broken image
broken image
broken image

Dunia Si Ferdot

  • Headline
  • About Me
  • My Books
  • My Blog
  • My Gallery
  • Contact Me
  • …  
    • Headline
    • About Me
    • My Books
    • My Blog
    • My Gallery
    • Contact Me
    broken image
    broken image
    broken image

    Dunia Si Ferdot

    • Headline
    • About Me
    • My Books
    • My Blog
    • My Gallery
    • Contact Me
    • …  
      • Headline
      • About Me
      • My Books
      • My Blog
      • My Gallery
      • Contact Me
      broken image

      Sebab Akal Sehat Aja Tidak Cukup

      · Renungan

      Istilah common sense atau akal sehat, atau lebih tepatnya nalar wajar adalah kapasitas seseorang dalam memahami segala sesuatu dari perspektif baik dan buruk di sekitarnya. Bahkan dalam ukuran tertentu, akal sehat juga erat dikaitan dengan kemampuan instingtif manusia dalam pembedaan perspektif tersebut. Artinya, akal sehat adalah sesuatu yang bersifat sudah bawaan dan mutlak diperlukan oleh manusia dalam membuat pilihan dan mengerjakannya. 

      Dengan demikian, akal sehat tidak bisa dilepaskan dari aktivitas manusia sehari-hari bahkan yang paling mendasar sekalipun. Konon, itulah ciri manusia. Punya nalar wajar dalam bertindak tanpa perlu diajari. Dianggap sudah tau untuk bisa memilah mana baik dan buruk. Dalam keputusan atau prakteknya, tentu bisa beda lagi. Akan ada pertimbangan-pertimbangan yang lebih meluas atau bahkan mendalam untuk manusia mengapa ia menggunakan atau tidak menggunakan kemampuannya tersebut.

       

      "Common sense is what tells us the earth is flat." ~Stuart Chase, 'Language In Thought And Action'.

       

      Sebagaimana kemampuan manusia dalam berpikir, maka akal sehat selalu butuh dilatih. Melatih kemampuan bernalar tentu saja dengan mengembangkan gagasan konseptual. Ini yang disebut dengan memperluas kapasitas berpikir. Tentu saja dengan logika yang harus mumpuni. Akan tetapi,  apakah ini cukup? Pastinya tidak. Pertama, dengan kemampuan untuk mengembangkan gagasan konseptual, maka sudah pasti luas tapi tidak dalam. Orang yang terbiasa dengan berpikir logis, sudah pasti paham dan bisa mencerna banyak hal. Akan tetapi tidak akan pernah cukup hanya dengan memahami. Mengapa? Kedalaman butuh yang namanya pengalaman praktis baik dari sisi keilmuan hingga aktivitas yang dilakukan. Maka bisa saja orang yang belajar berpikir logis atau sekedar mengandalkan nalar wajar bisa mengurai sebuah fenomena, tetapi belum tentu menguasainya secara detail. Misalnya saja, nalar wajar menjelaskan sebuah fenomena tentang estetika seni lukis, atau etika relasi antar personal. Bisakah yang bersangkutan melukis atau berelasi? Belum tentu. 

      Kedua, nalar wajar juga punya bias kognitif baik bersifat individu hingga kolektif. Dengan pengembangan pikir tanpa diimbangi dengan pembelajaran praksis, kemampuan teknis, hingga kebiasaan untuk setidaknya melakukan pengamatan dan pengalaman langsung maka akal sesat bisa kesasar. Terlebih jika hal tersebut sudah berkembang menjadi prasangka dan diamini oleh orang banyak. Seolah kapasitas tersebut sudah bisa menjadi sebuah solusi yang mampu menganalisis, menjelaskan dan menjawab permasalahan. Ujungnya, bias kognitif bakal jadi perasaan sotoy. Semisal debat soal perang atau kemiskinan di negara yang jauh di ujung sana. Dengan modal baca berita, itu pun dengan bahasa Endonesah kemudian mengambil kesimpulan ABCD tanpa pernah tau apa yang sebenarnya terjadi, mempelajari dalam taraf tertentu atau bahkan berkunjung ke negara itu. Bagi orang-orang seperti ini, penjelasan nalar wajar dianggap sudah memadai untuk bisa unjuk pengetahuan, atau sekurangnya pengen dianggap cerdas dalam cepat memahami apa yang sedang terjadi.

      Maka nalar wajar yang berkembang tanpa pengalaman empiris dan punya segudang bias kognitif adalah hal yang sering terjadi di sekitar kita. Terlebih jika berada di kepala orang-orang yang merasa bisa menguasai permasalahan hanya berbasis data singkat yang didapat dari buku teori, bahkan media sosial. Ya jelas ngeri lah melihat yang semacam ini. Sebab meski akal sehat tidak pernah cukup, tapi ambisi untuk kelihatan pintar dan dianggap serba tahu itu lebih menyeramkan. Keluasan berpikir akan menjadi tanpa arti jika tidak diimbangi oleh kedalaman. Itulah sebabnya pengalaman, kebiasaan dan minimal penelitian akan membantu menajamkan. Contohnya adalah secara nalar wajar kita tau api itu panas. Nggak perlu merasakan terlebih dahulu. Tau dari mana? Bisa jadi baca artikel, diceritain atau apalah. Pemahaman semacam itu adalah benar, tetapi tidak berlaku ketika diangkat level yang lebih tinggi. Menciptakan api unggun untuk memanggang daging pastinya bukan karena sekedar pengetahuan tentang panasnya api, atau menyaksikan binatang terbakar kemudian keburu laper dan dimakan ternyata enak. Ada proses panjang yang melibatkan penggalian lebih dalam, pengalaman, uji coba yang kemudian berkembang menjadi kompor, oven, micro wave dan sejenisnya dari jaman ke jaman. Ada banyak pengetahuan yang berkembang secara kognitif dan empiris.  Terus gimana bisa lu pikir bisa jadi sukses hanya dengan modal mimikri, replika, jiplak doang?

      Bayangin jika cuma sekedar nalar wajar, terus mau jadi besar. Kacau.

       

      Subscribe
      Previous
      Kisah Panjul dan Pentol
      Next
      Bertarung Melawan Siapa?
       Return to site
      strikingly iconPowered by Strikingly
      Cookie Use
      We use cookies to improve browsing experience, security, and data collection. By accepting, you agree to the use of cookies for advertising and analytics. You can change your cookie settings at any time. Learn More
      Accept all
      Settings
      Decline All
      Cookie Settings
      Necessary Cookies
      These cookies enable core functionality such as security, network management, and accessibility. These cookies can’t be switched off.
      Analytics Cookies
      These cookies help us better understand how visitors interact with our website and help us discover errors.
      Preferences Cookies
      These cookies allow the website to remember choices you've made to provide enhanced functionality and personalization.
      Save