broken image
broken image
broken image

Dunia Si Ferdot

  • Headline
  • About Me
  • My Books
  • My Blog
  • My Gallery
  • Contact Me
  • …  
    • Headline
    • About Me
    • My Books
    • My Blog
    • My Gallery
    • Contact Me
    broken image
    broken image
    broken image

    Dunia Si Ferdot

    • Headline
    • About Me
    • My Books
    • My Blog
    • My Gallery
    • Contact Me
    • …  
      • Headline
      • About Me
      • My Books
      • My Blog
      • My Gallery
      • Contact Me
      broken image

      BISIKAN YANG MENUTUP

      PINTU REZEKI

      Perspektif Tantra Perihal Kebiasaan Bergunjing

      di Media Sosial

      · Renungan,Serba-serbi

      Di antara banyak percakapan digital yang seolah remeh seperti komentar ringan, candaan sekilas, atau analisa sok tahu tentang kehidupan orang lain, terselip sebuah kebiasaan kecil yang getarannya jauh lebih besar dari yang disadari. Hal itu tak bernama resmi, tak ditulis dalam kurikulum moral, tapi berulang seperti rutinitas sore; secangkir teh, wajah bersolek, lalu membuka media sosial untuk menilai kehidupan orang.

      Biasanya, hal ini dilakukan oleh mereka yang menganggap diri sudah cukup matang untuk tahu segalanya, tapi justru tak pernah benar-benar melihat siapa dirinya di balik layar. Kadang bertudung agama, moral, pengetahuan, sosial, kadang berlindung pada kata “pengalaman”. Tapi jika vibrasi bisa bicara, getarannya lebih mirip keluh kesah yang berulang, rasa kurang yang dipoles jadi kritik, hidup yang kecut dan ketakutan yang disamarkan sebagai “peduli”.

      Dalam pandangan Tantra, hidup bukanlah sekadar aliran waktu, melainkan aliran energi. Setiap pikiran adalah doa, setiap ucapan adalah mantra. Maka ketika seseorang gemar menyuarakan penghakiman terutama tanpa kenal, tanpa tahu, dan tanpa diminta, dia sebenarnya sedang menciptakan mantra untuk menutup jalan rezekinya sendiri.

      Ironis, karena yang dikritik biasanya justru sedang naik. Sementara si pengamat, tetap di tempat, menggenggam layar sambil bertanya dalam hati, “Mengapa hidupku begini-begini saja?” Jawabannya sederhana kok, sebab energi hanya mengalir pada yang ikhlas, bukan pada yang iri dalam diam. Energi hidup memberkahi yang terang, bukan yang gemar menyelubungi hidup orang lain dengan bayangan.

      Karma dalam Tantra, bukanlah hukuman, melainkan cermin. Gunjingan meskipun terdengar manis karena dibungkus “opini” atau “kepedulian” adalah getaran rendah yang tak hanya mencemari hati, tapi juga memanggil bayangan ke dalam rumah sendiri. Hukum vibrasi tidak mengenal niat baik bila aksinya diliputi ketidaksadaran. Lidah yang sering menilai, tak sadar sedang melukis kesialan bagi lidah itu sendiri.

      "The more one spits on others, the more their own spirit drowns in that venom." ~FRS

      Lucunya lagi, bagaimana mereka yang paling keras berkomentar biasanya juga yang paling tak siap dibanding. Mereka yang gemar menertawakan kegagalan orang lain adalah yang hidupnya paling takut jatuh. Maka, agar tidak terlihat lemah, mereka membangun rumah dari sorotan terhadap kesalahan orang lain. Padahal rumah itu dibangun dari lumpur yang meski lembut, tetap menarik kaki ke bawah.

      Energi yang semestinya naik dengan menuju kejernihan batin, kelapangan hati, dan kelimpahan hidup, terperangkap dalam lingkaran kecil bernama “perasaan benar sendiri.” Dari situ lahirlah wajah yang lelah meski tidur cukup, hati yang sempit meski rumah luas, dan rezeki yang seret meski usaha banyak. Tapi tak ada yang salah, tentu saja. Hanya vibrasi yang menolak dibohongi.

      Tantra tak menyuruh diam, tapi mengajarkan keheningan yang sadar. Bukan bisu. Sebab diam bukan tentang tak berkata, tapi tentang memilih kata yang membawa terang, bukan kabut. Karena setiap kata yang ditulis atau dilontarkan adalah seperti api. Ia bisa menghangatkan, bisa juga membakar gudang sendiri. Hingga pada akhirnya, hidup akan bertanya: setelah semua komentar dan gunjingan itu, apa yang sebenarnya kau menangkan?

      Tak ada pujian yang lebih hampa daripada likes dari sesama penggosip. Tak ada kemenangan yang lebih semu daripada merasa paling tahu tentang hidup yang bukan milikmu. Dan tak ada kesepian yang lebih sunyi daripada hati yang sudah kehilangan kemampuan untuk merasa kagum. Jadi sebelum lidah atau jari tergoda untuk menilai hidup orang, cobalah bertanya dalam diam; apakah hatimu cukup lapang untuk memikul vibrasi dari kata-kata yang akan kau lontarkan? Sebab dalam dunia energi, tak ada ucapan yang “sekadar komentar.” Semua kembali, semua membekas. Sering kali, justru dalam bentuk yang paling tak kita duga seperti anak yang sulit diatur, suami yang makin jauh, tubuh yang gampang sakit, rezeki yang tak kunjung lancar.

      Itu bukan kutukan. Hanya gema dari getaran yang pernah kita tebar sendiri. Semesta, sebagaimana biasa, hanya mencatat. Lalu mengembalikan. Swaha. (end)

      Subscribe
      Previous
      Antara Ngayah Menari dan Risiko Leteh
      Next
       Return to site
      strikingly iconPowered by Strikingly
      Cookie Use
      We use cookies to improve browsing experience, security, and data collection. By accepting, you agree to the use of cookies for advertising and analytics. You can change your cookie settings at any time. Learn More
      Accept all
      Settings
      Decline All
      Cookie Settings
      Necessary Cookies
      These cookies enable core functionality such as security, network management, and accessibility. These cookies can’t be switched off.
      Analytics Cookies
      These cookies help us better understand how visitors interact with our website and help us discover errors.
      Preferences Cookies
      These cookies allow the website to remember choices you've made to provide enhanced functionality and personalization.
      Save