Sebentar lagi tanggal 1 Februari 2022 adalah tahun baru Tionghoa. Imlek atau Xin Jia. Hitungannya masuk Macan Air. Kebiasaan yang dilakukan banyak orang adalah mencoba mengira-ngira peruntungannya berdasarkan shio. Hal ini sebenarnya lumrah, sebab manusia selalu penasaran akan apa yang akan terjadi. Basis yang digunakan bisa beragam. Ada yang menggunakan astrologi, ada shio, ada weton dan sebagainya. Akan tetapi sebenarnya buat apa itu dilakukan? Seberapa jitu proyeksi atau perkiraan yang bisa dibuat berkaitan dengan nasib, bahkan takdir seseorang di masa depan?
Apapun yang digunakan sebagai sebuah perhitungan, sebenarnya perlu juga dilihat sumber dan kegunaannya. Kebanyakan di zaman sekarang, adalah hanya dengan sekedar melihat ramalan melalui media massa. Entah rubrik horoskop, shio atau weton. Semuanya adalah penyederhanaan bentuk yang tidak memiliki akurasi bahkan sekedar keisengan belaka. Tujuannya adalah menjadi daya tarik pembaca supaya mau melihat secara umum kecocokan atau ketidak cocokan, peruntungan atau kesialan yang konon akan terjadi.
Padahal kenyataannya tidaklah sesederhana itu. Tidak ada ramal-meramal. Dalam tradisi Tionghoa sekalipun, namanya adalah pembacaan, bukan ramalan. Ini pernah dilakukan di sebuah biara di Pasar Baru, Jakarta. Apa yang dibaca tentunya berdasarkan input yang sangat kompleks seperti nama, tanggal lahir, tempat lahir, jam lahir dan sebagainya. jadi setiap orang tidak akan sama persis. Hasil pembacaan berdasarkan buku besar tersebut bukanlah nasib melainkan karakter dan jalan hidup yang bersangkutan, serta tidak lupa adalah utang lahir. Utang lahir adalah beban yang dibawa seseorang ke dalam sebuah kelahiran atas karma perbuatan di kehidupan sebelumnya. Utang lahir bisa dibayar sesuai barang, sebab dalam hitungan itu mengikuti tradisi klasik seperti sejumlah ikan, minyak atau kain, bisa pula dalam kompensasi sejumlah uang yang kemudian disumbangkan, atau cukup dengan perbuatan baik. Tujuan dari pembacaan adalah agar yang bersangkutan memahami bagaimana karakter dan pembawaan yang diharapkan bisa berubah menjadi lebih baik di dalam kehidupan.
Ada juga pembacaan yang akurasinya terkadang menjadi sangat jitu melalui wajah. Istilah dalam bahasa Tionghoa adalah kan ming atau membaca wajah. Bahasa kerennya fisiognomi. Ini pun juga tidak bisa hanya sekedar mengikuti panduan sederhana seperti catatan atau buku tertentu. Tujuan awalnya adalah untuk memeriksa kesehatan seseorang, tetapi kemudian berlanjut kepada karakter bahkan nasib. Di Jakarta pernah ada seseorang yang mampu melakukan hal ini hanya dengan sekejap tatapan mata. Pembaca wajah harus punya kedalaman dalam arti memang mendedikasi hidupnya sebagai seorang profesional dan juga punya keluasan, yakni pengalaman dengan jam terbang yang tinggi. Bahkan ada kode etik yang harus dipegang yakni menahan diri untuk tidak mendahului takdir seperti menyebut kapan seseorang akan meninggal. Sebab hal semacam itu adalah urusan sang Pencipta.
Lain halnya di Bali, ada juga orang yang dengan status sebagai pendeta mampu membuat sebuah kalender untuk menghitung dan menjadi pegangan orang per orang. Di dalam kalender tersebut, diatur kapan waktu paling cocok atau tidak cocok dalam melakukan sesuatu. Misalnya saja negosiasi bisnis, ada hari tertentu yang jika dilakukan hasilnya akan berbeda dengan hari lain dengan orang yang sama. Dengan pegangan semacam itu, maka ketidakberuntungan atau kesialan bisa diminimalisasi dengan baik sehingga setiap tindakan dapat menjadi optimal. Demikian pula perhitungan weton ala Jawa yang sebenarnya sudah dibuat sedemikian sederhana sehingga orang hanya mampu meraba perkiraan secara umum. Apakah hasilnya sama? Belum tentu. Semisal kelahiran Jumat Pahing dengan Jumat Pahing lainnya meski satu wuku belum tentu pula bernasib sama.
Dengan kata lain, obyek ilmu membaca nasib semacam itu butuh pemahaman induktif, yakni semakin banyak data yang diperoleh maka akan semakin mendekati akurasi. Apakah benar-benar akurat? Pastinya butuh kedalaman dan keluasan si pembaca sebagai pelaku spiritual beneran, bukan sekedar cari duit lewat ramalan. Sebab di antara mereka sudah sangat tahu, bahwa dengan menjadi spiritualis nggak bakalan bisa kaya. Kalo pun sugih, beda lagi jalannya. Jadi tidak semua orang memang mampu membaca apalagi meramal untuk orang lain, apalagi untuk diri sendiri. Dalam setiap budaya lokal, keahlian semacam para pembaca garis tangan. pembaca wajah, pembaca karakter memang benar ada. Tepat atau tidaknya, tergantung dari masing-masing subyek baik pelaku dan penerima. Rumit? Sudah pasti, sebab jika gampang maka sudah pasti topik horoskop akan jadi kepercayaan banyak orang.
Maka jangan gampang percaya apa yang tersurat di media massa atau media sosial soal ramalan. Mau diramal kayak apa ya lebih baik tetap berbuat baik, sebab karma baik akan mengikuti. Ketimbang situ cule', egois, baperan, merki, sok iye padahal kempes. Udah pasti sial jadinya.