Ada yang bilang hidup itu berasa sangat cepat. Intensitas yang tinggi, kesibukan yang luar biasa membuat orang berpacu dengan waktu yang dipandang tak kenal ampun. Sebentar harus begini, sebentar sudah harus begitu. Berpindah fokus, menyelesaikan segala hal dan bahkan menikmati apa yang ada dirasa hanya sebentar. Tuntutan berpindah dengan sat-set sat-set banyak dirasakan oleh mereka yang hidup di kota besar, tak lepas dari bisnis dan kegiatan yang menguras pikiran, emosi, mental, tenaga bahkan duit sebelum waktu bisa dikuasai. Dengan kata lain, urusan waktu menjadi sangat penting. Waktu adalah uang, katanya.
Sebaliknya ada juga yang mengatakan waktu terlalu lambat. Biasanya ini dirasakan oleh mereka yang terbiasa di dalam ruang yang sangat sibuk kemudian berpindah kepada dimensi yang lebih santai. Banyak perbedaan antara orang yang terbiasa dengan ritme hidup di kota besar, kemudian berpindah ke kota yang lebih kecil. Terlebih jika perpindahan itu tidak permanen. Ada saat dimana orang bergerak dengan mobilitas tinggi, tapi aresiasi ruang yang dialami berbeda. Semisal tinggal di Jakarta, tapi bolak-balik ke beberapa kota lain. Sudah pasti ada penyesuaian yang harus dilakukan terus menerus. Semisal di Jakarta, tuntutan untuk menyelesaikan sesuatu sangatlah tinggi di tengah kesulitan seperti kemacetan lalu lintas, cuaca, dan faktor lain. Sementara saat berpindah semisal Jogja atau Malang, ritme bisa relatif lebih lambat dan tidak membutuhkan sesuatu dengan terburu-buru kan?
Nah, apakah soal ritme adalah semata perspektif? Apakah mau tergesa atau santai adalah juga sama konseptualnya dengan waktu itu sendiri? Toh memang benar waktu adalah apa yang ditafsirkan oleh manusia melalui hitungan linier ke depan dalam pembagian seperti hari, jam, menit hingga detik. Sehingga waktu menjadi berharga. Masalahnya adalah, seringkali apresiasi terhadap waktu dilihat sama halnya berharga seperti uang. Sudah pasti sebagai alat tukar, duit itu berharga. Bisa membeli hampir semua. Tapi berharganya waktu adalah bukan pada soal penukaran atau pemanfaatan. Akan menjadi sangat kuantitatif jika waktu hanya dipandang semacam itu.Padahal dengan adanya waktu, tidak semua hal bisa dikuantifikasi juga pastinya.
Jadi bagaimana cara menghargai waktu? Tentu saja pemahaman yang paling mendasar adalah melihat waktu bukan soal penukaran atau pemanfaatan belaka. Waktu secara konseptual memberi ruang berupa kesempatan. Waktu adalah peluang, bukan uang. Dengan sebagai peluang, maka intensitas bisa menjadi relatif dan cepat menyesuaikan sebagai ritme. Sebagai peluang maka hal apapun yang dihadapi harus bisa dipandang menjadi benefit yang terukur. bukan semata profit yang dapat dikumpulkan. Itulah sebabnya, istilah menghabiskan waktu tidaklah percuma. Ada yang berlari mengejar kesempatan, ada juga yang rebahan menunggu saat yang tepat.
“I wish it need not have happened in my time," said Frodo. "So do I," said Gandalf, "and so do all who live to see such times. But that is not for them to decide. All we have to decide is what to do with the time that is given us.” ~ J.R.R. Tolkien, The Fellowship of the Ring
Pada titik itu sudah tentu orang harus tetap disiplin untuk bisa menggunakan waktunya. Berlari terlalu cepat sudah pasti bikin lelah jiwa. Rebahan terlalu lama bikin tumpul jiwa. Jadi keseimbangan dalam memanfaatkan waktu adalah hal yang perlu disadari dan dilakukan dengan cepat. Menyesuaikan diri dengan beragam ritme sudah pasti mutlak dilakukan. Sebab ada juga orang yang tidak pernah menyadari betapa penting penyesuaian semacam itu. Masih harus terkaget-kaget berpindah ritme, masih juga kelelahan mengejar dan bisa mengontrol, masih juga tidur-tiduran menanti saat yang tepat. Mereka lupa bahwa usia juga adalah konsep yang sejalan dengan waktu. Suka atau tidak, waktu terus berjalan, usia semakin menua dan konsekuensinya wkatu kian menipis. Masih mau begitu aja? Nah.