Tapel atau topeng Bali ini adalah tapel Dalem Arsawijaya. Di dalam upacara tertentu, peran Arsawijaya dimainkan pada saat pertengahan dan dinantikan sebagai sosok raja yang agung, berwibawa dan penuh kharisma. Kata arsa berarti harapan dan wijaya adalah kemenangan. Peran dari figur Arsawijaya sendiri bisa dimaknai sebagai Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten, Dalem Waturenggong, atau bahkan Hayam Wuruk tergantung dari cerita yang dimainkan.
Tapel ini adalah bikinan pak Wayan Toga, seniman tari topeng dan juga pembuat tapel. Pak Toga adalah murid dari mendiang I Made Regug, seorang maestro seni tari topeng dan juga tentunya pembuat tapel yang sangat terkenal. Pak Regug telah menari dan kemudian membuat tapel sejak 1974 dan sudah keliling dunia. Hingga akhir hayatnya, pak Regug masih membuat tapel yang dikenal dengan gaya khas dan ‘warna Bali’. Beliau sudah berpulang pada tahun 2021 dalam usia 86 tahun.
Nah, apa sih yang dimaksud dengan ‘warna Bali’? Itu adalah pewarnaan yang menggunakan warna alam. Semisal warna putih dari tanduk menjangan dan warna hitam dari jelaga. Perekat warna dibuat dari kulit ikan pari dengan bahan tertentu.
Untuk bisa memahaminya lebih jauh, ada beberapa fakta menarik tentang tapel Bali. Pertama, sebagai sebuah bentuk seni maka tapel dapat relatif didibuat dan ditemukan di beberapa daerah Bali. Akan tetapi pembuat tapel yang merupakan penari topeng sangat jarang ditemukan. Bisa dihitung dengan jari. Kedua, tapel atau topeng yang biasa terdapat di toko seni atau dijual secara komersial memiliki bentuk yang sangat sempurna, indah dipandang, pewarnaan modern menggunakan cat akrilik, dan cocok jadi pajangan.
Tapel seperti buatan pak Toga justru kebalikannya; tidak simetris karena mengikuti bentuk wajah yang sesungguhnya. Pewarnaan alami yang disebut ‘warna Bali’ seolah kusam dan tidak berpendar. Beda dengan cat bahan akrilik yang jika terkena sinar akan berkilau memantulkan cahaya. Akan tetapi justru disitu keunikannya. Ketika tapel digunakan di dalam pementasan, maka seolah hidup. Ketika terkena cahaya jadi seperti kulit manusia. Matanya pun hidup.
Semoga tetap terus semangat berkarya
*) tulisan ini dibuat dalam ragam media sosial pribadi sebagai bagian dari pengalaman budaya saat berkunjung ke Denpasar, Bali.