Bersyukur adalah ungkapan yang sering kita dengar dan padanannya sama dengan berterimakasih. Itu similar juga dengan nikmat yang dimaknai sebagai karunia, hadiah, anugrah yang diterima manusia. Dengan kata lain, atas segala nikmat yang diberikan maka sudah sepantasnya orang harus merasa bersyukur. Pemberian nikmat itu kerap dikaitkan dengan kerja Ilahi, artinya apa yang datang dari Tuhan. Akan tetapi berterimakasih tidaklah harus menengadah kepala dan tangan ke atas melulu. Terimakasih muncul bisa karena pemberian sesama atau bahkan datang tak terduga dari siapapun juga. Apalagi biasanya orang lebih demen meminta ketimbang berterima kasih kan?
Terlebih di jaman media sosial begini. Ungkapan syukur sering ditampilkan dalam kolom postingan, baik tulisan, foto atau video. Ada yang demen menjadikannya sebagai ritual sarapan untuk mematut diri, ada juga yang suka mengajak orang lain. Ada yang dikit-dikit pajang sana sini, ada yang sekedar membuatnya sebagai refleksi hidup sehari-hari. Hal semacam ini tentunya menarik sebab pada hakekatnya media sosial adalah sarana untuk memberitatau kepada orang lain baik secara langsung atau tidak langsung tentang idealisasi hidup yang sedang dijalankan. Kalo pun realitasnya nggak bagus ya nggak bakal ditampilin. Apa yang sedang-sedang saja harus diperbagus, ada yang bagus harus dibikin maksimal. Dengan kata lain, ungkapan syukur di media sosial seolah menjadi standar tertentu, sebagai benchmark hidup, sebagai indikator yang terberkati. Tujuannya adalah tidak lebih dari sekedar pamer atau pernyataan bahwa hidup ini selalu baik-baik saja.
Tidak sedikit orang yang akhirnya termakan dengan bangunan gagasan semacam itu. Seolah hidup itu harus berisi tentang hal-hal baik melulu. Apa-apa harus serba positif. Segala bentuk negatif, kekurangan, kelemahan, ketidakmampuan, kekalahan dan hal sejenisnya dianggap tabu dan tidak boleh terjadi. Pamer kemudian membuat idealisasi standar tertentu yang harus bisa dipenuhi semua orang. Konsekuensinya sih jelas. Pertama, orang menjadi enggan untuk melihat hidup apa adanya. Semua harus tampil serba sempurna. Padahal jelas kenyataan hidup tidak seperti itu. Kedua, ketika memang tidak ideal, di dalam dunia nyata pun orang berusaha bukan untuk memperbaiki tapi menutupi. Tampil mewah padahal tidak sesuai kantong. Tampil berkelas padahal paria. Tampil harmonis padahal berantakan. Ketiga, dengan situasi semacam itu orang melupakan pembelajaran penting bahwa sisi negatif yang ditutupi adalah mencerabut kemanusiaan itu sendiri. Tidak berani lagi tampil apa adanya, tidak mau dianggap sebagai pecundang. Padahal mau menang atau kalah sekalipun, orang lain nggak peduli dan nggak ada urusannya. Orientasi subyek yang terlalu berat memandang diri sendiri akhirnya menjadi beban yang tidak perlu kan?
“Share your weaknesses. Share your hard moments. Share your real side. It'll either scare away every fake person in your life or it will inspire them to finally let go of that mirage called "perfection," which will open the doors to the most important relationships you'll ever be a part of.” ~Dan Pearce
Jadi bersyukur yang sesungguhnya adalah untuk diri sendiri. Apakah penting untuk diketahui orang lain? Jelas tidak, sebab tidak ada gunanya. Setiap kebaikan, hadiah, pujian, prestasi atau segala sesuatu yang bermakna positif cukuplah disimpan dalam hati. Jika pun orang lain tau, adalah bukan dari mulut sendiri. Itulah reputasi sesungguhnya yang muncul karena karakter, dan bukan karena iklan. Sebab bersyukur semacam itu menunjukkan independensi atau kemandirian tertentu. Apapun yang dilakukan adalah karena diri sendiri dan bukan untuk mengesankan orang lain. Kegembiraan yang datang bersifat personal dan bukan tuntutan untuk tampil sempurna di depan publik. Sehingga hal yang terpenting adalah dengan bersyukur seperti itu, maka diri akan menjadi berharga di mata sendiri. Orang lain boleh beropini, tapi pendapat tinggal pendapat.
Lantas darimana kita tau bahwa ada bersyukur yang asli dan ada yang cuma sekedar tampilan kesan atau impresi? Mudah. Ada hipotesis bahwa "negasi bertubi-tubi adalah afirmasi terselubung, afirmasi bertubi-tubi adalah negasi terselubung". Orang yang mati-matian menolak, menyangkal atau menegasi sesuatu pada hakekatnya adalah mengakui menerima diam-diam. Persis kayak ditanya apa lu naksir si anu, bilangnya amit-amit jabang bayi ogah jijik tapi ternyata memperhatikan dan suka. Sebaliknya mengafirmasi atau menerima secara berlebihan adalah penolakan yang sesungguhnya. Membangun citra positif di media sosial, menampilkan bentuk harmoni, damai, gembira secara terus menerus dan lebay, sudah pasti berbanding terbalik dengan situasi nyata yang ada. Nggak taunya pisah, berantem, kekerasan, bahkan diem-dieman. Taiklah kan ya.