Selama hidup, semua manusia selalu punya pengalaman menyenangkan dan tidak menyenangkan. Keduanya berpengaruh terhadap bagaimana ia menyikapi, mengantisipasi bahkan bereaksi terhadap sekelilingnya termasuk orang lain. Berbagai perasaan yang didapat dari pengalaman masa lalu itu sedemikian membekas. Sejauh mana pengalaman itu berpengaruh, tentunya tergantung kepada setiap individu. Semisal ada orang yang pernah kecopetan di tengah keramaian, pastinya akan wajar jika di waktu berikutnya ia akan menjadi selalu waspada, merasa ada copet yang mengawasi. Sama halnya dengan orang yang pernah diolok-olok atau dilecehkan di depan umum, maka pengalaman yang tidak menyenangkan itu akan terus terbayang. Setiap berhadapan dengan orang lain, ia akan curiga bahwa dirinya akan dibicarakan. Emangnya artis gitu?
Pengalaman semacam itu juga tidak hanya didapat dari secara langsung di masa lalu, tetapi juga bisa berasal dari mendengar orang lain, membaca sumber, menonton berita di teve, atau banyak kemungkinan yang intinya adalah menimbulkan kekuatiran tersendiri. Istilah jaman sekarang adalah parno. Wajar nggak sih menjadi parno? Wajar saja, sebab dengan informasi yang didapat dari pengalaman langsung atau tidak langsung maka orang berusaha untuk mengantisipasi segala kemungkinan agar itu tidak terjadi lagi. Antisipasi itu bisa saja membangun alert atau kewaspadaan, celingak celinguk pasang mata dan kuping, kalo bisa bertindak preventif sekalian. Seperti apa parno yang muncul, tentunya juga berkaitan dengan sedalam apa trauma yang ditimbulkan. Ketika perasaan parno sudah kelewatan dalam arti menimbulkan kecemasan, gelisah sehingga harus menghindar, enggan berinteraksi atau malah menimbulkan kecurigaan terus menerus, maka itu sudah berubah menjadi waham tersendiri. Tidak ada lagi kontrol dan perasaan itu memicu tindakan yang berulang-ulang. Misalnya, sudah yakinkah untuk benar-benar mengunci pintu atau mematikan keran? Sudah yakinkah menyalakan lampu sebelum keluar rumah? Sudah yakinkah cuci tangan barusan bikin bersih? Sudah yakinkah bahwa semua tulisan di blog ini tidak menyinggung dirimu?
Jadi waham itu bisa melebar kemana-mana baik secara internal maupun eksternal. Secara internal adalah membangun kebiasaan tidak sehat berkaitan dengan stress atau kegelisahan. Istilahnya adalah Obsessive Compulsive Disorder atau OCD. Ada dorongan di dalam pikiran untuk secara berulang memastikan sesuatu tanpa bisa dicegah atau dilawan oleh pikiran itu sendiri. Demikian juga secara ekstenal, pikiran mendorong bahwa ada hal di luar sana yang mengganggu baik secara terbuka atau tertutup. Secara terbuka orang berpotensi menjadi delusional, menganggap diri penting dan harus diapresiasi terus menerus atas eksistensi dirinya. Secara tertutup orang berpotensi menjadi agresif, tidak percaya dan curiga berlebihan terhadap apapun yang dianggap tertuju kepadanya. Maka dalam taraf seperti itu, waham sudah berkembang dan tidak dapat dikontrol. Sudah jauh melebih sekedar parno. Jika perasaan yang muncul hanya sesaat dan hilang entah di tengah keramaian atau berinteraksi dengan orang lain, maka sebenarnya tidak ada yang perlu dicemaskan. Akan tetapi jika sudah berlangsung secara konstan, maka pastinya butuh pemeriksaan lebih lanjut oleh pakar dalam bidang psikologi atau psikiatri.
Fokus dalam tulisan ini justru adalah membahas ekses atau konsekuensi dari tindakan-tindakan parno yang sudah mendekati ambang berlebihan. Ketidakmampuan menyeleksi atau memilah dan merefleksi berbagai pengalaman di masa lalu, bisa jadi merupakan kontributor terbesar di dalam cara menghadapi sesuatu di masa sekarang. Sama halnya dengan menyerap dan memilih informasi yang masuk berikut efeknya. Keengganan atau ketiadaan sarana untuk bertanya, melakukan konfirmasi, periksa ulang, periksa silang, menyebabkan semua pengalaman dan informasi itu masuk tanpa pandang bulu. Padahal otak itu ibarat spons cuci piring; semua air yang diserap masuk akan menambah bobot dan memberatkan jika tidak diperas. Maka memeras otak adalah upaya untuk mengklasifikasi dan mengkategorisasi semua informasi yang masuk. Ada yang berharga, ada yang perlu dibuang. Lantas apa jadinya jika semua ditelan mentah? Tentu saja berdampak kepada pengambilan keputusan, yang kemudian punya konsekuensi terhadap tindakan. Jadi bayangkan jika ada orang yang berasa penting, semua perlu berfokus kepada dirinya, sekaligus juga curigaan kalo diomongin orang. Sudah pasti orang tersebut minim kemampuan untuk memeras otak untuk melakukan klasifikasi dan informasi. Kebiasaan untuk selalu menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian, membuat semua air baik bersih atau kotor masuk ke dalam spons. Berat nggak? Ya berat banget hidupnya, sebab segala hal harus diperhitungkan hingga secara detail dan berulang tanpa bisa dicegah oleh pikirannya sendiri.
"...otak itu ibarat spons cuci piring; semua air yang diserap masuk akan menambah bobot dan memberatkan jika tidak diperas." ~FRS
Maka kontribusi waham dalam perspektif itu adalah tidak lain soal pembiasaan yang dimulai sejak dini. Psikologi dan psikiatri berurusan dengan penyebab, proses dan perbaikan hasil agar penderitaan psikis tidak berlarut-larut. Sementara filsafat dalam hal ini adalah melirik secara fenomenal tentang awal mula dan konsekuensi yang dihadapipi bukan terhadap diri sendiri, tetapi juga ketika berinteraksi dengan orang lain. Selain itu, tanpa disadari banyak juga orang yang masuk dalam situasi semacam itu meski bobotnya relatif dan subyektif. Sudah barang tentu identifikasi dan refleksi menjadi penting agar minimal di dalam interaksi tidak menimbulkan ekses yang berkepanjangan. Pengalaman baik atau buruk haruslah dapat diterima dan diseleksi. Pengalaman baik memberi kenangan manis, pengalaman buruk memberi pelajaran. Akan tetapi kemampuan menyeleksi menjadi tuntutan awal di sini. Seberapa banyak mereka yang bisa membiarkan pengalaman baik sebagai sebuah kenangan? Kebanyakan justru malah berusaha memeliharanya sehingga menjadi posesif. Seberapa banyak orang mau menerima pengalaman buruk sebagai pelajaran? Ujungnya banyak juga yang kemudian kabur dan enggan belajar. Dianggap cuma jadi beban. Demikian pula dengan informasi yang diserap. Seberapa banyak yang kemudian berpayah mau menyortir, periksa ulang dan periksa silang. Padahal hampir semua informasi yang masuk tanpa ketahuan jejaknya adalah sampah. Entah kata orang lain, dengar-dengar, atau bahkan konon alkisah hatta di suatu hari yang indah.
Jadi tidak mengherankan jika beberapa orang menjadi sangat delusional untuk kemudian membebani kerja otak dengan informasi nggak penting, sehingga kebalikannya mereka menganggap diri sangat penting sampai harus diikuti, dibicarakan dan dibahas orang lain. Entah karena masa kecil nggak menyenangkan; analisis Freudian mengatakan ada relasi yang buruk dengan bapak sehingga nempel emak. Atau bisa jadi masih butuh pengakuan personal di tengah habitat yang begitu-gitu aja. Main kurang jauh atau kebanyakan bengong. Semuanya adalah mungkin di tengah kondisi yang subyektif dan relatif. Terpenting adalah, hal semacam itu banyak terjadi di sekeliling kita dan cukup jadi contoh yang baik untuk tidak ditiru. Ternyata masih ada gunanya kan? Iyalah ketimbang berasa diomongin atau bahkan dipikirin. Artis juga bukan ternyata.