Di media sosial, isu semacam itu menjadi ramai berulang. Misalnya saat ini,seorang aktivis muda dan selebriti internet berseloroh membuat kontroversi kembali jika jurusan filsafat dihapus dan filsafat dibuang karena tidak berguna. Sebagai lulusan filsafat zaman dulu, saya sembari ngopi cukup tersenyum. Pertama, ini sih argumentum ad Verecundiam atau kerancuan pikir berbasis kepakaran yang tidak relevan. Lah siapa dia bisa ngomong begitu kecuali yang mendengar dan mengamini adalah ribuan followers-nya? Sebab namanya pun juga dikenal di dunia maya dengan segala opini daripada pemerhati serius filsafat,
Kedua, ini isu kontroversi yang sudah lama dibangun dan terus berulang tapi tak pernah usai. Artinya, si aktivis hanya memungut remah-remahnya saja. Saat pandemi, pernah muncul polemik di antara mereka yang pro filsafat dan mereka yang kontra serta lebih mendukung sains. Dengan kata lain, sains dianggap lebih penting dan berguna ketimbang filsafat. Tapi buat saya dua-duanya keliru. Tak perlu argumen ber dakik-dakik secara epistemologis untuk membuktikan mana yang paling kuat. Kedua kubu sama lemahnya. Di satu sisi ~dan sudah jadi kebiasaan jika para alumnus dan alumna kalau ngobrol, sudah pasti filsafat tidak lepas dan hanya beranjak pada tataran konseptual. Sebab memang cuma itu lantaran tak ada pengembangan yang lebih serius seperti operasionalisasi atau aktualisasi lebih jauh. Belajar filsafat penting sebagai dasar, tapi tak pernah cukup. Saya sendiri cukup keteteran ketika usai lulus jadi sarjana filsafat. Awalnya merasa dunia sudah dalam genggaman untuk bisa dibelah, dikupas dan dimaknai. Aha, tidak segampang itu Fernando. Ternyata memahami dunia dalam langkah lebih jauh sebagai akademisi, sebagai profesional, sebagai orang yang masuk dalam dunia profesional adalah punya kemampuan meneliti. Bagaimana tidak gemetar, selama belajar filsafat hanya tahu riset pustaka. Banyak yang tidak paham apa itu kuantitatif dan kualitatif. Akan tetapi saya cukup mujur bisa belajar lebih dalam dan selama belasan tahun terbiasa dengan riset bisnis. Jadi harus diakui juga, jika filsafat sangat mumpuni sebagai basis cara berpikir, dasar ilmu pengetahuan, tapi tidak cukup.
Di sisi lain, mereka yang mendukung sains itu juga sama lucunya. Berpikir merasa paham dan perlunya ilmu pengetahuan, tapi amat jarang dan saya yakin sebagian besar juga tidak pernah memasuki laboratorium, entah eksakta atau humaniora. Mengusung sains, tapi tak pernah melakukan penelitian. Berpikir bahwa sains adalah pemberi solusi pasti pada kehidupan. Padahal masalahnya bukan di situ, melainkan solusi di dunia nyata, bahkan dunia bisnis itu tidak pernah cukup dan usai. Jika sebuah solusi diberikan sebagai jawaban yang memuaskan, masalah baru niscaya akan muncul kembali sebagai dampak dari inovasi yang terus berjalan. Dunia juga tidak stagnan alias jalan di tempat. Maka solusi menjadi rekomendasi dan menuntun kepada temuan masalah baru.
Akan tetapi marilah kita tinjau lebih dalam, mengapa hiruk-pikuk semacam itu muncul dan terus berulang. Sebenarnya, lebih dari satu dekade lalu saya dan tim pernah diminta oleh sebuah perusahaan elektronik global untuk membuat riset mengenai generation gap ~saat itu masih antara gen X dengan milenial karena Z masih tumbuh lucu-lucunya, yang terjadi di kelompok urban kota besar di Indonesia. Hasilnya cukup mengejutkan kami juga termasuk klien, dengan salah satu kesimpulan bahwa ada perubahan berupa pergeseran nilai secara konsisten di mana masyarakat urban semakin kuat dalam memegang nilai berupa hasil nyata, budaya instan dan apresiasi berbentuk material. Artinya, semakin sedikit orang yang mau sabar berproses dan melihat itu sebagai bagian dari pengembangan diri. Orang tua menjadi lebih tidak sabaran dan anak diminta untuk menunjukkan hasil yang bisa cepat dilihat dan membanggakan. Konsekuensinya, output menjadi lebih penting untuk didapat, ditambah persaingan juga semakin ketat. Semakin bisa lebih cepat didapat, maka dilihat semakin bagus entah apapun caranya. Kalau perlu trabas sana-sini. Hasil yang didapat juga harus bisa mendapat imbalan yang bisa dipegang. Misalnya, anak dengan nilai bagus bahkan terbaik tidak cukup diberi pujian. Harus ada reward yang bisa dipegang sebagai janji dan kompensasi. Lambat laun pola semacam itu menjadi materialisme yang menguat, bukan lagi sekadar prinsip sehari-hari tapi bergesernya nilai.
Hal itu terbukti belasan tahun kemudian, tepatnya pada situasi sekarang. Jadi di zaman ini, orang semakin berpikir bukan lagi soal benar atau salah, tapi soal untung atau buntung. Sekama menguntungkan ~maka kata cuan menjadi populer, bisa diterima. Selama enak dan menyenangkan, dianggap benar. Selama tidak mengganggu, maka sah-sah saja dilakukan. Kebenaran akhirnya menjadi relatif, moral bisa dinego dan prinsip digadaikan asal tercapai. Inilah dunia yang akhirnya sudah dikuasai oleh pragmatisme, utilitas instan dan relativisme murah meriah yang sangat dangkal.
Apa yang dimaksud dengan pragmatisme adalah bukan sekadar berorientasi kepada hasil, semisal terpenting tujuan tercapai dengan cara fleksibel. Lebih dari itu, tak ada teori berbelit lantaran cenderung suka solusi langsung ketimbang diskusi panjang. Maka tak bermunculan berbagi diskusi pendek tak sistematis seperti di dalam podcast, yang memiliki semangat cerita, mau detail, tapi butuh solusi langsung terlebih jika soal bisnis. Pragmatisme juga menawarkan ide yang adaptif dan bisa berubah cepat selama cocok dengan situasi, tapi sekaligus juga kurang memikirkan etika. Selama bisa jalan ya sah-sah saja, mengapa tidak? Selama bisa cepat potong jalur, mengapa tidak? Sistem yang sudah susah payah dibangun, dapat dengan mudah diterabas asal semua sesuai. Maka itu juga salah satu jawaban mengapa perilaku koruptif tetap tumbuh subur dan ditiru.
Meski demikian, apa yang paling mengganggu adalah menjamurnya relativisme sebagai gagasan permisif. Tidak ada standar permanen yang menjadi basis moral dalam mengukur tindakan. Contoh termudah adalah di zaman sekarang mahasiswa begitu mudah memperoleh IPK di atas angka tiga. Saking menjamurnya, maka tidak ada lagi artinya. Ini berbeda dengan di abad lalu, saat IPK tiga koma itu adalah indikator bukan saja kecerdasan tapi kegigihan seseorang berjuang untuk mendapatkan nilai bagus. Mengapa mudah? Alasannya tuntutan zaman agar orang merasa tidak lagi harus berkeringat mendapatkan sesuatu yang baik. Maka basis moral kian menyusut, kompetisi juga menjadi semakin semu lantaran kualitas tak dapat ditentukan. Mereka yang menang bukan lagi karena cerdas atau gigih, tapi siapa pemberi rekomendasi di balik dirinya. Ah, itu baru di level pencari kerja lho, bagaimana dengan di birokrasi pemerintahan? Tentu lebih suram jika membayangkan.
Jadi kembali kepada soal debat tak penting soal berguna atau tidaknya filsafat, saya tidak terpancing menjawab itu melainkan cenderung lebih mencari alasan di balik itu semua. Maka menjadi wajar jika gagasan semacam itu muncul dari orang-orang yang lahir sebagai produk masyarakat yang pragmatis, utilitarian dan relativis dangkal. Cocok dengan motto zaman sekarang, terpenting nyaman, aman dan cuan. Benar atau salah bisa dinegosiasi. Prinsip haus fleksibel tergantung situasi. Moral harus sesuai kebutuhan yang bisa dihitung secara nyata macam angka dalam statistik. Pokoknya, hidup ini harus seperti aplikasi di ponsel; user friendly, loading cepat dan langsung pakai. Kalo bisa tak berbayar. Dampaknya? Nanti-nanti ajalah.