Beberapa waktu lalu, muncul pemberitaan tentang lebih dari seratus Calon Pegawai Negeri Sipil atau CPNS yang sudah diterima melalui serangkaian tes, mengundurkan diri. Banyak kecaman yang muncul sebab selain biaya besar yang sudah dikeluarkan oleh negara untuk melakukan proses seleksi, tindakan semacam itu dianggap tidak bermoral lantaran memupus harapan orang lain yang sudah terpental terlebih dahulu karena peringkat. Jika keputusan untuk mundur itu diambil sebelum dinyatakan diterima, akan ada orang lain yang lebih berminat dan masih punya kesempatan. Akan tetapi persoalan yang lebih penting adalah adanya kemungkinan banyaknya calon yang mundur karena melihat besaran gaji, penempatan yang tidak diharapkan dan sebagainya. Sebenarnya itu sudah resiko pilihan profesi. Gaji PNS mungkin tidak besar tapi tunjangannya lumayan. Lantas apa sih sebenarnya yang diharapkan?
Masalah yang sama juga dihadapi di dunia industri atau bisnis. Di beberapa perusahaan ternama di Indonesia, semakin lama angka turn over karyawan semakin tinggi khususnya pada mereka yang baru masuk bekerja. Situasi ini menjadi sorotan karena jika dipandang dari sisi generation gap, mereka yang keluar justru adalah dalam rentang usia produktif yang paling awal yakni first jobbers, atau baru lulus dan diterima bekerja. Apakah ada yang keliru di sini? Mengapa anak muda sekarang dilihat jadi begitu lembek dan pemilih? Mengapa sepertinya mereka tidak tahan tekanan di dalam berkerja? Tentu saja fenomena semacam itu menjadi sesuatu yang serius lantaran di satu sisi dapat menggoyahkan proses regenerasi yang ada, serta di sisi lain akan ada asumsi bahwa kesenjangan generasi tersebut akan berdampak bukan saja produktivitas tetapi moral perusahaan seperti visi, misi, purpose dan cita-cita yang diemban sejak dahulu.
Apa yang terjadi di dalam birokrasi pemerintahan dan industri tersebut semakin mempertajam banyak dugaan terutama opini yang cukup menusuk baik dari atasan, rekan kerja senior, users, dan sejenisnya. Opini tersebut bukan saja melihat bagaimana kesenjangan generasi yang kian melebar tetapi juga refleksi perbedaan secara signifikan dalam rentang usia tertentu yang menyangkut persepsi tentang loyalitas, produktivitas, bahkan ukuran tentang kerja itu sendiri. Pertama, mereka yang lebih tua akan melihat bahwa ada kebebasan yang lebih banyak didapat pada generasi atau angkatan kerja baru di jaman sekarang ketimbang masa mereka dahulu. Anak muda sekarang nyaris semuanya dipenuhi oleh berbagai kemudahan baik fasilitas maupun dukungan orang tua. Mereka yang lebih tua merasa bahwa kondisi dahulu jauh lebih struggling ketimbang sekarang. Dulu cari kerja karena kebutuhan perut, tidak banyak bertanya, manut saat disuruh, pulang pergi naik angkot, hidup serba keras terutama di akhir bulan bahkan harus bisa berhemat dan pandai-pandai menempatkan diri tanpa memikirkan jabatan. Anak sekarang dianggap cari kerja buat nambah pengalaman, lebih kreatif dan sekaligus kritis, tidak sungkan bertanya dan membandingkan urusan gaji, pangkat dan jabatan, rerata masih ada orang tua yang memberi support, masih sempat mikirin ngopi-ngopi, healing dan staycation serta mengukur loyalitas kerja berdasarkan beban. Jadi nggak heran kalo weekend ponselnya bisa mati nggak bisa diganggu urusan kantor.
Kedua, dengan pendapat semacam itu maka wajar jika di satu sisi mereka yang lebih tua dan berperan sebagai atasan, rekan kerja senior, atau users pada umumnya beranggapan bahwa angkatan kerja generasi jaman sekarang semakin sulit dipegang, egois, hanya memikirkan diri sendiri, manja, jauh lebih nyaman serta bekerja hanyalah cuma buat coba-coba. Padahal tempat kerja adalah medan perang dan bukan taman bermain, katanya gitu. Sementara di sisi lain mereka yang baru masuk itu merasa yang lebih tua tidak memberikan dukungan yang baik, keras hati, tidak memahami perkembangan jaman dan teknologi, berasa sudah nyaman tapi tidak pula memberikan contoh pula di dalam pekerjaan. Taunya hanya bisa nyuruh tapi nggak pernah bisa ngerjain, malah kita yang lebih bisa mengerjakan, keluhnya gitu.
Jadi perubahan yang sangat menyolok itu adalah bukan saja cara pandang tentang beban kerja dan ukuran loyalitas, tetapi juga bagaimana kelak tongkat estafet di dalam administrasi birokrasi dan industri itu berjalan. Jika generation gap dalam persepsi soal kerja itu tidak dapat dijembatani dengan baik, maka segala asumsi, opini yang timbul bisa menjadi kontraproduktif dan menimbulkan masalah baru. Mereka yang baru masuk sebagai angkatan kerja perlu belajar untuk memahami bahwa urusan ngantor itu sebenarnya bukan perkara subyektif antara suka atau nggak suka. Berkerja adalah harus bisa menempatkan diri di bawah orang lain karena kelak akan berada pula di atas orang lain. Pola hirarki semacam itu tentu saja berlandaskan respek dan dukungan terlepas dari bagaimana orang yang dihadapi. Dengan kata lain, butuh kecerdasan emosional dan interaksi sosial yang jauh lebih mumpuni ketimbang berlindung dibalik kata introvert atau mental health yang sedikit-sedikit terganggu.
Sebaliknya, mereka yang berperan sebagai yang lebih dahulu di dunia kerja harus dapat membaca dan mengapresiasi pola yang berbeda dari generasi yang lebih muda. Butuh pendekatan yang lebih personal dan juga sekaligus melihat kebutuhan profesional agar dapat memberikan dukungan. Kemampuan untuk menjadi kreatif, melihat persoalan atau problem solving dari perspektif berbeda, serta sifat terbuka dalam memandang banyak hal adalah beberapa kelebihan yang membedakan generasi sekarang dibandingkan dahulu. Cara-cara lama yang digunakan sebagai patokan ukuran kesuksesan belum tentu masih berlaku. Oleh karena itu, semakin tua juga harus tetap sama belajarnya dengan yang lebih muda. Ini berlaku sepanjang masa sebagai bentuk penyesuaian terus menerus agar kesenjangan itu bisa diperkecil dan komunikasi berjalan dengan baik.
"When determining appropriate levels of compensation, management must determine if the employee turnover rate is too low, too high, or just right. If turnover rate is high enough to adversely impact the entity's performance, then employee compensation is probably too low." ~Jason Chaffetz
Dengan demikian, proses untuk mendorong angkatan kerja yang sekarang agar bisa menetapkan ukuran beban kerja, loyalitas dan ekspektasi ke depan haruslah dilakukan sejak awal. Membangun ketertarikan tidak cukup hanya dengan keterikatan tetapi juga harapan tentang kontribusi, jenjang karir dan peluang yang lebih terbuka dibandingkan hanya sekedar memikirkan gaji. Bayangkan, udah capek-capek bikin seleksi berbiaya mahal mencari talenta emas tapi yang direkrut ternyata keluar juga dan menyisakan loyang. Apalagi pilihan semacam itu dilakukan hanya dengan hitung-hitungan soal berapa take home pay, berapa lama naik pangkat, jauh dari rumah atau nggak, ngeluarin ongkos berapa di jalan dan sebagainya yang bersifat teknis dan jangka pendek.
Emang sih, ada juga anak muda yang mikirnya sependek itu. Kerja bisa serabutan cuma ngejar cuan tanpa mikir karir, yang penting kerjaan selesai dah gitu aja, yang penting biayanya kecil, kalo bisa bolak balik ke kantor jalan kaki dari rumah ortu. Tapi ada juga orang tua yang mikirnya sama seperti itu. Udah sama cuma serabutan, nggak pernah kerja serius, ogah keluar biaya, tapi masih mimpi dapet duit besar dan mau kelihatan sukses. Masih sama bolak balik dari rumah ortu? Sama aja sekelas loyang juga jadinya. Dipake untuk bikin kue entah kenapa bantet melulu. Mungkin memang kurang pengembang. Entah.