Kecewa itu penting dan perlu. Darimana lagi orang bisa mengetahui bahwa ada yang salah, keliru, gagal atau tidak berfungsi? Dengan mengetahui demikian, maka diharapkan ada tindakan untuk mengevaluasi, mengoreksi atau memperbaiki, menambah dan juga membuat segalanya menjadi lebih baik.
Diharapkan, sebab tidak semua orang tau bagaimana mengatasi rasa kecewa. Ada yang enggan menjadi kecewa karena tidak tahan dengan efeknya. Marah, sedih, nggak tau harus berbuat apa. Kecewa karena penolakan, hambatan, bahkan kegagalan itu memang getir. pahit malah. Contoh saja ditolak saat melamar kerja, kehilangan penghasilan atau bahkan lebih parah lagi terputus dengan semua yang sudah dianggap sebagai sebuah pencapaian.
Akan tetapi dengan kecewa, maka sebenarnya itu jadi peringatan. Bisa saja sudah saatnya untuk berpindah, bisa saja memang bukan disitu tempatnya, bisa saja ada yang lebih baik, bisa saja memang butuh perbaikan yang selama ini luput diperhatikan. Sebab orang cenderung merasa nyaman dengan harapan. Dengan apa saja yang terkabul, banyak yang menjadi lengah seolah semua sudah pada garisnya. Semua adalah takdir. Semua sudah jalannya.
Padahal tidak pernah ada yang mulus. Pantat pun bisa hitam berdaki. Kalau semua baik-baik saja, maka tidak pernah akan ada tantangan. Hidup menjadi datar. Tidak ada perubahan. Smeua statis, jenuh dan membosankan. Kemudian mengeluh dan kecewa lagi, kok tidak ada perbaikan? Jadi sudah benar kecewa itu harus ada. Dengan perasaan yang terganggu, orang jadi berpikir untuk mencari yang lebih baik. Bayangkan jika hidup tak pernah mengalami kekecewaan. Lantas kapan bisa merasa tergugah untuk bisa mendapatkan yang oke punya? Minimal pantat lebih mulus dikit lah.