Salah satu isu yang cukup kontroversial menyangkut keabsahan sebuah tosan aji adalah pemberian sertifikasi. Sebuah sertifikat dipandang perlu karena memberikan keterangan yang cukup penting sebagai alih pengetahuan, sekaligus juga informasi yang diharapkan detail terhadap sebuah benda pusaka. Akan tetapi siapakah yang berhak mengeluarkan sertifikat? Benarkah fungsi tersetifikat hanya sebagai sebuah keterangan saja? Adakah nilai lebih dibalik sebuah sertifikat?
Hal yang pertama perlu diketahui adalah sertifikasi tosan aji berkaitan erat dengan penangguhan, atau metode penentuan pembuatan sebuah tosan aji, baik dari sisi pembuatan, lokasi dan waktu. Hingga saat ini, metode penangguhan adalah bersifat induktif alias mengumpulkan sample sebanyak-banyaknya untuk membuat sebuah estimasi atau perkiraan. Dengan demikian, penangguhan tidak ada yang bersifat valid sebab validitas hanya dapat ditentukan dengan metode deduktif. Oleh karena bersifat estimasi, maka sebuah penangguhan bisa meleset karena (a) sample yang terbatas, (b) kurasi tidak bersifat komprehensif atau menyeluruh atau (c) kompetensi kurator yang masih perlu dipertanyakan. Oleh sebab itu, penangguhan adalah sebuah kontribusi faktor sekunder sebagai pelengkap dibandingkan keinginan atau olah rasa dalam memiliki sebilah tosan aji. Terlebih daftar dhapur dan pamor tosan aji di Jawa juga relatif masih terbilang belum lama dikategorisasi terutama sejak pecahnya kerajaan Mataram Islam.
Dengan demikian, jika pun diperlukan maka sertifikasi yang ideal adalah pertama, yang dikeluarkan oleh para Mpu atau Pande sebagai pembuat dengan tujuan untuk mewariskan informasi dalam konteks alih pengetahuan non bendawi terhadap tosan aji yang dibuatnya. Sertifikasi dari para Mpu atau Pande ini merupakan sumber informasi primer yang tidak terbantahkan dan masih terbebas dari distorsi penafsiran yang muncuk kemudian. Kedua, sertifikasi yang dikeluarkan oleh museum dengan penangguhan yang dilakukan oleh minimal dua orang kurator. Tujuannya adalah untuk memperoleh informasi yang bisa berimbang dan lebih obyektif. Ini pun masih juga beresiko karena sifat induktif dari metode yang digunakan.
Sebagai catatan, sertifikasi terhadap tosan aji baru oleh para Mpu atau Pande pembuatnya juga membantu memperjelas keragaman informasi berupa ciri, gaya dan karater pembuatan yang bersangkutan. Ini berbeda dengan sertifikasi terhadap tosan aji tua yang cenderung lebih bernilai politik ekonomi yakni menaikkan harga jual. Jadi polemik terhadap sertifikasi adalah kembali lagi kepada kredibilitas siapa, bagaimana dan mengapa ia diperlukan. Belum lagi jika proses dokumentasi hanya mengandalkan foto, atau informasi tanpa rujukan silang. Bisa runyam ntar.