Jika diperhatikan, banyak orang yang bertindak pasif-agresif di sekeliling kita. Pasif-agresif adalah cara ambivalen yang dilakukan untuk menolak atau membangkang, dengan ekspresi pasif dan negatif terhadap apa yang dihadapi. Ini berbeda dengan kebanyakan orang yang umumnya mencari solusi dari setiap permasalahan yang dihadapi. Orang dengan pasif-agresif cenderung memboikot atau bahkan menyabotase sebuah proses dengan bersifat kontradiktif. Misalnya setuju dengan janji untuk bertemu atau mengerjakan sesuatu, tetiba menghilang tanpa alasan. Atau tetiba diam ngambeg nggak jelas enggan ngomong. Baper dan balik punggung.
Pola pikir yang muncul kerap bersifat negatif, menolak saran atau usul orang lain, bahkan cenderung bertindak di luar harapan meraka yang ada sekitarnya. Selain itu, orang dengan pasif-agresif tidak mampu mengekspresikan perasaannya secara terbuka. Mau marah, kecewa, sedih ya akan berbeda atau tidak sesuai dengan ucapan atau perilaku. Mengapa bisa begitu? Penyebabnya bisa beragam. Ada yang karena bawaan orok alias genetik, ada juga yang karena lingkungan seperti kebiasaan dihukum saat kecil sehingga sulit mengelola perasaan, ada juga yang bermasalah dengan figur otoritatif seperti orang tua, guru atau pengasuh. Bisa pula karena menderita gangguan mental seperti bipolar atau narsisistik.
Tindakan pasif-agresif merupakan ekspresi untuk menunjukkan ketidakpuasan hingga perlawanan tetapi tidak berani mengatakannya secara langsung. Ada banyak ciri tindakan semacam ini. Misalnya dalam ruang komunitas, organisasi, profesi, atau bahkan personal dimana orang yang pasif agresif akan menunda-nunda pekerjaan, melewati tenggat waktu, menolak tugas tanpa alasan yang jelas, tidak muncul di dalam pertemuan padahal udah bilang hiya ho'oh, dan sebagainya. Hal tersebut dilakukan secara sengaja dan berdampak negatif terhadap proses, relasi dan interaksi yang dibangun.
Intinya, segala ketidakpuasan disampaikan dengan cara yang membingungkan, sukar berdialog dan tidak mampu berkomunikasi secara baik. Orang dengan pasif-agresif selalu bersikap sinis, dengki, kesal pada orang lain yang dilihat lebih beruntung, kepala batu, baperan, miskin inisiatif, inefisien, ngeluh mulu, dingin, ngambegan bahkan bisa menjadi kejam. Maka tidak mengherankan jika dalam konteks personal, sifat pasif-agresif ini selalu bersifat tersirat dalam berekspresi. Nggak heran jika sifat ini menjadi destruktif. Banyak pasangan yang kesulitan berkomunikasi dan menyelesaikan masalah. Terlebih jika ditambah kepribadian narsisistik. Udah ngambegan, berasa pede dan benar pula. Akhirnya cenderung menjadi manipulatif. Menampilkan wajah tak ada masalah padahal setumpuk. Merusak suasana hati orang lain pastinya. Bukankah itu juga tujuannya? Nah, ciri yang sering disampaikan secara verbal dalam sifat pasif-agresif adalah kata "terserah" atau 'bodoamat" dalam berkomunikasi.
Banyak orang dalam berpasangan, berorganisasi dan bekerja juga akhirnya kesulitan dengan sifat pasif-agresif. Selain menjadi berat sebelah, secara kinerja orang seperti ini juga hanya membonceng. Mendorong pihak lain untuk mengambil keputusan, bahkan usaha keringetan sementara dirinya justru malah melakukan penolakan terselubung. Ambigu kan? Akan tetapi jika ada kredit poin berupa kesuksesan, maka ia tidak ragu untuk menduplikasi seolah itu adalah usahanya juga.
“You cannot become a peacemaker without communication. Silence is a passive-aggressive grenade thrown by insecure people that want war, but they don’t want the accountability of starting it.”—Shannon L. Alder
Oleh karena itu menghadapi orang dengan sifat pasif-agresif haruslah tenang, mawas diri dan melakukan identifikasi terhadap kemungkinan apa, siapa dan bagaimana sebuah proses interaksi bisa memancing kondisi pasif-agresif. Apalagi dengan media sosial, maka gampang kelihatan kok yang seperti itu mana yang beneran pasif-agresif, mana yang ditambah dengan gejala lain seperti narsisistik atau delusional. Menghadapi orang baperan kudu hati-hati sebab perasaannya halus seperti pantat bayi, meski wajahnya juga kayak pantat orang tua. Selain itu, bersifat jujur dan terbuka terhadap mereka yang bersifat seperti itu juga penting. Tunjukkan bahwa tidak ada gunanya juga untuk menyampaikan pesan secara tersirat, simbolis dan berdiam diri. Emangnya orang lain bisa langsung ngerti gitu? Apalagi dalam relasi yang sehat, interaksi dan komunikasi itu penting. Bukan malah ditutupi apalagi dengan kepribadian narsistik. Ujungnya bakal pura-pura hepi, padahal itu cuma imitasi, mimikri, replika atau sekedar meniru.
Tapi seandainya upaya-upaya itu tidak efektif ya biarkan saja. Tunjukkan bahwa pasif-agresif itu inefektif dan irelevan. Atau tinggalkan. Sebab menjaga perasaan agar tetap bisa benar-benar sukacita itu adalah hal yang mahal, ketimbang harus menuruti atau memperhatikan orang yang tidak selevel dalam soal interaksi bahkan hidup itu sendiri. Iye kan?