Ketika dua tahun terakhir wabah Sikopid menggila, banyak orang terpaksa harus di rumah. Nggak bisa kemana-mana karena angka penularan semakin tinggi. Buat mereka yang biasa berpergian, entah karena kepentingan bisnis, personal, hiburan atau bahkan mencari nafkah dari situ terpaksa harus harus berhenti sementara. Pariwisata tumbang dan menghasilkan efek domino yang cukup panjang. Jika sebuah tempat wisata tutup, tentu saja berpengaruh bukan kepada mereka yang bekerja di situ, tetap juga agen perjalanan, pemilik dan penyewa kendaraan, penginapan, bahkan kepada tukang parkir dan penjaja makanan sebagai subsistem terkecil. Nah, bagaimana jika semua tutup? Sudah pasti bisa dilihat seperti apa saat tahun lalu. Efek domino tersebut juga merambah kepada kehidupan sosial ekonomi secara berkepanjangan; pengangguran naik dan angka kemiskinan bertambah.
Akan tetapi sekarang secara perlahan sudah beranjak pulih. Meski pandemi masih ada, setidaknya orang sudah mulai entah karena berani atau bosan untuk kembali melakukan perjalanan meski regulasi pemerintah masih tarik ulur membaca situasi. Perjalanan walau jarak dekat sebagai sebuah bentuk liburan atau hiburan, juga sudah mulai kembali dilakukan. Ini menjadi menarik, terutama dikaitkan dengan bagaimana usia angkatan kerja saat ini melakukan spending untuk kebutuhan tersebut. Bermula dari generasi milenial muda yang suka travelling hingga pada gen Z yang butuh healing, maka perjalanan wisata jadi unsur penting yang tidak bisa lepas dari kebutuhan bahkan menjadi hal yang bersifat sekunder untuk dilakukan.
Apakah keliru? Jelas tidak. Halan-halan pake ha itu penting lho. Biar pun cuma ke mall deket rumah atau liburan ke pulau seberang ya sama saja. Benefitnya jelas berupa cuci mata, mendapat pengalaman baru, bisa tau hal-hal yang tadinya cuma didengar, menikmati keindahan yang dulu cuma bisa dilihat di media, hingga bisa memahami banyak keragaman yang tidak dapat ditemukan di tempat asal. Gumana nggak keren itu. Sudah pasti idealnya mereka yang sering berpergian kemana-mana, bakal bisa memiliki pandangan yang relatif terbuka atau open minded, serta sekurangnya bisa melihat perbedaan secara positif.
Segampang itu? Nggak juga. Pertama, banyak orang berpergian cuma asal pergi. Nggak menikmati lebih jauh. Contohnya ke Bali selama tiga hari. Mengurung diri di hotel, pergi keluar juga cuma buat dugem dan belanja. Abis itu capcus pulang. Sudah pernah ke Bali? jawabnya pasti sudah. Tau apa tentang Bali? Yang diceritakan ya cuma itu aja. Lucu sih. Sebab banyak orang dari luar negeri yang menghabiskan waktu lebih lama dan mengeksplorasi Bali hingga ke pelosok. Tapi begitulah orang kita. Jadi turis di negeri sendiri. Dah gitu pengen murah dan menang banyak. Berhubung datang sudah lelah dan lusa haru pulang, maunya dalam waktu sehari dan sekali pukul bisa halan-halan mulai dari Lovina, Ubud, Sanur, dan Kuta. Emangnya lu pikir Bali cuma segede Cakung Cilincing?Padahal buat menjelajahi pulau itu minimal butuh sepuluh hari kalo mau benar-benar all out. Eh, ini nggak cuma Bali saja. Berani taruhan di tempat lain pun ada juga yang demikian.
Kedua, ketika memulai perjalanan dengan close minded macam demikian maka biasanya seseorang akan mengeluh kenapa di tempat tujuan tidak sama dengan di tempat asal. Pikirnya, apa yang jadi kebiasaan di daerahnya ya harus terakomodasi juga di tempat tujuan. Padahal nggak selamanya bisa begitu. Semisal di Bali complain gegara di hotel nyediain menu breakfast dengan daging babi. Kalo dengan alasan keyakinan, ya sebenarnya mudah untuk mencari jaringan hotel halal di Bali. Nggak perlu lagi pake halalisasi segala. Toh udah ada kalo nggak malas untuk cari info. Apa gunanya internet kalo nggak browsing kan? Hotel halal ada di Bali bukan untuk umat muslim saja, tetap juga menarik minat buat para vegetarian, vegan dan orang Yahudi yang sama juga nggak makan babi. Baru tau mereka juga nggak makan babi? Jiah, kemana aja.
“To be found is to be exposed. No wonder so many of us are still lost.” ~ Craig D. Lounsbrough
Jadi halan-halan pake ha itu ternyata penting. Selain membuka pikiran, juga memberikan banyak pengalaman tak terlupakan. Jadi biarkan saja apa adanya tanpa harus mengubah atau menyesuaikan. Sebab kalo semua jadi seragam, apa enaknya? Itu sama kayak pergi ke Taman Mini Indonesia Indah. Coba aja lihat, berapa banyak anjungan yang menyediakan makanan lokal atau asal daerah masing-masing? Bisa dihitung dengan jari. Sebab dari ujung ke ujung isinya cuma bakso, ayam goreng, somay dan jajanan reguler doang. Dengan halan-halan, close minded diharap bisa jadi terbuka. Bisa paham ada dunia lain di luar sana, bisa terima kalo ada banyak perbedaan di antara sekian budaya, bisa ngerti kalo orang lain punya latar dan kebiasaan berbeda juga. Itu pun nggak ngemeng doang kaya baca buku teks, tapi mengalaminya secara langsung. Lain halnya dengan weak minded; udah kagak pernah kemana-mana, ngerem doang di kamar, bangun siang, coli doang, kerja juga ngasal, hidup juga ngasal, tapi maunya ngebabi. Lama-lama jadi babi beneran.