Orang Endonesah itu demen dengan segala sesuatu yang berbau ketegasan. Lihat saja di media, ketika ditanya kriteria soal pemimpin pasti jawabannya harus tegas. Bahkan tegas identik dengan militeristik; kasih perintah sat set sat set nggak pake ba bi bu langsung eksekusi dan tidak bisa digoyang kanan kiri. Kenapa bisa begitu? Jawabannya sudah apsti dua. Pertama, banyak pemimpin yang dianggap peragu, plintat-plintut, mencla-mence, pagi tahu sore tempe dan sebagainya. Wajar saja, di antara mereka ada yang tidak menguasai permasalahan, nggak ngerti lapangan, baru pertama kali menjabat atau memang pada dasarnya punya karakter serba bingung. Kedua, bisa jadi orang Endonesah sendiri yang memang terbiasa jadi bebek. Harus dipimpin dengan keras supaya bisa manut nurut. Sebab dikasih kebebasan dikit kontan beringas, milih jalan sendiri tapi nggak tau pulang.
Jadi ketegasan dalam konteks itu bermakna ganda. Apakah memang seorang pemimpin harus tegas? Ataukah jangan-jangan rakyatnya yang terlalu bodoh untuk bisa mengikuti aturan? Tegas dalam hal itu bermakna sebagai keputusan yang bersifat lurus tanpa bisa diganggu gugat. Apa yang sudah diputuskan untuk kepentingan bersama, jangan dipertanyakan lagi. Tegas juga bisa berarti punya wibawa. Jadi rakyat bebek merindukan sosok yang bisa memandu dari depan, sekaligus memecut dari belakang. Akan tetapi tegas juga bisa berkonotasi negatif. Pertama, sikap tegas dianggap sebagai cara cepat untuk memutuskan secara keras kepala, bahkan kepala batu. Padahal tegas harus mampu memberikan jawaban sulit yang membutuhkan proses negosiasi. Artinya, keputusan yang diambil harus benar-benar matang. Nah, bisa jadi tegas adalah solusi atas ketidaktahuan bahkan masabodoh. Pokoknya A ya A. Titik. Itu bukan tegas lagi, tapi sudah jadi bebal.
Kedua, tegas bisa jadi negatif jika memotong proses sekaligus tidak ke inti permasalahan. banyak orang mencoba untuk menjadi bukan saja kepala batu tapi nggak menguasai apa yang sedang dihadapi. Tegas jadi jawaban defensif untuk menutupi kebodohan. Apalagi jika tidak mau mendengarkan orang lain. Sudah bebal, sombong pula. Banyak pemimpin yang memanipulasi ketidaktahuannya dengan sikap demikian dan herannya ada saja yang menjadi kagum. Setiap diskusi dianggap bakal mengundang perdebatan dan oleh karena itu harus dihindari. Akibatnya, gaya-gaya semacam perintah searah dianggap sebagai solusi yang bisa memberi jawaban terhadap masalah umum. Beda pendapat tidak diperbolehkan. Bebal, sombong, bodoh pula. Jadi gaya begitu memang cocok buat rakyat bebek.
Ketiga, urusan ketegasan tidak bisa dimulai dari hal-hal besar. Contoh sederhana ya mulai dari diri sendiri. Kalo ditanya mau makan apa, diskusikan dan kemudian beri jawaban pasti. Bukan malah ngedumel muter-muter kemudian bilang terserah. Kalo diminta pendapat, berikan secara jernih, jelas dan jangan kutap kutip orang lain. Bibit ketegasan dimulai dari situ. Bersifat terbuka terhadap opini orang, diskusikan, negosiasi dan ketika sudah jadi keputusan maka dijalankan secara pasti. Sebab banyak orang yang suka terbalik disini. Ogah dengerin orang lain, tutup kuping, tapi begitu memutuskan dan tidak sesuai dengan ekspektasi atau harapan maka mulai celingak-celinguk mempertanyakan dan ragu sendiri. Akhirnya keputusan yang diambil batal, dicabut dan berganti lagi. Itu bukan lagi tegas yang berguna, tapi labil yang merugikan. Apalagi jika dikaitkan dengan kebijakan publik. Seolah rakyat cuma jadi kelinci percobaan. Padahal sekali keputusan diberikan dan menyangkut hajat hidup orang banyak, sudah pasti dalam sekian menit ada konsekuensi, dampak dan resiko yang muncul serta harus ditanggung.
Keempat, pemimpin tidak selalu harus tampil tegas. Ada kalanya pura-pura nggak paham, blagak pilon atau kelihatan bego juga penting sebagai bagian dari strategi. Sebab selalu tampil tegas akan mudah dibaca lawan. Apalagi tegasnya cuma kosong doang; buat menutupi diri yang beneran bebal, sombong dan bodoh. Tapi tentu saja sebagai bagian dari strategi maka harus tau kapan, dimana dan bagaimana untuk bisa kelihatan lunak. Jadi melentur dan mengeras itu sangat penting. Persis kondom dan titit. Harus tau kapan bisa begitu sesuai dengan posisi dan waktu. Masalahnya adalah, banyak orang hanya mau dianggap tegas. Padahal tegas di sini cuma soal keras dan kemudian getas. Tau-tau frustrasi dan patah sendiri.
Jadi ketegasan bukan semata soal tampil meyakinkan, nggak bisa digugat, berwibawa tapi kosong makna. Ketegasan justru adalah proses yang harus dijalani sebagai sebuah kebiasaan untuk mendengarkan orang lain terlebih dahulu hingga bulat dalam soal eksekusi keputusan. Sudah pasti yang namanya keputusan adalah tidak melulu bisa menyenangkan semua orang. Kalo mau bikin semua hepi, ya jadi badut atau tukang eskrim ajalah. Maka ketika proses itu dimulai dengan negosiasi dan berakhir dengan eksekusi yang lempeng nggak goyang kanan kiri, itulah ketegasan yang sesungguhnya. Tegas bukan soal firm, tapi juga assertive dan decisive. Selain itu, ketegasan bukan pula monopoli para penguasa. Artinya, orang lain termasuk rakyat bebek harus bisa belajar tegas. Kritis terhadap apa yang sedang berjalan sekaligus berani untuk bisa bersifat terbuka dan mengikuti apa yang sudah digariskan secara sadar. Ikut-ikutan bukan opsi, apalagi gegara soal trend dan nggak mau ketinggalan. Baru nyadar setelah salah jalan nggak bisa pulang. Tau-tau berakhir di meja warung Madura dengan bumbu hitam dan sambal pedas. Bebek sial kan jadinya. "If you don't have a seat at the table, you're probably on the menu." ~Elizabeth Warren. Dah pas kan ya?