ditulis? Jadi hasil akhir terbut sekali lagi bukan soal nominal, melainkan pengaruh yang bisa diberikan melalui tulisan. Orang menjadi terkesan atau tidak, membaca atau tidak, memutuskan untuk memiliki hasil tulisan atau tidak, adalah ungkapan secara tidak langsung sebagai pengakuan kepada penulis itu sendiri.
Hampir semua orang yang berminat menjadi penulis rerata adala kesulitan soal waktu. Berandai-andai kelak suatu ketika bisa menulis. nanti saja karena sekarang sibuk, atau memang kepengen doang tapi nggak gerak. Ini adalah hambatan utama buat yang memang mau menulis. Jangankan mereka yang baru mau mulai, buat yang sudah pernah pun pasti tau rasanya jadi penulis macet. Ngeluarin satu dua karya abis itu anyep bertahun-tahun. Perkara laku atau kagak, yang penting atribut dan identitas penulis itu tetap bisa dipake.Wajar saja sebab klaim semacam demikian bisa dilakukan karena memang tidak ada atasan yang jelas, terukur dan punya pertanggung jawaban selain kepada diri sendiri kan?
Selain itu, biasanya orang bertanya apakah cukup cuan yang dihasilkan dengan menjadi penulis? Tergantung. Pada dekade lalu, menjadi penulis buku dengan best sellers udah pasti bisa menghasilkan. Sekarang juga bisa, tapi lebih sedikit jumlahnya. Jangan bayangkan seperti nulis filsafat kontemporer berbunga-bunga yang kemudian laris manis buat penuntun manusia galau hingga ratusan ribu kopi. Bayanginnya bisa jadi milyaran sebelum potong pajak. Akan tetapi peluang begitu juga satu diantara semilyar. Kini jaman sudah berubah. Penulis dengan bantuan penerbit juga nggak bakal terima banyak. Terima jadi berapa yang terjual dan belum potong pajak. Menerbitkan sendiri pun juga pegalnya setengah mati; mulai dari daftar ISBN, nego perceteakan, marketing alias jualan sendiri, menghubungi langganan kurir, packaging hingga pengiriman dan lainnya.
Hambatan lain adalah soal ide. Banyak yang mengeluh tentang percikan gagasan yang begitu sulit untuk berpijar. Jangankan setiap hari, untuk yang udah lama nggak pernah mikir selain yang itu-itu aja rasanya udah tumpul berkarat kalo mau bahas yang lain. padahal ini bisa diselesaikan dengan metode berpikir kreatif terlebih dahulu, baru masuk kepada penulisan kreatif. Membiasakan diri dengan cara semacam itu tentunya akan sangat membantu ketimbang harus duduk ngejogrok dan membayangkan diri untuk bisa menulis.
“Writers are desperate people and when they stop being desperate they stop being writers.” ~Charles Bukowski
Maka membiasakan menulis dari perkara kecil yang dianggap remeh temeh sebenarnya akan sangat membantu untuk bisa merancang alur pikir lebih baik. Akan lebih baik lagi jika ditambah dengan kemampuan public speaking dan presentasi yang selalu tajam terasah. Sayang banget jika berhenti hanya pada proses literal saja. Sebab dengan terbiasa menulis, maka idealnya kapasitas dan kompetensi yang lain juga bisa terbantu. Udah nggak nulis, ngomong terbata-bata, presentasi buruk, interaksi minim pula. Terus cuma kasih label penulis doang gitu biar minimalis? Apalagi jaman gini sebenarnya udah nggak nulis sih tapi ngetik. Mau jadi pengetik aja? Terlaluh.