broken image
broken image
broken image

Dunia Si Ferdot

  • Headline
  • About Me
  • My Books
  • My Blog
  • My Gallery
  • Contact Me
  • …  
    • Headline
    • About Me
    • My Books
    • My Blog
    • My Gallery
    • Contact Me
broken image
broken image
broken image

Dunia Si Ferdot

  • Headline
  • About Me
  • My Books
  • My Blog
  • My Gallery
  • Contact Me
  • …  
    • Headline
    • About Me
    • My Books
    • My Blog
    • My Gallery
    • Contact Me
broken image

Seni Untuk Menolak

· Renungan

 

Milenial itu sensitit terhadap penolakan yang dilakukan perusahaan saat melamar. Banyak yang menuntut jawaban tentang mengapa,seandainya tidak dipanggil dan diterima di dalam perusahaan. Alasannya supaya ada improvement supaya kalau melamar di tempat lain bisa tau kelemahan apa yang harus diperbaiki. Nganu ngonolah pokoknya. Ini sebenarnya tidak salah. Malah yang keliru adalah banyak perusahaan yang memilih diam tidak memberikan jawaban yang menenangkan. Itu kan ghosting juga ya? Padahal tinggal kasih aja jawaban basi, "anda tidak cocok dengan budaya tempat kerja kami" atau "anda memiliki skill yang sangat bagus, tapi sayangnya kami belum membutuhkan blabla". Sebasi apapun baiknya diberikan, sebab itu yang mereka butuhkan. Meski semua jawaban insightnya sama aja. Lu nggak diterima. Dalam kurung, gua nggak suka elu. Ada yang lebih baik dari elu. Titik.  

Tapi mengapa itu terjadi? Jika ditelusuri sebenarnya ada yang keliru dengan pendidikan semasa kecil. Orang tua cenderung mendorong secara ambisius terhadap anak yang dipaksa untuk menjadi terbaik. Ketika mendapatkan hasil yang tidak diharapkan, semisal di dalam lomba cuma jadi juara dua atau di dalam kelas rangkingnya nggak nomor satu, maka orang tua yang protes. Mengapa anak saya hanya dapat segini? Alhasil itu berpengaruh kepada pola pikir anak bahwa ada yang keliru di dalam sistem, ada yang salah dengan dunia, sehingga kalau tidak mendapatkan hasil yang terbaik maka itu bukan salah saya. 

Self-entitlement atau perasaan akan kepantasan semacam ini yang kemudian berkembang sehingga dunia kerja sekarang butuh yang namanya The Arts of Rejection. Apakah perlu? Mungkin sudah waktunya di jaman yang serba kompetitif semacam ini untuk berpikir, sebenarnya situ seberapa pantas sih untuk bisa butuh penjelasan atas penolakan dengan alasan perbaikan? Padahal itu juga sama-sama omong kosong. Dengan tidak adanya kebesaran hati untuk menerima kekalahan, posisi terbelakang atau medioker yang tabu sejak kecil maka efek dari self-entitlement itusedemikian besar saat dewasa. Orang tidak sadar bahwa ada hal-hal yang memang seharusnya dibiarkan karena ada kesempatan lain yang lebih baik untuk bisa diterima. Akan tetapi, percaya diri yang berlebihan kemudian juga membuat ekspektasi jadi berlebihan. Kalau tidak dapat, serasa mau kiamat. Padahal dalam dunia kerja tidak ada yang ideal. Kalau ditolak kerja aja kemudian jadi pening, gimana kalo ditolak orang lain? Apa minta klarifikasi tertulis dengan tembusan kepada orang tua? Coba aja.  

 

Subscribe
Previous
Kerja Cerdas Itu Cuma Mitos
Next
Belajar Untuk Menjadi Tidak Sempurna
 Return to site
strikingly iconPowered by Strikingly
Cookie Use
We use cookies to improve browsing experience, security, and data collection. By accepting, you agree to the use of cookies for advertising and analytics. You can change your cookie settings at any time. Learn More
Accept all
Settings
Decline All
Cookie Settings
Necessary Cookies
These cookies enable core functionality such as security, network management, and accessibility. These cookies can’t be switched off.
Analytics Cookies
These cookies help us better understand how visitors interact with our website and help us discover errors.
Preferences Cookies
These cookies allow the website to remember choices you've made to provide enhanced functionality and personalization.
Save