Orang sering berkata bahwa hidup itu berat. Udah gitu nyata pula. Berat bukan saja karena soal begitu banyaknya keinginan yang belum bahkan tidak tercapai. Berat karena masih diikuti oleh antrian tuntutan. Mulai dari keluarga sampai lingkungan, konon semua berharap yang terbaik. Bayangin aja, sejak lahir harus bisa terlihat punya potensi dan kompetensi yang siap ditandingkan dengan orang lain. Sekolah harus dapet nilai bagus, kuliah harus bisa cepat lulus, begitu sarjana harus mikir kawin. pas kawin mikir cicilan rumah, passive income, tabungan segala macem sehingga kerja juga punya tuntutan tinggi. Kalo bisa gajinya dua digit, atau sudah jadi karyawan tetap. Mikir bisnis juga buat sampingan, merencanakan berapa jumlah anak dan seterusnya.
Alhasil, pikiran menjadi jenuh dan jengah. Kok bisa hidup kayak gitu? Beda jauh dengan harapan dan ekspektasi sewaktu kanak-kanak yang udah nggak sabar menjadi dewasa. Akhirnya urusan memandang hidup menjasi skeptis, bahkan pesimis. Beban yang begitu berat sepertinya sulit untuk bisa ditanggung. Lama-kelamaan setelah mempertanyakan hidup, muncul reaksi dan juga perlawanan pikir, apakah menjalani hidup harus demikian? Mengapa kita tidak bisa biasa-biasa saja? Akhirnya muncul pilihan-pilihan baru seperti hidup harus bisa dipahami dengan ringan, hidup harus bisa diisi dengan langkah enteng, dan hidup harus bisa memberi makna yang lebih luar baisa dengan menjadi biasa-biasa saja.
Pandangan semacam itu menjadi antitesa yang tidak sepenuhnya salah. Orang bosan dengan tekanan yang tidak perlu, tuntutan yang di luar kemampuan bahkan juga dengan relasi yang sama sekali korosif dan sudah pasti tidak produktif. Dengan menjadi biasa-biasa saja, maka diharapkan orang punya alternatif untuk memiliki sudut pandang berbeda dalam memaknai dan menjalani hidup. Enngan berada terus menerus di bawah sorotan dan memilih lebih baik minggir mlipir ketimbang ada di tengah jalan dan beresiko dilindas orang lain. Akan tetapi apakah dengan mencari kenyamanan seperti itu akan menjawab permasalahan? Akankah dengan bisa-biasa saja lantas bisa menikmati dan memungkinkan untuk mencari lebih? Ataukah dengan bersifat lebih pasif, meminimalisasi atraksi dan menyingkir kemudian akan mendapat kesempatan yang sama di dalam hidup?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan sulit dijawab sebab umumnya orang akan bersifat paradoks alias mendua. Di satu sisi ada keinginan untuk melepas kepenatan dan membuang beban yang selalu menggantung berkaitan dengan perjalanan hidup, tapi di sisi lain tetap ada hasrat untuk bisa meraih apa yang dinginkan secara personal dan itu tidak mungkin didapat hanya dengan menjadi biasa-biasa saja. Oleh karena itu langkah awal yang harus dilakukan adalah menyadari bahwa ada tuntutan internal dari diri sendiri dan ada pula tuntutan eksternal yang datang dari luar. Tuntutan yang dari luar bisa dengan lebih mudah diklasifikasi dan dipilih mana saja yang layak atau tidak layak diikuti. tuntutan dari dalam diri itulah yang lebih sulit sebab harus bisa tau pasti juga seberapa sanggup untuk memenuhinya. Dengan kata lain, menghitung kompetensi dan potensi pribadi bukanlah hal yang mudah selagi ada ego di situ.
Langkah kedua adalah dengan menyadari bahwa hidup memang tidak biasa melainkan luar biasa. Ada ketidaknyamanan yang terus berulang sementara mencari kenyamanan adalah hal yang lebih mahal sekaligus tidak memberikan apa-apa. Dengan kenyamanan orang bisa menjadi cepat puas dan berpikir untuk berhenti. Dengan kenyamanan orang berharap ada privilese; lebih dan nongkrong duduk di emperan dianggap lebih baik ketimbang ikutan lari. Sebaliknya, ketidaknyamanan selalu membuat orang menjadi berubah, maju dan berimprovisasi. Itu pun kalo sadar kan? Sebab ketidaknyamanan membuat orang terus berpikir mencari alternatif, solusi dan jalan keluar yang sifatnya selalu sementara hingga ketemu masalah yang lebih besar. Dengan melihat bahwa hidup adalah pergumulan terus menerus untuk meningkatkan diri, maka soal perspektif semacam itulah yang harus dibenahi terlebih dahulu.
Langkah ketiga sudah pasti adalah membuang jauh-jauh pandangan bahwa hidup bisa dijalani dengan biasa-biasa., jika seandainya biasa-biasanya itu tidak lebih dari sekedar tiarap, minimalis, atau bahkan tidak berbuat jika tidak diminta. Mungkin itu bisa bikin panjang umur dengan melepas dari segala drama bahkan interaksi yang dianggap nggak penting. Akan tetapi kejenuhan sudah pasti akan meningkat dan tidak bisa dibayangkan rasanya bagaimana menjalani sesuatu lepas dari segala tuntutan termasuk diri sendiri. Ini bukan persoalan yang berkaitan dengan modernisme atau semacamnya, akan tetapi keterasingan adalah musuh yang berbahaya dan tumbuh dari kesepian. Memelihara dinamika hidup sudah pasti tidak bisa lepas dari segala unsur yang bersifat korosif seperti ra, temen makan temen, sandiwara, tepu-tepu dan sebagainya. Meski demikian itu kembali lagi kepada diri untuk maukah bersifat selektif terhadap ragam kepentingan yang muncul di depan mata.
"Laziness. Unwarranted repose of manner in a person of low degree." ~Ambrose Bierce
Atau jangan-jangan, melepas diri dari kepenatan hidup atau enggan terlibat jauh dalam proses semacam itu adalah cermin dari kemalasan yang sebenarnya menjadi argumen paling kuat dalam diri manusia? Dengan kata lain, enggan mengambil jalan menanjak dan berliku hanya karena malas dan mulai bermimpi ada ojek gendong yang akan membawa diri sampai kepada tujuan? Kalo demikian, bukan salah hidup yang penuh ketidaknyamanan. Salahkan diri sendiri lantaran udah ogah ambil resiko, enggan pula menjalaninya sebagai bentuk alamiah makhluk hidup yang bisa mikir. Sungguh kasian.