Pernahkah menasehati orang sampai berbusa-busa karena diminta, tapi tidak pernah dilakukan? Pernahkah meminta agar orang tidak melakukan sesuatu, tapi dengan sengaja kemudian malah dilakukan? Sebenarnya itu ibarat mengajari laler untuk menjauhi sampah. Dasar laler memang doyan sampah, mau bilang apa aja juga nggak bakal didengar. Sama seperti menyuruhnya mencium bunga. Mana paham?
Perilaku kepala batu semacam itu adalah hal yang sering ditemui. Tidak selalu mudah untuk mengetahui penyebabnya. Meski demikian, seringkali penyebab sikap kepala batu adalah perasaan agresif yang tersembunyi. Keinginan keras untuk bisa memperoleh sesuatu atau sebaliknya menghindari sesuatu dapat memunculkan sikap semacam itu. Entah karena obsesi , penasaran atau tertantang maka orang cenderung untuk mengejar keinginan itu. Pendapat apapun dari orang lain bahwa yang termasuk kategori logis juga tidak akan didengar.
Mengapa bisa menjadi keras terhadap diri sendiri? Latar kecewa, atau ingin lepas dari situasi yang dianggap tidak ideal membuat orang menyasar untuk mencari yang berbeda. Atau bisa jadi justru beranggapan bahwa mengikuti kata hati adalah hal yang terbaik untuk bisa dilakukan. Pertimbangan menjadi bias, atau alasan nggak masuk akal ya nggak jadi masalah. Namanya juga nggak peka otak. Sikap keras tanpa berpikir ini jelas punya resiko, tapi kalkulasi terhadap resiko biasanya baru datang sebagai penyesalan. Ya iyalah, kalo dateng duluan namanya pendaftaran.
Hanya saja, selain sesal terlalu terlambat maka biasanya pula selalu ada pembenaran di dalam tindakan. Misalnya saja istilah "berpikir positif", itu jadi langganan buat justifikasi terhadap tindakan yang tanpa pikir. Coba aja jalan menjelang malam melewati hutan. Orang yang waras akan mendengar peringatan untuk beristirahat dulu dan melewatinya jika sudah pagi. Orang yang kepala batu akan berkata pada dirinya, berpikir positif saja siapa tau kalo lewat malam ini bisa menghemat waktu. Perkara di hutan ada begal atau setan, gimana nanti. Pas ketemu pun, berpikir positif aja semoga ada hikmahnya. Nah!
Jadi tindakan semacam itu sudah pasti akan merugikan dirinya. Anggap saja analogi soal jalan menuju hutan itu ada pada kehidupan sehari-hari seperti soal pekerjaan, cinta, karir, dan pilihan-pilihan yang selalu dianggap dilematis di dalam hidup. Main tabrak dianggap bisa menghasilkan solusi, padahal sesungguhnya melahirkan masalah baru. Solusi yang muncul hanya bersifat sesaat. Tapi dasar kepala batu, sepertinya memang harus masuk hutan dikejar setan dulu baru kemudian merasakan. Kapok? belum tentu. Malah jadi penasaran . Sama seperti urusan hidup. Bukannya mikir reflektif, tapi mengulang lagi untuk mencari adrenalin. Jadi seperti dalam hal ini nasehat yang paling masuk akal pun juga percuma. Sebab bukan lagi karena kecewa atau penasaran, melainkan kecanduan. Maka nggak heran jika ada orang yang selalu cari perkara, bukan karena mau dapat solusi tapi merasakan ketegangan. Persis kayak situ jatuh cinta. Beneran suka atau merasa nggak bisa menakhlukan? Nah lagi!
“The voices of cold reason were talking, as usual, to deaf ears.” ~ Ellis Peters, Brother Cadfael's Penance
Maka berhati-hatilah ketika menemuan orang atau situasi yang ternyata berisi kepala batu. Tidak semua butuh saran atau bantuan. Terkadang hanya menyia-nyiakan waktu untuk sesuatu yang belum tentu didengar. Akan tetapi dari situ bisa banyak dapat pembelajaran. Pertama, sikap kepala batu menjadi contoh yang baik untuk tidak ditiru terlih jika pelakunya tidaklah cerdas amat untuk menghitung konsekuensi dan resiko jangka panjang. Kedua, tidak semua masalah butuh solusi. Malah lebih sering butuh pembenaran agar tetap bisa jalan terus sampe masuk jurang. Ketiga, tidak semua orang menggunakan logika pikir yang sehat meski mampu. Adakalanya harus kepentok dulu baru ngeh, atau malah tambah bodoh. Emangnya enak? Paling orang lain akan memberi ekspresi tersingkat jelas dan padat dalam satu kata, "...Kaaaaan!"