Menjadi cerdas adalah impian banyak orang, sebab cerdas identik dengan banyak tau. Dengan banyak tau maka diharapkan bisa memberi alternatif, perspektif, solusi bahkan menjadi beragam kebutuhan atau permasalahan sehari-hari. Dengan kemampuan seperti itu, maka cerdas dianggap sebagai ukuran yang wajib dimiliki. Orang belajar mati-matian mulai dari membaca buku, menulis, berdiskusi, hingga meneliti untuk mencari jawaban. Ada norma yang kemudian ditetapkan sebagai sebuah keharusan seperti bersekolah, memiliki intelegensia yang bagus, serta sederet gelar sebagai pembuktian bahwa yang bersangkutan sudah melalui tahapan di dalam norma tersebut. Maka menjadi cerdas dilihat sebagai solusi itu sendiri. Bukankah menyenangkan menjadi orang pintar atau pandai? Apalagi kalo dengan cara berpikir yang sudah terlatih dan terbiasa untuk kritis, tajam dan kemudian mencengangkan buat orang lain.
Akan tetapi bentuk demikian bukanlah sebuah kecerdasan yang utama. Biasa aja. Mengapa? Sebab itu sudah menjadi perilaku dan tuntutan sehari-hari. Nggak ada orang yang menganggap sekolah itu tidak penting. Nggak ada orang yang melihat berpikir kritis itu menjemukan. Apapun istilahnya, mau disebut kecerdasan kognitif, emosional, otak kiri, otak kanan, jeroan bawah, sama saja. Itu bukan sesuatu yang aneh. Mau bidang ilmu apapun entah filsafat yang konseptual atau ilmu teknik yang aplikatif, mau yang sederhana hingga paling rumit adalah makanan sehari-hari manusia di dalam memecahkan masalah, mencari solusi, memberikan alternatif dan sudut pandang baru. Dengan kata lain, dinamika keilmuan bukan sesuatu yang asing dan memang dimiliki oleh setiap orang. Otak manusia terus berpikir mulai dari problem urusan perut, bawah perut hingga urusan negara.
Lantas kecerdasan apa yang utama? meski semua manusia punya akal dan emosi, tetap tidak menyatukan keduanya ke dalam sebuah tindakan yang merupakan reaksi atau respon. Semisal ada orang yang sangat cerdas, tapi begitu dikritik ia malah murka. Atau anggap saja ada orang bodoh, ketika ditimpuk kerikil maka ia membalas dengan mencari batu besar. Reaksi atau respon adalah indikator tentang sejauh mana manusia bisa melihat dan mengalami sesuatu, kemudian dalam hitungan sekian detik atau bnertahun-tahun bisa memberikan tanggapan. Nah, tanggapan itulah yang menjadi refleksi dari kecerdasan sesungguhnya. Mengapa? Reaksi atau respon adalah hal yang bersifat praktis. Itu bukan teoritis yang kemudian harus dipahami belakangan setelah kejadian. Contoh saja, api itu panas. Darimana tau? Nggak perlu tangan menjulur ke api untuk tau itu panas. Pengetahuan tentang itu sudah didapat secara rasional maupun empiris. Akan tetapi ketika tangan terkena api, apa yang harus dilakukan? Menyembuhkannya bagaimana? Apa harus cari dulu si brengsek yang sengaja membakar? Kompleksitas semacam itu butuh penyelesaian yang mencerminkan seberapa cepat, tepat, efektif dan efisien cara, struktur dan kesimpulan yang dimiliki seseorang.
Orang yang cerdas tentu saja akan berpikir ketika dikritik. Akan tetapi ketika kritik dibalas dengan reaktif seperti marah-marah maka itu nggak guna. Meski dia tau itu percuma, tapi kenapa masih dilakukan? Apakah dengan merespon secara emosional maka kritik akan terjawab? Sama seperti dilempar kerikil, kemudian membalas dengan batu. Ujungnya bisa berupa konflik yang tak terselesaikan dan malah sebenarnya tak perlu. Jadi kecerdasan utama butuh kepala dingin tanpa meninggalkan persoalan. Ada banyak cara untuk bisa menjawab kritik tanpa harus berpanas hati. Ada banyak cara untuk bisa membalas lemparan kerikil tanpa perlu mengotori tangan sendiri. Jadi itu adalah soal membangun kebiasaan untuk tidak menjadi gampang reaktif, tertipu atau terkecoh menghadapi masalah. Sebab bisa jadi itu semua hanya skenario, pancingan, atau hasutan yang tidak perlu ditanggapi. Memilah secara cepat mana masalah sesungguhnya di kedalaman ataukah umpan di permukaan itu cukup sulit. Tidak semua orang punya latar belakang yang memadai lantaran ada faktor didikan atau keluarga. Mereka yang tumbuh besar dalam nilai yang mengharuskan mereka memberi reaksi atau rspons kasar demikian sudah pasti jauh dari kata cerdas. Mau punya pengetahuan segunung atau gelar segudang belum tentu bisa menyelesaikan masalah.
“Life is ten percent what happens to you and ninety percent how you respond to it.” ~Lou Holtz
Itulah sebabnya orang dengan kecerdasan tertinggi akan cepat mengetahui mana yang perlu diselesaikan dengan cepat, mana yang harus ditunda dan mana yang tidak perlu ditanggapi. Tidak semua masalah adalah masalah sesungguhnya. Sebaliknya, orang yang sebenarnya bebal tapi punya kecerdasan karena semata belajar teori tidak akan mampu membaca hal semacam itu. Maka jangan heran kalo orang cerdas akan sangat selektif. Selain tidak mudah untuk memancing reaksi atau respons, mereka akan memilah dan memilih tidak saja persoalan tapi habitat mana yang akan dimasuki. Orang bebal mau mengaku sepandai apapun akan lebih terpesona dengan aktivitas dan problem yang superfisial atau di permukaan. Menjadi raja kecil atau hidup di dalam tempurung batok kelapa dianggap menyenangkan. Sampai tiba waktunya akan masuk panci dan dimasak dengan api kecil secara perlahan. Nggak banget kan?