Dalam interaksi sehari-hari orang berkomunikasi dengan berbagai cara, termasuk agar apa yang diinginkan tidak saja didengar tetapi juga diiyakan dan dituruti oleh orang lain. Minimal diliriklah. Cara tersebut antara lain dengan menggertak (bluffing) dan mengoceh (blabbing). Mereka yang suka menggunakannya adalah yang memang terbiasa untuk dipandang lebih unggul dan butuh diakui. Mengapa demikian? Tidak lain agar orang mau memperhatikan secara serius. Di satu sisi ada orang-oran yang merasa cemas karena perlu pengakuan, tapi di sisi lain memang mereka berhadapan juga dengan orang yang sama-samakepala batu, kagak mau denger, atau bahkan terlalu bebal untuk diberitahu.
Semisal seperti bluffing. Menggertak itu tidak salah. Itu adalah teknik tipuan. Kadang memang harus dengan bentuk imperatif atau nada keras supaya bisa dituruti. Sama halnya dengan prinsip deterrence dalam dunia internasional. Harus kelihatan lebih superior dibandingkan yang lain. Akan tetapi strategi menggertak juga punya resiko tinggi. Ketika orang lain melihat bahwa si penggertak tidak sekuat, setangguh atau berisi seperti yang dicerminkan melalui gertakan, maka tindakan itu jadi sia-sia. Persis seperti main poker. Selain itu, orang lain bisa mengartikan bahwa menggertak adalah sekedar menindas. Padahal gertakan adalah warning agar orang yang digertak untuk berhati-hati atau berpikir dua kali untuk menolak apa yang jadi tujuan gertakan. Dengan lain, respons terhadap gertakan bisa saja reaktif. Menggertak juga kerap kali dilakukan dengan kosong. Apakah gertakan sama dengan ancaman? Tidak juga. Gertakan kosong lebih sering merupakan ekspresi keinginan semu karena si penggertak tidak punya cara lain untuk mempersuasi. Bisa jadi yang dihadapi juga bebal atau masa bodo, makanya komunikasi yang berjalan jadi supervisial dan penuh bias.
Demikian juga dengan mengoceh. Ada orang yang sedemikian bawel merepet dengan tujuan ingin didengar. Padahal bisa jadi hanya dengan beberapa kalimat, orang bisa mengerti maksudnya bahkan tanpa pengulangan dan penekanan. Tapi kenapa ditekan dan diulang terus menerus? Selain gagap dalam menyampaikan pesan, itu tidak lain adalah ekspresi kecemasan yang bersangkutan. Bukan saja cemas merasa tidak akan didengar, tetapi cemas karena merasa diri sendiri tidak mampu melakukan persuasi. Orang yang terus mengoceh tanpa henti, secara tidak sadar menunjukkan kelemahan tersebut. Bawel yang awalnya hanya sekedar bentuk ekspresi lama-lama jadi keinginan, tuntutan bahkan sindiran kepada orang lain. Maka terlihat sangat jelas ada perasaan insecure yang berlebihan dan dikeluarkan melalui ocehan. Jangankan untuk menekan atau nyindir, omongan yang ada malah bisa jadi keluar tanpa juntrungan. Mau bahas A tetiba bisa muncul B sampai Z dan diulang kembali. Semakin cepat ocehan dan lepas konteks, maka semakin yang bersangkutan tidak berasa aman. Jadi blabbing menunjukkan situasi yang variatif; mulai dari ketidakmampuan untuk bersaing, merasa jadi korban, agresif mencela dan segudang perilaku toxic lainnya.
"There is no such thing as perfect security, only varying levels of insecurity." ~Salman Rushdie
Jadi baik menggertak atau mengoceh yang di luar batas, adalah masalah yang dihadapi pelaku dan bukan orang lain. Masalah tersebut bersifat kompleks seperti soal teknis komunikasi hingga psikologis yang bersangkutan. Jika dilakukan dengan sengaja, intensional dan terukur, memang menjadi taktik tertentu di dalam berkomunikasi. Akan tetapi, membangun interaksi dan komunikasi yang bersifat positif ternyata tidak mudah. Apalagi lawan bicara yang dihadapi juga sangat beragam. Maka jangan heran jika ada orang yang begitu mudah melakukan gertakan, dalam arti memberi motivasi agar bersama orang lain bisa melakukan sesuatu. Akan tetapi, orang lain yang tidak paham akan menganggapnya cuma sekedar ngemeng doang. Jika si penggertak memang nggak ada isinya, maka akan dengan sangat mudah disepelekan. Sebab gertak sambal tidaklah pedas. Cuma bikin sakit kuping. Selain itu, apa iya berani berhadapan? Nggak juga. Sebab mereka tau bahwa nyinyir di pinggiran sambil menikmati ketertinggalan jauh lebih aman dan nikmat daripada ikut balapan. Sama saja dengan yang begitu cerewet bicara mengulang topik yang sama. Semakin sering dilakukan, maka sebenarnya semakin memperlihatkan kecemasan yang bersangkutan. Eh dari comel jadi nyinyir kan tipis banget garisnya.
Nah, harus apa? Dengarkan saja. Iyain aja. Nggak usah jauh-jauh, di medsos aja banyak dan sering kok seperti itu. Mengulang topik, menajamkan komentar hingga menyampaikan hal-hal yang invasif terhadap orang lain tapi itu semua adalah refleksi kecemasan diri. Di permukaan merasa marah karena tersinggung, di tengah kayak diabaikan, tapi dari lubuk hati terdalam adalah pengen diperhatiin sebenarnya. Kegagalan di dalam berkomunikasi secara normal membuat orang-orang yang demen begitu hanyalah memperlihatkan bahwa mereka nggak lebih dari si rapuh manja yang haus apresiasi. Bisa jadi memang selama ini tenggelam begitu saja. Jadi kalo ya cukup manggut-manggut aja melihatnya kalo gitu. Ntar juga baper sendiri. Udah insecure, pamer pula. Repotlah jadinya kan?