broken image
broken image
broken image

Dunia Si Ferdot

  • Headline
  • About Me
  • My Books
  • My Blog
  • My Gallery
  • Contact Me
  • …  
    • Headline
    • About Me
    • My Books
    • My Blog
    • My Gallery
    • Contact Me
    broken image
    broken image
    broken image

    Dunia Si Ferdot

    • Headline
    • About Me
    • My Books
    • My Blog
    • My Gallery
    • Contact Me
    • …  
      • Headline
      • About Me
      • My Books
      • My Blog
      • My Gallery
      • Contact Me
      broken image

      Bertarung Melawan Siapa?

      · Renungan

      Dalam melakukan perbaikan atau improvement terhadap diri sendiri, seringkali orang berkaca kepada orang lain. Sudahkah yang dilakukan ini tepat? Masih kurang apalagi jika dibandingkan dirinya? Penilaian semacam ini bisa benar, bisa salah. Benar jika digunakan untuk mengukur kemajuan berupa peningkatan keahlian, ketrampilan atau apapun yang dipelajari. Salah jika membandingkan semata hanya kepada subyek atau orang per orang saja. 

      Sebab tidak ada kata yang pas untuk menyamakan diri dengan orang lain. Semua pasti ada kurang lebih berdasarkan pengalaman, jam terbang, ruang hidup, pendidikan, dan sebagainya. Jadi di satu sisi mengukur mengukur perkembangan atau kemajuan bisa dilakukan sepanjang sebagai sebuah benchmarking terhadap keahlian, sementara di sisi lain jangan pula terjebak untuk berkaca kepada subyek atau orang per orang. Boleh saja mengejar kemampuan berlari seperti Usain Bolt, pelari legendaris itu. Akan tetapi meniru Usain Bolt habis-habisan adalah tidak mungkin dan tidak perlu dilakukan.

       

      “I work hard, and I do good, and I’m going to enjoy myself. I’m not going to let you restrict me.” ~Usain Bolt.

       

      Masalahnya, banyak orang merasa harus berkompetisi di tataran subyek seperti ini. Meniru habis, atau kalau pun tidak bisa maka akan merasa terganggu. Sikap kompetitif diletakkan pada dimensi yang keliru. Awalnya bisa saja karena alasan narsisitik tapi lama-kelamaan tanpa disadari sudah bermutasi menjadi megalomania. Motivasi awal seperti perasaan bisa yang kemudian diterapkan dalam segala hal, menimbulkan keangkuhan tersendiri sebagai karakter yang mumpuni dan sudah cerdas secara given alias dari sononya. Citra diri menjadi penting dan berlagak tidak peduli terhadap orang lain yang dianggap tidak sejalan. Ego yang kuat semacam ini kemudian melenceng menjadi buruk ketika melihat apa yang dilakukan orang lain, entah kritik atau pembicaraan yang awalnya konstruktif kemudian menjadi negatif. Orang-orang dengan ego demikian lantas menilai kritik, evaluasi atau masukan menjadi semata bentuk negasi yang bertujuan untuk menjatuhkan dirinya. Berarti para pengritik itulah yang bermasalah, bukan dirinya.

      Ketika sudah pada fase menyalahkan orang lain maka secara tidak langsung sudah menerapkan pola defensif terhadap diri. "Gue bisa kok kayak Usain Bolt, lo kagak. Makanya lo sirik aja sama gue". Nah, bayangkan jika perilaku semacam ini kemudian berlangsung tidak saja di dalam relasi personal tetapi juga profesional. Bayangkan juga jika ada tidak saja secara individu tetapi kolektif. Maka yang terjadi adalah sekumpulan megalomania yang saling mengintai, memuji,  sekaligus juga bertarung satu sama lain. Secara individu atau kolektif, mereka membutuhkan lawan yang dianggap perlu ditaklukan bersama sekaligus juga mengukur diri satu sama lain. Sekawanan monyet akan merasa perlu merebut wilayah kelompok monyet lain, sekaligus di dalamnya harus pula bertarung satu sama lain. Untuk bisa merebut wilayah kompetitor, apapun ditimpuk mulai dari batu, tanah hingga kotoran. Apakah kawanan lain diam saja? Belum tentu. Jika sama merasa penting maka akan pula meladeni dan ribut.Maka tidak mengherankan jika dalam kawanan semacam itu, ada yang sibuk menantang orang dan ada pula yang curi kesempatan. Ada yang mau maksimal hajar sana sini, ada yang colong pukul aja sesekali toh ngapain juga capek. 

      Jadi situasi semacam itu pasti akan melelahkan. Tidak akan ada kemajuan yang berarti sebab konteks pengembangan diri yang awalnya mau dilakukan malah terjebak kepada kompetisi yang tidak menghasilkan apa-apa. Paling juga receh kan? Maka yang harus dilakukan adalah selalu mengingat bahwa setiap kemajuan yang ingin dicapai sebagai bentuk improvement, orang justru harus selalu bertarung dengan dirinya sendiri. Mau jadi secepat Usain Bolt? Wajar. Maka, setiap hari harus bisa melatih dan mengukur kemampuan secara bertahap dan tanpa terasa sudah nyaris sepertinya. Akan tetapi jika kemudian kompetisi itu dilakukan terhadap orang lain, maka akan muncul perasaan untuk bisa lebih baik dari siapapun. Padahal menjadi lebih baik adalah sebuah lompatan fase berorientasi terhadap diri sendiri  yang diharapkan selalu bagus dari kemarin. Lah, mikir diri sendiri aja susah, kerja keras aja kagak,  kok rusuh sama orang lain. Gimana coba.

       

       

      Subscribe
      Previous
      Sebab Akal Sehat Aja Tidak Cukup
      Next
      Mengapa Susah Antri, Minta Maaf Dan Bilang Terimakasih?
       Return to site
      strikingly iconPowered by Strikingly
      Cookie Use
      We use cookies to improve browsing experience, security, and data collection. By accepting, you agree to the use of cookies for advertising and analytics. You can change your cookie settings at any time. Learn More
      Accept all
      Settings
      Decline All
      Cookie Settings
      Necessary Cookies
      These cookies enable core functionality such as security, network management, and accessibility. These cookies can’t be switched off.
      Analytics Cookies
      These cookies help us better understand how visitors interact with our website and help us discover errors.
      Preferences Cookies
      These cookies allow the website to remember choices you've made to provide enhanced functionality and personalization.
      Save