Banyak orang tentunya tau bahwa masa kecil itu adalah menyenangkan, meski nggak semua. Artinya, ketika menjadi bocah dulu ada saat senang dengan bermain, bersenda gurau, spontan, bisa akrab dengan siapa saja, tanpa beban, nggak perlu ribet mikirin tagihan, tunggakan dan cicilan. Jika diingat-ingat, masa seperti itu begitu menggembirakan sehingga sebagian orang rindu ingin bisa mengulanginya kembali. Kalo pun kagak, sudah pasti ada trauma serta pengalaman tidak mengenakkan kayak diomelin hingga digebukin, kesepian, keluarga berantakan dan sejenisnya. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa masa kanak-kanak memang berbeda dengan masa dewasa. Orang dewasa, dengan segala kerumitannya membuat diri menjadi cepat tua. Banyak pikiran, banyak tugas dan tanggung jawab, serta beban sosial hingga beban moral yang harus ditanggung.
Hanya saja, banyak juga yang tidak menyadari bahwa menjadi dewasa bukan sepenuhnya juga harus bermuka masam, berwajah serius, atau raut kecut meski isi dompet nyaris semaput. Ada banyak cara untuk bisa tetap terus berproses sejalan dengan umur tanpa harus meninggalkan kegembiraan dan keceriaan yang sudah pernah ada di masa kanak. Itulah sebabnya menjadi bocah (childlike) adalah kombinasi yang diperlukan dalam proses tersebut. Tetap tumbuh dewasa tanpa melupakan rasan senang, keinginan untuk terus bermain, dan menikmati segala sesuatu dengan santai. Sulitkah? Sudah pasti. Pertama, hidup sudah terokupasi oleh segala rutinitas dan problem yang seringkali tidak mudah untuk berpaling sedikit untuk merangkan kaki atau mendinginkan kepala. Itu yang bikin cepet tua. Belum lagi kebiasaan terlalu banyak mikir (overthinking) yang jangan-jangan begini, kalo-kalo begitu. Harus dalam posisi serba siap siaga sedia agar kalo ada apa-apa itu bisa cepat diantisipasi. Padahal bisa jadi meleset semua dan kemudian malah jadi beban baru.
Kedua, ada asumi bahwa tetap menjadi bocah adalah hal yang memalukan. udah tambah tua, harusnya kan menjadi serius. Saking seriusnya malah kaku kayak lap mobil kering. Dengan bertambah kaku, malah ada resiko juga untuk menjadi patah jika ada hal yang tidak dinginkan terjadi. Belum lagi selama tumbuh dewasa, orang diajari untuk tetap berpegang kepada janji, punya komitmen dan konsisten. Itu sih nggak salah. Hanya saja dalam prakteknya, ajaran semacam itu bercampur dengan pola disiplin dan latihan yang semakin menjauhkan dari ciri manusia sebagai makhluk bermain atau homo ludens. Menikmati jeda istirahat dianggap sebagai hal yang bukan prioritas. Melakukan hal konyol adalah memalukan. Orang yang bermain-main dianggap nggak bisa serius. Jadi orang dipaksa untuk berpikir dan hidup secara mekanis. Ibarat jarum jam analog yang berdetak dan harus menyesuaikan diri dengan benda seperti itu. Prakteknya ya sulit. Contohnya ya kebiasaan orang untuk memajukan putaran jam tangan atau wekker sebanyak 10 hingga 15 menit ke depan. Alasannya biar nggak telat atau masih ada waktu untuk bersiap. Padahal itu cuma alasan untuk bisa mengambil jarak sedikit dengan disiplin waktu kan?
“We don’t stop playing because we grow old; we grow old because we stop playing” – George Bernard Shaw
Oleh karena tetap menjadi bocah (childlike) dianggap tabu, maka sebaliknya orang juga nggak bisa membedakannya dengan sifat kekanak-kanakan (childish). Padahal kekanak-kanakan ini lebih menjangkiti orang dewasa ketimbang sekedar keinginan untuk bermain-main. Mulai dari kebiasaan cuma ngemeng doang, ogah atau merasa terbebani, baperan, sensi, ngamukan, bahkan tidak punya tanggung jawab. Kalo dimintai sesuatu nggak akan mau lebih, Memberi pun juga sama, serba perhitungan dan kalo bisa minimal. Kurang tanggung jawab itu membuat dirinya tidak kemana-mana tapi berpuas diri. Rasa iri, cemburu atau sirik baru muncul ketika ada orang lain dilihat melebihi dirinya. Lebih gawat lagi, kemudian dengan segala cara menjatuhkan atau menganggap orang lain adalah saingan. Padahal dengan diri berpangku tangan minimalis demikian ya nggak kemana-mana juga. Buat apa cemburu? Sebab hanya itulah yang bisa dilakukan. Paling tidak, berkomentar atau mengulas sudah dianggap sebagai sebuah tindakan. Maka nggak heran kekanak-kanakan pada orang dewasa itu menjadikan mereka muka tembok. Semakin tua, semakin kronis akut dan gelap ke depan.
Lantas, apa yang harus dilakukan? Cukup sederhana. Ingatlah bahwa masa kanak-kanak adalah penuh dengan kepolosan dan sikap spontan. Di tengah dunia yang semakin keras, tidak pasti dan penuh persaingan maka tentu saja siakp waspada harus dipelihara. Tidak ada salahnya juga untuk tetap menjaga kepolosan dan spontanitas, sebagai bentuk antusiasme yang obyektif, tidak berprasangka dan niat baik untuk tetap memelihara kemanusiaan yang dimiliki. Selain itu, sebagai makhluk yang bermain tentu juga penting untuk tetap memliki hobi atau kegemaran, meluangkan waktu untuk bersantai serta lebih rileks memandang hidup. Tidak ada salahnya untuk selalu bersenang-senang di tengah kesibukan, berpikir sederhana di dalam kerumitan, atau tetap punya itikad yang lebih baik di antara kecurigaan. Itulah kekanakan yang sesungguhnya, ketimbang cuma ngabisin waktu ngemeng sok ideal sok dewasa padahal semakin tua semakin kusam. Buluk pula. Repot jadinya.