Orang Endonesah lagi gandrung dengan istilah World Class atau Kelas Dunia. Hampir semua pencapaian yang dianggap optimal harus menggunakan embel-embel dua kata tersebut. Tidak tanggung-tanggung, mulai dari pemain sepak bola, bikin terminal kendaraan, pariwisata, urusan lelang, properti, bisnis, birokrasi, bahkan pendidikan sekali pun semua mau jadi Kelas Dunia. Terlepas dari kebiasaan latah atau sekedar ikut-ikutan yang biasa terjadi, sebenarnya apa sih Kelas Dunia? Jika dilihat dari definisi singkat, pemahaman tentang kelas dunia adalah "peringkat di antara yang paling terkemuka di dunia, dari standar keunggulan internasional". Seperti halnya perusahaan kelas dunia, tentu saja perusahaan seperti itu punya standar kualitas produk, layanan, berfokus kepada sumber daya manusia yang unggul serta memiliki perencanaan, pengorganisasian dan proses bisnis dengan jangkauan meluas dan sangat baik.
Akan tetapi dilihat dari definisi saja, pemahaman terhadap istilah Kelas Dunia juga menunjukkan dua sisi seperti halnya pedang bermata ganda. Ada peringkat, ada pula standar keunggulan. Artinya, ada reputasi dan ada karakter. Membangun karakter sebagaimana standar keunggulan bukanlah perkara sepele yang dapat dilakukan dalam waktu singkat. Harus ada pembiasaan, benturan, jatuh bangun dan kemudian mampu menetapkan sebuah kualitas tersendiri yang dapat dipertanggungjawabkan. Lihat saja soal pariwisata di Indonesia, khususnya di Bali. Umumnya orang mengenal dan mengetahui bahwa pariwisata di Bali adalah yang terbaik karena servicing yang memuaskan, keramahan yang ditunjukkan, serta kesigapan didalam proses bisnis yang berlangsung. Semudah itu? Tentu tidak. Pariwisata di Bali yang booming sejak lebih dari 50 tahun lalu pasti pernah jatuh bangun karena berbagai krisis. Di luar dugaan orang, hanya daerah-daerah tertentu seperti di selatan Bali yang terbiasa dengan turisme yang diperlihatkan melalui servicing yang memuaskan. Bisa jadi lainnya relatif lebih rendah karena pusat parisiwata di selatan Bali seperti Kuta, Seminyak, Legian itu memang jauh lebih terbiasa karena ruang dan waktu. Bagaimana dengan di luar Bali? Banyak pemandangan yang lebih indah, namun pariwisata bukanlah sekedar produk atau standar layanan bahkan fasilitas saja. Ada perasaan yang harus bisa melekat dan mengikat, seperti halnya konsep engagement di dalam bisnis lainnya. Itu faktor manusia dalam pemahaman human capital. Jadi mendorong sebuah daerah agar bisa punya pariwisata Kelas Dunia lagi-lagi bukan perkara gampang cepat disulap lengkap dengan fasilitas.
Sama halnya dengan dunia pendidikan yang kini juga mau menjadi Kelas Dunia. Urusannya tetap sama, ada reputasi, ada karakter. Semua sibuk membangun reputasi; dikit-dikit melihat rangking. Padahal perkara urutan bisa menjadi sangat relatif tergantung dari sudut pandang serta siapa yang menilai. Semua sibuk melengkapi diri dengan fasilitas, mendorong fungsi pendidikan agar standar bisa meningkat secara otomatis dilihat dari bagaimana kinerja manusia didalamnya. Maka tidak mengherankan jika dosen tetap di jaman sekarang jadi tambah sibuk ngurusin borang, laporan beban kerja, menulis buku, ikut webinar, jadi pembicara ini itu, serta aktivisme lainnya. Eksesnya jelas ada; seberapa siap mereka untuk bisa larut di dalam perkara administrasi dan birokrasi semacam itu agar bisa diakui? Contohnya saja menulis buku mewajibkan ISBN. Dengan berduyun-duyun menulis, memasukkan naskah, nggak penting cetak satu atau dua karena tujuannya buat laporan tanpa niat menjual, maka jatah ISBN negara ini meyusut drastis. Sementara penerbit dan penulis yang menggunakan ISBN sebagai lazimnya bentuk promosi harus ngelus dada lantaran antrian bertambah panjang dan proses menjadi lebih lama. Sama halnya dengan urusan menulis di jurnal itu. Kenapa harus standar internasional? Butuh pengakuankah, atau memang mau mendongkrak nyali dan keahlian? Padahal isinya pun juga belum tentu up to date atau malah ngolah bahan lama.
Lebih ironis lagi, menjadi kelas dunia bukan berarti pendidikan seperti di level strata sarjana ke atas menjadi otomatis berkualitas. Standar yang digunakan juga tetap subyektif; lulus cepat dengan nilai setinggi-tingginya. Apakah siap masuk dunia industri, bekerja atau membangun bisnis sendiri? Belum tentu. Masih banyak juga yang akhirnya bekerja karena sebagai batu loncatan untuk mencari pengalaman yang tidak didapat di kampus. Apakah dengan menjadi kelas dunia kemudian banyak mahasiswa mancanegara yang berkuliah disitu? Belum tentu. Paling banter juga datang dari negara-negara yang lebih terbelakang. Kalo pun lebih maju ya pertukaran pelajar atau mahasiswa, biar mereka bisa paham apa yang sedang terjadi di sini. Apakah kemudian produk yang dihasilkan kemudian fasih lancar erbagai bahasa, memahami masalah, mampu menganalisis dan kemudian menjadi human capital andalan yang siap untuk ini itu? Belum tentu. Jangankan ngemeng bahasa Enggres. Dikasih bukunya saja menjerit nggak terbiasa untuk membaca. Jika masih bisa sekali pun, belum tentu bisa paham konteks secara cepat dan mampu berpikir. Kalo pun bisa mikir, ngasih solusi pun belum tentu berani karena dikit-dikit pasti nanya balik untuk meyakinkan diri.
"Quality training is what I do now; before it was a combination of both quality and quantity. Now I'm not trying to be a world-class athlete, I don't need to train at that level. It's about being fit, fit for life." ~Jackie Joyner-Kersee
Oleh karena urusan reputasi lebih diutamakan ketimbang karakter, maka istilah Kelas Dunia adalah sekedar gimmick tentang kesuksesan. Mirisnya, ini nggak cuma pendidikan tapi juga hampir semua sektor. Dengan menjadi Kelas Dunia, mau dibaca ada ambisi untuk bisa memiliki keunggulan dan standar yang sama dengan negara-negara maju lainnya. Padahal yang terjadi sesungguh justru malah menjadi cermin atas inferioritas alias nggak percaya diri, sehingga memaksa agar bisa setara dengan yang lain. Fasilitas boleh sama, teknologi boleh ada, standar dan prosedur boleh ditetapkan, tapi selagi pembiasaan serta mental yang ada tidak turut terbangun dengan baik ya percuma. Apalagi jika motif dasarnya adalah ikut-ikutan. Selain itu yang kerap dilupakan adalah jika sudah punya standar yang bagus, bisakah kemudian menjaga agar pelayanan yang sudah optimal itu sekurangnya bertahan atau lebih baik lagi? Sebab selain ikutan-ikutan, penyakit sosial lain yang juga mengikuti adalah kebiasaan anget-anget tai ayam. Giliran lagi gandrung udah kayak mabok kepayang. Pas udah mulai kendor ya tambah molor.
Dengan kata lain, menjadi Kelas Dunia adalah sebuah proses yang berjalan melalui banyak pengujian, rintangan dan tantangan. Tidak ada yang instan bisa bertahan. Sebab mmbangun kualitas nggak semudah namba-nambah fasilitas. Percuma tampil mewah canggih tapi pelayanan masih saja buruk. Dengan menjadikan Kelas Dunia sebagai sebuah reputasi, maka karakter yang menuju ke arah sana sering diabaikan. Orang lebih suka melihat result atau hasil sesuai dengan peringkat, pemberitaan bahkan bentuk viral di media sosial. Tapi kalo ditanya, jalan seperti apa yang digunakan dan dibiasakan agar Kelas Dunia sebagai sebuah karakter berkualitas melekat dan bisa diperlihatkan sewaktu-waktu apa ada yang bisa jawab? Ntar tambah minder lho.