Banyak orang kepengen bisa multi skills, multi tasking, multi talenta; mampu ngerjain segala macam hal dalam sekali pukul, atau minimal tau banyak sehingga bisa dianggap cerdas menggunakan isi kepalanya. Emangnya bisa begitu? Ya bisa saja. Kenapa tidak. Tentu saja menyenangkan jika disebut serba bisa kan? Apalagi dikenal sebagai sosok yang pinter, keren, populer. Dah gitu tajir lagi. Gimana nggak hebat di mata banyak orang baik yang dikenal dan tidak dikenal. Kesannya udah pake oke sejagat raya.
Akan tetapi yang menyenangkan belum tentu gampang. Contohnya saja multi tasking atau kemampuan mengerjakan beberapa hal sekaligus dalam kurun waktu bersamaan. Selain ada kecenderungan untuk tidak fokus, hal-hal yang dikerjakan pun juga bisa jadi bersifat generik alias biasa banget. Nggak ada yang spesial. Cuma di permukaan, alias kulit-kulitnya doang. Kenapa bisa gitu? Menguasai hal secara mendalam membutuhkan pengalaman berbasis waktu untuk bisa sampai dibilang ahli. Dengan demikian, multi tasking adalah ranah keluasan. Artinya bisa tau dan bisa paham tapi ya nggak seberapa dibandingkan yang menguasai secara serius apalagi disebut profesional. Misalnya, ada tukang bangunan, tukang potong rambut dan tukang betulin mobil. Semua sudah pasti profesional di bidang masing-masing. Jangan tanyakan lagi soal keahlian sebab itu jadi makanan sehari-hari. Situ mau bisa menguasai ketiga keahlian yang sama? Ya bisa, tapi nggak bakal sedalam mereka. Kebutuhan pengalaman berbasis waktu itulah kuncinya. Nggak semua bisa menyediakan waktu secara fokus, terarah, sistematis hingga bisa seratus persen menguasai.
Konsekuensinya pertama, banyak orang yang kemudian melabeli diri sebagai serba bisa, tapi cuma berhenti di kulit doang. Level wacana. Generik abis. Semisal mengandaikan diri jadi orang yang berpengetahuan dan menjadikan diri sebagai narasumber untuk banyak hal. Mulai dari perihal ngomong hidup beragama, kekerasan seksual, kebersihan lingkungan, pendidikan anak, politik partai, cara belah duren, hingga gimana bersihin sepatu berbahan suede semua diborong. Bisa tau? Ya pasti tau lah. Referensi bisa dicari, bahan bisa dibaca atau setidaknya ngintip gimana orang membahas dan melakukan. Tapi apakan pernah mendalam? Jelas tidak. Namanya juga cuma tau doang.
Konsekuensi kedua, dengan cara demikian maka nggak heran muncul istilah "palugada". Apa lu mau gua ada. Jack of all trades. Tujuannya bisa macem-macem. Mulai sekedar unjuk nama, hingga unjuk dompet untuk minta diisi. Tapi ini jadi klise. Sebab secara tidak langsung menunjukkan bagaimana orang demikian harus berkutat untuk bisa dikenal dan diakui, di tengah begitu banyak spesialisasi dan penawaran yang ditunjukan beragam pihak. Jika orang lain bisa punya pengakuan karena spesialisasi semisal tukang, maka yang model begini pun nggak mau kalah. Merasa lebih tau banyak, tapi nggak pernah punya kesempatan bahkan keinginan melakukan. Bicara lingkungan tapi dirinya sampah masyarakat, berbusa soal pendidikan tapi nggak pernah ngajar formal, atau ngemeng soal riset tapi metode penelitian aja nggak paham.
“You can achieve anything, but not everything.”~Amit Kalantri, Wealth of Words
Konsekuensi ketiga, muncul idiom atau ciri khas yang bersangkutan sebagai sosok-sosok yang identik dengan "gue tau kok soal barang itu. dah biasa banget. eh, tapi apa namanya?". Ini lucu sih. Bilang udah paham dan biasa, tapi soaldefinisinya aja nggak ngerti. Ini berujung kepada yang disebut dengan inflated ego. Merasa terhina dan direndahkan jika dianggap nggak menguasai banyak hal. Harus bisa ini itu, meski modalnya cuma baca dan nonton doang. Ego yang menggembung baru jadi kicep kempes kalo sudah berhadapan dengan orang yang memang bisa dan terbiasa. Itu pun belum tentu yang bersangkutan percaya kalo ada orang bisa dan terbiasa kayak gitu. Sebab segala hal menggunakan ukuran dirinya sendiri. Merasa sudah menguasai dan bisa menaklukan dunia. Nah lho, megalomania dong namanya.
Jadi berhati-hatilah ketika ada godaan untuk bisa menjadi orang serba bisa. Tidak ada salahnya untuk menjadi serba tau. Dunia pengetahuan terbuka luas dengan berbagai cara. Akan tetapi mengklaim diri paling tau dan segala bisa tanpa pernah meluangkan waktu khusus untuk mencari pengalaman secara spesifik, itu menggelikan. Apakalagi dipake buat cari cuan cepat tanpa mikir soal pengembangan lebih serius. Padahal yang tau beneran juga diam-diam aja. Coba pikir-pikir dulu lah sebelum jualan kecap palugada itu, jangan-jangan cuma bualan doang. Sayang kan?