Endonesah itu kaya dengan tradisi. Termasuk di dalamnya ragam kebiasaan yang sudah jadi standar prosedur operasional dalam beragam konteks. Ada yang baik seperti misalnya saling membantu alias gotong royong, ada juga yang ngehek kayak nodong orang untuk meminta. Awal kebiasaan seperti ini sebenarnya sama; yakni mengupayakan kedekatan relasi sosial yang bersifat komunal. Tapi karena urusan yang semula sukarela, lama-lama tuman jadi kebiasaan yang bersifat harus wajib.
Contohnya ngemis itu banyak. Semisal kalo orang tau situ jalan-jalan, pastilah kemudian berseloroh,"oleh-olehnya dong". Ngarep? Pasti. Meski tergolong iseng-iseng tapi, ujungnya ya bkal ditagih. Semantara ente yang pigi-pigi bisa jadi nggak enakan. Kerepotan mulai dari soal anggaran sampe bawa-bawa barang. Mending satu yang minta oleh-oleh, ini bisa sekampung. kalo dibeliin jadi pegel, nggak dibeliin ntar ada sanksi sosial; mulai dari dicemooh, dibilang pelit, medit, merki, sampe nggak peka. Contoh lain semisal kalo hari raya atau ada perayaan apapun, tetiba bilang,"sana minta sama oom, dia kan banyak duit", atau "kasih tau tante tuh kamu mau jajan apa, ntar juga dibeliin". Kok malah ngajarin bocah jadi gembel. Anak kecil jadi komoditas? Dah biasa. Toh kalo dikasih duit atau dijajanin ntar orang tuanya yang ambil. Disitulah si anak kenal investasi bodong pertama; disuruh nagih tapi duit atau barangnya dibawa kabur.
Itu juga tidak lepas dari kebiasaan memberi yang kebablasan. Memberi bukan lagi sekedar ngasih buat yang butuh, tapi juga melampiaskan hasrat sosial agar dapat kepuasan dilihat sebagai orang yang 'lebih beruntung' dalam hidup. Tangan yang memberi punya derajat kenikmatan tersendiri, apalagi sekarang di jaman media sosial kayak gitu gampang bener dipamerin. Dengan memberi maka dapet ekstra poin untuk merasa ada ragam bonus mulai dari pahala sampe foto bersama. Mendidik? jelas tidak. Buat yang memberi dan menerima, sebenarnya jadi rusak pikir dan mental. Tujuan awal tidak lagi sama, sebab banyak agenda yang dimuat untuk kepentingan yang berbeda. Kebiasaan semacam itulah yang juga membuat orang jadi tidak siap dengan tindakan karitatif. Ambil saja contoh menggantungkan makanan di tengah masyarakat yang lapar, kekurangan, tapi kebiasaan nadah. Alih-alih ambil yang dibutuhkan, maka semua bisa diboyong.
Contoh di atas tentu saja yang masih bersifat sewaktu-waktu. Bayangkan jika setiap saat ada yang memang terbiasa meminta. Ada gitu? Jelas ada. Kalo ketemu dan lihat barang bagus, bawaannya minta melulu. Perkara sebenarnya yang bersangkutan sanggup beli atau kere itu nggak soal. Tapi dasar mental sudah biasa nadah tangan maka meminta jadi kebiasaan dan perilaku semacam itu jelas jadi merugikan diri sendiri, apalagi orang lain. Lantas kenapa bisa demikian? Pertama, sudah pasti soal didikan dan lingkungan. Naluri kompetitif yang salah kaprah dan tidak pada tempatnya membuat orang mengambil cara singkat alias instan untuk bisa mendapatkan apun. Kalo bisa nggak keringetan kenapa harus berpayah? Gitu pikirnya. Jadi kebiasaan semacam itu yang berakar sejak kecil tanpa sadar diturunkan setelah dewasa kepada generasi yang lebih muda. Mendorong untuk bisa mengambil dan menerima, tanpa pernah sedikitpun memberi.
Kedua, meminta juga bisa ditafsirkan sebagai tindakan basa-basi tanpa makna, sekedar ngemeng "oleh-olehnya dong" itu mungkin nggak jadi beban serius buat yang ngucap. tapi yang dtuju malah jadi mikir. Terlebih di negara ini urusan relasi sosial berikut hirarkinya memang membuat orang jadi sungguh memperhatikan. Maka tindakan meminta justru secara sepihak membajak pikiran orang lain. Bayangin aja, orang sinih kan mana tegaan. Maunya ngasih mulu bukan karena tau orang lain butuh, tapi juga karena ada kepuasan psikologis. Misalnya beliin apa aja buat cucu, meski orangtuanya membatasi. Atau gemar ngasih makan secara rutin buat orang atau kucing liar. Emangnya itu cucu, orang atau kucing butuh gitu? Belum tentu. Tapi karena dibiasakan, jadi tuman minta terus. Situ sih jelas senang, bisa jadi tangan-tangan ajaib yang selalu memberi. Ya tambah kacau pastinya.
“Never stand begging for that which you have the power to earn” ~ Miguel de Cervantes
Jadi fenomena semacam itu secara sosial bersifat korosif. Di satu sisi, sama-sama membuat ketidakpekaan muncul dengan atas nama kepedulian dan perhatian. Di sisi lain, tidak pernah ada tindakan memberi dan menerima karena situasi mendesak atau darurat. Semua dipukul rata untuk setiap saat bisa nodong dan ditodong. Terus gimana dong? Untuk menghindari hal itu, sudah pasti orang harus bisa cuek. Bukan beneran nggak peduli, tapi memantau dan memilah secara tegas mana yang benar jadi kebutuhan yang terpaksa harus dilakukan dan mana yang basa basi. Selain itu budaya meminta-minta serta memberi macem malaikat kurang kerjaan dan kebanyakan duit itu harus disadari dampaknya terhadap mental orang lain. Sudah wajar dan naluriah jika manusia nggak pengen lihat yang lain susah. Tapi memberikan setiap saat secara rutin juga bikin orang lain berpikir "ah tenang aja masih ada yang bantu" dan semangat berjuangnya rendah.
Maka memberi secara diam-diam, insidental, situasi terdesak, darurat atau sewaktu-waktu adalah baik. Itu untuk memberi pendidikan bahwa ternyata ada harapan, ketimbang ngasih rutin dan bikin orang berharap selalu ada. Buat yang demen minta, pikir bahwa harga diri dibutuhkan untuk bisa memperoleh secara layak ketimbang cari gratisan. Selain itu, mengikis mental dikit-dikit nadah tangan adalah dengan cara berani bilang tidak dan jangan sampe nggak enakan. Omong kosong dengan segala celaan sosial yang bilang pelit atau tegaan. Hidup nggak semudah dengan maen tunjuk terus dapat. Itu yang harus diajari. Apalagi baru kenal aje udah bilang "bagi dong", apalagi ntar jadi ikrib? Tau-tau maen serobot sambil bilang "buat gua yak". Gila aja.