Dalam dunia yang semakin modern, maka semakin banyak juga orang yang merasa kesepian. Uniknya, kesepian tidak lagi dipahami dengan jarak atau ruang. Kesepian bisa muncul di tengah keramaian, hahahihi, bahkan kerumunan. Ini berbeda dengan tafsir soal kesepian di masa lampau yang dianggap identik dengan kesendirian. Padahal keduanya tidak sama. Kesepian bisa membunuh atau tidak, tergantung dari cara pandang, antisipasi dan solusi yang dicari setiap orang dengan berbeda-beda. Ada yang bisa menyelesaikan soal kesepian dengan bergiat diri, memenuhi kebutuhan diri baik material maupun spiritual, ada juga yang tetap berupaya untuk terhubung dengan orang lain.
Masalahnya adalah seringkali kesepian membuat seseorang berpikir untuk bisa bahkan harus terhubung dengan orang lain, meski orang yang keliru. Terhubung di sini bisa dalam meebntuk menjalin hubungan (connect) dengan orang baru, atau dengan orang yang sudah dikenal (reconnect). Terhubung dengan orang baru tentu punya harapan tentang ada sesuatu yang bisa dijelajahi, dipelajari baik dalam konteks bisnis atau juga personal. Sementara dengan orang lama, kerap menggunakan argumen tentang saling sudah mengenal sehingga banyak proses yang bisa dilewati terlebih jika banyak basa-basi.
Akan tetapi bagaimana jika terhubung dengan orang yang salah, keliru bahkan berakhir dengan tidak sesuai ekspektasi? Bagaimana jika relasi yang dibangun ternyata jadi beracun, penuh parasit, bahkan destruktif? Tentu saja semua punya resiko. Bahkan dengan pengalaman seperti itu, orang cenderung menghindar dan jadi traumatis untuk memulai sesuatu yang baru kembali. Padahal dalam dimensi situasi, ruang dan waktu yang berbeda maka orang yang dihadapi adalah berbeda pula. Pelajaran pertama dalam hal ini untuk mereduksi ketidaknyamanan yang terjadi adalah dengan membaca pola relasi secara jeli. Relasi yang baik tentu saja berhubungan dengan orang yang baik. Baik buruknya seseorang tentu butuh waktu untuk mengenali, tetapi dengan menempatkannya pada pola relasi serta bagaimana dia bereaksi, berinteraksi dan sinergi yang dibangun. Menahan diri untuk tidak terlalu antusias adalah sama bagusnya dengan melihat apakah orang lain juga punya antusiasme yang berlebih. Sebab antusiasme sudah pasti muncul meninggi di awal. Semua punya ekspektasi masing-masing. Antusiasme yang terlalu tinggi akan merendahkan kemampuan berpikir secara sehat dan juga menutup agenda apa yang harusnya sudah terlihat. Agenda? Wajar, sebab tidak ada orang yang tidak punya rencana. masalahnya apakah agenda tersebut sama atau tidak, menguntungkan atau tidak menguntungkan.
Dengan demikian, pelajaran kedua adalah bagaimana seseorang untuk berani menolak atau menyangkal sesuatu yang tidak menguntungkan di dalam relasi. Untung atau tidak untung bukanlah diterjemahkan secara material melainkan energi yang diberikan dalam menjalani hubungan dengan orang lain. Jika energi tersebut mendapat tempatnya, membuat perasaan nyaman secara bersama, maka sekurangnya akan ada prospek ke depan. Akan tetapi jika diri merasa lelah, harus selalu berkomitmen, harus menjadi pihak yang berinisiatif, atau bahkan menjadi obyek penderita yang dirugikan secara psikis, sosial bahkan politik ya buat apa? Sebab energi adalah milik personal yang harus mendapatkan timbal balik, dirayakan secara asli dan dihargai apa-adanya. Apalagi yang dihadapi adalah soal relasi yang dalam bentuk apapun selalu punya dimensi situasi, ruang dan waktu yang berbeda.
“There are only two kinds of people who can drain your energy: those you love, and those you fear. In both instances it is you who let them in. They did not force their way into your aura, or pry their way into your reality experience.” ~ Anthon St. Maarten
Situasi apa yang terjadi ketika akan menjalin relasi? Apakah dalam kondisi benar-benar butuh, atau hanya karena gengsi dan nggak enakan sama yang lain? Ruang macam apa yang ada? Apakah relasi yang mau dibangun atas kedekatan profesional ataukah personal? Waktu berapa lama yang sudah ditempuh? Apakah sudah teruji, ataukah hanya cuma sekedar numpang lewat. Semua itu tentu saja bersifat relatif tapi sebagai dasar maka wajar saja digunakan untuk analisis. Tidak ada yang bersifat pasti. Semisal di dalam bisnis, mereka yang akhirnya berhubungan erat dan bisa bekerja sama adalah orang-orang yang baru dikenal atau bahkan sudah pernah kenal lama tapi tidak intensif. Mereka yang sudah dekat sekian lama pun bisa punya potensi menusuk dari belakang. Nah, apalagi relasi yang bersifat dan untuk kebutuhan personal. Ketika energi yang digunakan tidak seimbang dan cuma bikin lelah badan, capek hati dan buta mata maka buat apa? Nggak sehat kok masih aja kepala batu.