Kalo ngomongin soal kuliner entah cuma sekedar icip-icip, hobi makan sampe beneran bisa masak, hampir semua orang di Indonesia mengklaim sebagai hobi. Entah serius atau nggak, tapi rerata demen ngaku kalo doyan segala macam hidangan Nusantara. Segala macam? Eits, ntar dulu. Ternyata nggak semua juga. Ada aja hambatannya. Entah karena alasan keyakinan macem vegan atau nggak makan daging, entah karena alasan agama nggak boleh yang haram. Jadi perkara isi dan urusan perut itu bukan soal mudah. Padahal makanan di Nusantara itu beneran fleksibel, akomodatif dan merupakan hasil akulturasi budaya yang sudah berlangsung selama berabad-abad. Entah karena pengaruh Melayu, India, China, Arab, Eropa dan kawasan lain. Interaksi yang terbangun baik karena migrasi, interaksi dagang, kolonialisme dan apapun wujudnya melahirkan banyak makanan khas Endonesah yang bahkan tidak ditemukan di negara lain.
Tapi kenapa jadi ribet? Sebab segala sesuatunya dikaitkan dengan politik identitas. Udah gitu, hambatan-hambatan yang muncul seperti di atas seolah menjadi harga mati yang nggak bisa ditawarkan bukan saja buat dirinya tapi orang lain. Alhasil, buat yang merasa nggak ada hambatan, ya terpaksa harus manut juga karena harus bertenggang rasa. Apa nggak kebalik ya? Misalnya saja belum lama ini dihebohkan dengan berita orang jualan nasi Padang Babi lengkap dengan rendangnya. Pertama, banyak yang tersinggung karena dianggap menghina etnis Minang yang dianggap seratus persen identik dengan Muslim yang nggak makan babi. Padahal, itu sudah lama tutup gegara memang nggak laku. Kedua, soal selera ya nggak bisa dibuat standar. Sudah bagus bilang daripada ngaku sapi kan? Ketiga, emang dasarnya nggak laku gegara daging babi terlalu gurih bila dicampur dengan santan. Maka banyak olahan daging babi di Indonesia lebih banyak dipanggang, goreng atau bakar. keempat? Sejak kapan makanan mengenal etnis dan agama? Malu dong sama bakso, bakcang, bakpia yang awalnya memang mengandung babi tapi kemudian diperkosa dan diklaim dengan label halal. Ada yang protes? Nggak ada. Sebab lagi-lagi urusan perut adalah punya market masing-masing.
Keribetan itu terjadi karena politik identitas orang berusaha untuk merumuskan diri agar bisa berbeda dengan orang lain. Identitas itu termasuk segala hal tidak saja soal suku, agama, ras, warna kulit dan gender tapi juga soal selera. Padahal batasan-batasan yang dilakukan sudah amat jelas agar orang nggak salah makan, kecuali sengaja makan. Ini agak lucu memang sebab orang Endonesah umumnya menolak babi, tapi sebagian bisa agak kompromis dengan alkohol atau daging mentah berkaki dua. Dikasih yang mateng bakal tersinggung, tapi dikasih yang bikin geleng-geleng apalagi bisa pargoy, eh senyum-senyum sendiri. Maka nggak heran kalo doktrin soal daging mateng satu itu bisa bikin orang murka. Identitas yang ada kemudian diperluas dengan soal penggunaan alkohol pada makanan. Seperti misalnya rum pada kue sus. Sekarang udah jarang pake karena dianggap melanggar apa yang dilarang agama. Jadilah kue sus rada anyep sampe mungkin kemudian secara kreatif orang mengubah isinya menjadi coklat, vanilla, atau mungkin teh hijau biar agak berselera. Salah? Jelas tidak. Lagi-lagi urusan perut adalah punya pasar sendiri. Akan tetapi disadari atau tidak, orang kemudian menjadikan semua bentuk kuliner mengalami penyesuaian berdasarkan perkembangan jaman. Sama halnya seperti bakcang yang dulu adalah makanan bekal pekerja rel kereta api, atau gudeg yang juga ransum tentara Mataram. Di jaman sekarang justru malah bisa dimodifikasi menyesuaikan pasar. Entah dikemas dalam plastik atau malah masuk ke kaleng, keduanya kini tetap jadi favorit.
“Food is everything we are. It's an extension of nationalist feeling, ethnic feeling, your personal history, your province, your region, your tribe, your grandma. It's inseparable from those from the get-go.”~ Anthony Bourdain
Dengan demikian makanan memang bukan saja soal budaya tetapi juga politik, tergantung dari sudut pandang mana orang kemudian mau melihatnya. Proses akulturasi adalah konsekuensi dari interaksi sosial dan budaya, sedangkan proses politik adalah gengsi dan sekaligus juga hal yang sensitif jika dikaitkan dengan identitas. Apalagi kalo sudah jadi bahan gorengan politik di media, dengan komentator para politisi seperti anggota legislatif. Kurang kerjaan, kurang issue dan kurang bahan. Apalagi taun depan udah bau-bau pemilu kan? Segala macam bahan diambil dan digodok tinggal tambahin bumbu esmosih biar semakin sewot dan ada rasa memiliki bersama. Perbabian jadi musuh kolektif yang diharapkan kelak bisa mendongkrak suara.
Maka jangankan dalam skala nasional, di kancah internasional pun berita soal makanan negara mana yang paling enak atau tidak enak juga bawaannya bikin sewot. Tapi pernahkah misalnya orang berpikir bahwa ada hal lain yang lebih krusial ketimbang bicara asal usul makanan? Semisal, soal kebersihan dan kesehatan? Contohnya aja gorengan di pinggir jalan yang menggunakan minyak jelantah dan dicampur plastik. Atau standarisasi kelayakan dapur di resto yang bukan saja penggunaan bahan baku berkualitas tapi juga cara masak dan bebas dari nyamuk, lalat, serangga dan tikus? Nyaris tidak terpikirkan. Nggak asyik dan nggak seru. Sebab level apresiasi kita terhadap kuliner umunya masih terbatas pada hal yang bersifat superfisial aja. Lebih seneng membahas kuliner hanya pada proses pembuatan, cicip makan dan kemudian soal rasa. Bicara hanya sebatas kenyang, nikmat dan kemudian berpikir soal modifikasi dan masuk tipi. Jangan pernah bicara high culture macem makanan Prancis yang dibuat cuma seiprit untuk memuaskan mata. Blom nyampe ke sana. Justru kalo bisa dibikin ribet, kenapa tidak? Macem di Tektok bikin piedoh gimana cara makan martabak ala table manner dengan sendok garpu.
Padahal kuliner lebih dari sekedar urusan perut. Selain soal budaya, politik, kesehatan, itu juga masuk isu lingkungan. Seberapa banyak makanan terbuang sia-sia? Tahun 2021 saja, jumlah makanan sisa itu sebesar 46,35 juta ton dan menjadi komposisi terbesar dari seluruh waste yang ada. Lu bayangin aja, udah berlagak pecinta kuliner, pesen bakso doang, maunya macem-macem, dijadiin konten abis itu nggak dihabiskan. Ntar sewot begitu disinggung soal iman sampe tes kriuk. Dah, gitu aja kok ngamuk urusan perut. Gimana urusan imin di bawah perut? Repot ntar.