Belum lama ini di media berita daring dan sosial, viral soal ibu Nani, bu guru dari sebuah sekolah menengah kejuruan di Bekasi itu mendadak jadi pembicaraan gegara postingannya yang secara garis besar menyatakan bahwa orang tua nggak perlu kuatir soal nilai. Ujian terbesar bukanlah di sekolahan, melainkan ujian hidup kelak. Bu Nani yang dulunya adalah pekerja korporat dan sekarang baru jadi ASN, juga menulis bahwa "ada calon seniman yang tidak perlu mengerti matematika, ada calon pengusaha yang tidak butuh pelajaran sejarah atau sastra, ada calon musisi yang nilai kimia-nya tak akan berarti". Headline berita lantas menyebutnya bahwa "nilai ujian jadi tak penting". Saking viralnya, status WA bu guru itu kemudian juga di-repost oleh wakil gubernur. Asik kan?
Tapi bener nggak sih, itu ide bu Nani? Bener jugakah bahwa nilai nggak penting? Jika ditelusuri lebih jauh tulisan bu Nani itu bukan ide baru. Beliau pun juga tidak mengafirmasi atau menegasi secara langsung dapet ide dari mana pernyataan seperti itu. Sebab bukan sebuah kelaziman seorang guru berani menyatakan hal yang masih dianggap bertolak belakang dengan sistem bahkan budaya pendidikan di negara ini. Apalagi guru sekolah menengah kejuruan yang notabene muridnya dipersiapkan untuk masuk dan kerja di dalam industri. Lantas kenapa bukan ide baru? di luar sana, closing maupun opening statement dalam masa ujian semacam itu sudah menjadi klise dari tahun ke tahun. Kalo mau browsing sedikit, sudah pasti banyak template dengan kata-kata yang serupa. Jadi bu Nani bukan orang yang pertama nulis begitu. Lantas mengapa viral? Pertama bisa jadi banyak orang di sini baru tau dan memang nggak aware bahwa hal semacam itu adalah biasa. Kedua, sistem dan budaya pendidikan yang ada memang tidak membiasakan diri untuk berpikir yang di luar mainstream, baik anak didik apalagi guru. Mengatakan bahwa nilai nggak penting, apalagi gelar tentu saja bisa bikin orang terperangah.
Jadi bener nggak sih nilai, apalagi gelar kelak itu benar-benar nggak penting? Pertama, kebiasaan mengejar gelar itu memang membuat orang cenderung untuk menghindar resiko. Gelar adalah sebuah kenyamanan. Nilai bagus harus bisa dimenangkan setiap saat sebagai sebuah pembuktian yang nantinya akan berujung kepada gelar. Orang jadi terpaku kepada hasil sementara prosesnya bisa saja dipotong. Kedua, dengan menjadikan nilai dan gelar sebagai tujuan akhir maka tekanan pun bisa semakin meningkat. Begitu lulus dan kerja, emangnya bakal kepake gitu? Jangankan yang pendidikan vokasi atau kejuruan, mereka yang menempuh pendidikan seperti S1 dan S2 pun bisa kicep karena nggak semua yang didapat dibangku kuliah bisa digunakan, atau malah kurang sama sekali. Itu pun yang kerja, sebab bagi yang memilih berkarir di dunia pendidikan sekalipun tidak semuanya terbiasa dengan ragam metode penelitian. Ketiga dan terpenting, gelar juga menciptakan diskrepansi antara karakter kelulusan dengan multi karakter yang dimiliki para siswa. Adalah benar jika kemampuan dan kecerdasan setiap orang punya dimensi yang berbeda. Ada yang jago dalam bidang A, sebaliknya ada pula yang mahir dalam bidang B. Semua butuh pendekatan yang berbeda. Dengan demikian dalam konteks pemahaman itu gelar hanyalah sebuah pencapaian simbolis. Tidak lebih.
"Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid.” ~Albert Enstein
Kemudian apakah bisa disimpulkan bahwa nilai dan gelar memang nggak penting? Ternyata penting. Sebab nilai dan gelar adalah refleksi tidak sempurna dari sebuah pencapaian. Suka atau tidak, ibarat mau nonton konser, nilai dan gelar adalah tiket masuk. Bisa aja sih nonton dari luar, tapi pastinya cuma denger suara nggak jelas kan? Lebih jauh begini; pertama, nilai bagus dan gelar dengan pujian itu sudah pasti akan membantu mendorong rasa percaya diri. Orang masuk ke dalam dunia pendidikan juga adalah pertarungan yang mengorbankan banyak hal termasuk kenyamanan, masalah pendanaan bahkan kesempatan. Tidak ada salahnya mengejar sesuatu sebagai sebuah pencapaian atas kerja keras. Lagi pula pendidikan formal memang tidak memberikan kenyamanan di mana setiap orang harus bisa dipahami satu per satu. dengan proses semacam itu, justru orang tertantang untuk bisa survive dalam kondisi yang tidak ideal. Itu persis sama dengan kehidupan di luar kan?
Kedua, nilai dan gelar itu membuka pintu terhadap dunia pendidikan yang lebih tinggi. Memang tidak semua orang berkarir menjadi guru atau dosen, tapi dengan nilai dan gelar yang bagus sudah barang tentu akan memberikan kesempatan yang lebih luas. Begitu banyak orang berlomba menaikkan taraf pendidikan demi kepentingan praktis. Entah pengen gajinya naik, bisa dapat kerjaan lebih bagus atau bersaing dengan antrian pencari kerja lain. Nilai dan gelar memberi kesempatan agar setiap jenjang yang lebih tinggi bisa diraih dengan mudah. Idealnya kan gitu. Padahal namanya berorientasi kepada hasil ya nggak heran jika banyak yang sat set nyontek jiplak plagiat.
Ketiga, meski pada hakekatnya nilai dan gelar bukan faktor dominan di dalam dunia kerja atau industri, tapi memberikan peluang yang lebih baik ketika ada pilihan-pilihan yang harus diambil oleh user, human capital atau pemberi kerja. Bayangkan dalam kompetisi tenaga kerja yang semakin meningkat, proses seleksi pastinya berjalan dengan ketat. Pertimbangannya sudah pasti bukan semata nilai, gelar atau ijasah. Akan tetapi jauh lebih mudah melatih dan membiasakan para sarjana di dalam melakukan problem solving ketimbang lulusan yang lebih rendah dalam posisi keduanya belum berpengalaman. Dengan kata lain, ada benchmarking secara minimal yang menyangkut bukan saja hardskill tapi juga softskill seperti bahasa, etiket, dan sebagainya.
Keempat, semakin maju dan berkembang seseorang di dalam fase kehidupan selanjutnya maka sudah pasti ia harus mempelajari yang lain. Bisa saja seorang seniman tidak butuh matematika. Tapi ketika dia sukses dan menghasilkan banyak uang, sudah pasti harus paham sedikit soal akuntansi dan berhitung supaya nggak dikadalin manajemen. Bisa saja seorang sastrawan merasa nggak perlu belajar keuangan, tapi begitu novelnya laris maka ia pun harus bisa membaca laporan penjualan. Jadi semakin sukses, orang semakin dituntut mengerti banyak hal; memiliki helicopter's view alias memahami banyak hal meski nggak dituntut menguasai mutlak.
Itulah sebabnya apa yang ditulis oleh bu Nani, adalah kalimat penghiburan yang masih relevan untuk memukau orang terutama mayoritas yang tidak pernah mengerti sebelumnya tentang bagaimana tujuan sungguh dari pendidikan itu sendiri. Orang masih saja berpolemik perihal nilai hingga gelar, padahal masalah sesungguhnya bukan lagi pada soal itu. Publik bisa saja merujuk kepada tokoh yang tidak berpendidikan tapi sukses, hanya seberapa banyak orang seperti itu? Berapa banyak mereka yang kemudian meningkatkan kemampuan dengan banyak baca, meneliti dan mencari pengalaman ketimbang berleha-leha menganggap pendidikan nggak penting? Udah males sekolah, kagak baca, kagak melatih diri kemudian mau sukses gitu? Pengusaha seperti Susi Pudjiastuti atau almarhum Bob Sadino jelas berupaya keras untuk bisa kesuksesan. Sebab jalan yang mereka hadapi jauh lebih keras dibandingkan mereka yang tuntas makan bangku sekolah.
Dengan demikian, kompetisi di dalam dunia pendidikan pun juga keras, bukan saja murid tetapi juga pendidik atau pengajar. Murid dituntut untuk bisa menghasilkan nilai sebagus mungkin dan lulus secepat mungkin. Pendidik atau pengajar juga punya beban untuk bisa memberikan tidak saja pengetahuan tapi juga pengalaman. Kalo sudah jadi ASN kayak bu Nani, nyambi kerja kantoran, jalanin bisnis atau jadi dosen tetap sih nggak soal pastinya. Tinggal fokus dan sempet bikin status motivasi. Tapi kalo masih jadi honorer atau kontrak per semester, usia menua, bersaing dengan yang muda, pendidikan mandeg, nggak ada keahlian lain, relasi segitu doang gimana nggak kebat kebit itu jantung? Boro-boro nasehatin anak didik. Nasehatin diri sendiri aja juga susah.