Salah satu masalah yang sering dihadapi banyak orang adalah mengelola ekspektasi atau harapan. Tentunya itu bukan sekedar harapan, melainkan sebuah bentuk kesenangan yang tidak konstan, meletup-letup, dan punya hasrat untuk mewujudkannya menjadi kenyataan. Tidaklah mengherankan jika ekspektasi penuh dengan asumsi, praduga dan faktor-faktor yang dianggap bisa mendorong angan melambung tinggi. Sesuaikah dengan kenyataan kelak? Belum tentu. Bahkan bisa jadi anyep. Pikiran sudah kemana-mana, napsu sudah membuncah, pas begitu waktunya, ekspektasi yang ada tetiba luruh begitu saja.
Contoh sederhana soal ekspektasi adalah urusan receh seperti blind date atau kencan buta. Di jaman medsos begini, segala bentuk promosi yang berlebihan bakal digunakan untuk mematut diri. Foto bisa dipoles, muke bisa dipermak. Nggak perlu pake bedak atau operasi plastik, cukup modal sotosop atau aplikasi sejenis. Omongan bisa jadi manis bukan karena disampaikan secara verbal tapi sudah kepincut duluan gegara teks yang disampaikan memang dibikin menggiurkan. Sekarang nggak perlu lagi belajar susah payah memikat pikiran orang. Lontaran gagasan bisa pake kutap kutip mulai dari pantun hingga kata mutiara. Diskusi topik apa saja tinggal jelajah tema di dunia maya. Maka nggak heran jika polesan gagasan begituan nggak satu pun orisinal atawa otentik. Lebih banyak hasil forward narasi orang lain.
Begitu umpan ditebar, maka ikan lele, betok sampe julung-julung sibuk mendekat. Berlomba bikin rayu janji setiap hari. Semoga ada hari yang bisa disepakati untuk ketemu memadu kasih. Bermodal foto lawas saat masih muda yang dipermak bikin gaya semakin memikat. Di sini ekspektasi mulai muncul meninggi. Akankah sesuai dengan data yang diberikan? Pada saat seperti ini orang biasanya tanpa sadar sudah mulai memperlebar jarak antara angan dan kenyataan. Angan dianggap lebih menjanjikan, sedangkan kenyataan belum lagi menampakkan wajahnya. Akan tetapi begitu sudah bertemu tatap muka secara langsung, ternyata hasil bisa menjungkirbalik harapan. Apa yang ditampilkan secara virtual beda jauh dengan kenyataan. Wajah bisa menipu, fisik tak bisa bohong. Apalagi cuma modal foto sebatas wajah. Begitu ketahuan ternyata bodi tidak seseksi muka, ekspektasi kontan anjlok drastis. Begitu aslinya ketahuan pendek, gemuk, botak, kere, suara melengking, jalan bungkuk, dan sederet hal-hal manusiawi lainnya, maka reaksi yang muncul pun berbanding terbalik dengan gagasan di awal. Belum cukup? Belumlah. Apalagi jika ternyata ngomong juga nggak nyambung. Topik yang biasanya diandalkan karena gampang dipetik di medsos, kini harus bermodal diri sendiri. Jika fisik sudah tidak sesuai harapan dan pikiran juga ternyata cuma polesan, ya wajarlah kemudian ekspektasi menjadi gugur dengan sendirinya. Pulang diem-dieman balik punggung kayak abis mergokin maling tapi urung gegara takut disabet golok.
Itu baru soal kencan buta, bagaimana dengan ekspektasi lain yang lebih serius namun ditanggapi dengan cara konyol yang sama? Misalnya saja soal urusan pekerjaan, bisnis, transaksi, ikut ujian atau bahkan pilihan-pilihan yang idealnya mengandalkan diri sendiri namun juga butuh, memiliki relasi bahkan ditentukan orang atau pihak lain. Maka nggak heran ada istilah PHP atau dikadalin. Masih selevel kadal dong, sebab yang dikadalin sudah sekelas buaya tapi tetap aja ketipu. Mungkin niatnya bukan untuk memperdaya, tapi sudah jelas menipu diri sendiri. Terlalu banyak ngarep ya sama saja dengan membohongi diri. Sudah jelas bakal pedih sakit hati, tapi sewotnya sama orang lain. Itu jelas nggak dewasa sama sekali. Nah, urusan yang lebih serius juga harus pandai-pandai mengelola ekspektasi. Hal yang paling mudah dan sering dilupakan adalah menempatkan harapan pada titik serendah mungkin. Asa masih ada, tapi janganlah dijadikan semacam prioritas. Sebab dengan meninggikan harapan, sudah pasti mempengaruhi pikiran dan perasaan. Maka benar pepatah mengatakan "bekerja dalam senyap, biar hasil yang bersorak". Ini belum apa-apa udah girang teriak duluan. Segala manuver yang dilakukan kemudian menjadi tidak realistis karena kepincut angan. Padahal bisa jadi sudah ada rencana matang tapi keburu disingkirkan.
Terlihat bahwa mengelola ekspektasi bukan perkara main-main. Kegagalan lebih sering muncul karena terlalu tingginya harapan, tidak sesuai dengan kenyataan dan membuat orang menjadi enggan atau kapok. Padahal seperti contoh di atas, tidak ada yang salah dengan kencan buta. Hal yang keliru adalah berpikir atau tepatnya berkhayal terlalu jauh sehingga jadi sakit hati sendiri. Tapi dasar kadal, biasanya enggan atau kapok urusannya cuma sebentar. Begitu kumat, langsung saja taik kucing rasa coklat. Cinta pun dikipas-kipas biar membara duluan. Jadi siapa bilang kayak gitu nggak bisa dikondisikan? Bisalah pastinya. Sementara buat yang baru coba-coba mungkin jadi trauma. Bisa nggak percaya diri atau malah males melihat orang lain. Justru urusan receh seperti itu harus berani dihadapi. Sebab bagaimana bisa tahan kelak dengan hal yang serius, jika mengelola ekspektasi yang paling sederhana sekali pun sulit untuk dilakukan?
"Expectations were like fine pottery. The harder you held them, the more likely they were to crack.” ~Brandon Sanderson, The Way of Kings
Intinya, harapan harus selalu ada namun syarat utamanya adalah tetap bersikap obyektif, fokus kepada diri dan konsisten memikirkan langkah selanjutnya. Bertemu dan berinteraksi dengan orang lain tetaplah memelihara harapan minimal soal perkawanan, ada kerja bareng yang bisa dilakukan, atau tujuan lain kedepan. Semua bisa menunggu kelak pada waktunya. Sama seperti urusan cari proyek atau cuan. Memegang ekspektasi adalah persis seperti mengenggam pasir. Biarkan tangan terbuka dan menampung sebanyak-banyaknya, sebab begitu tangan memaksa memegang erat malah jadi berhamburan dan sedikit yang tersisa. Tidak sesuai harapan? Biarkan saja. Terpenting adalah tidak menjadi kecewa sakit hati duluan. Apalagi sampe pulang duduk ngejogrok terhenyak dan merenung, "emangnya selama ini ngapain aja". Ambyar.