Sebenarnya ini mau ngomongin soal privilese; kemudahan-kemudahan yang didapat sebagai bagian dari atribut sosial seseorang. Sebab betapa seringnya kita mendengar success story atau kisah keberhasilan yang konon bagi orang-orang tertentu adalah mulai dari titik nol sampai jadi berhasil. Seperti apa? Mungkin buat pebisnis generasi pertama sering terdengar bahwa mereka mulai dari kondisi yang benar-benar sulit. Anak tukang cuci, buruh kasar, tidak mengenyam pendidikan tinggi, tapi dengan semangat yang ulet, pantang menyerah, jualan pake gerobak, jatuh bangun, ditipu, ditipu lagi tapi jadi pembelajaran yang kemudian berhasil membangun imperium bisnis yang kemudian menggurita dalam beragam korporasi di bawah naungan grup yang dipimpinnya.
Sudah menjadi cerita klasik pula jika generasi kedua dan ketiga yang sudah mengecap manisnya keberhasilan orang tua atau kakek neneknya itu kemudian menjadi sedikit lebih santai. Kalo pun mau kelihatan ulet, ya butuh pencitraan bahwa mereka juga bisa menjadi rada Spartan meski tidak setangguh pendahulunya. Semisal ada yang pake sepatu butut untuk menunjukkan bahwa yang bersangkutan bisa berhemat. Come on, nggak perlu begitulah. Lu juga bisa kok beli pabrik sepatu. Tapi nunjukkin kebututan macem demikian itu malah jadi punya impresi pelit ketimbang berhemat kan? Itu juga sama dengan pake mobil Kijang Super ke kantor dengan sejumlah sticker produk di kaca belakang. Secara nggak langsung mau nyindir para pegawainya yang pake Fajero Portuner cicilan. Emang sih mobil tua, sebab rumah di Hawaii kan nggak bisa dipamerin. beda sama anak buahnya yang mungkin masih pada ngontrak di pinggiran Jakarta.
Jadi kisah kesuksesan itu sebenarnya buat jaman sekarang rada-rada bullshit juga sih. Buat para pebisnis, elit ekonomi bahkan politik juga tidak bisa terlepas dari peran keluarga besarnya. Itu sama seperti kalo mihat Bill Gates, Elon Musk, George Bush, dan lainnya. Secara tradisi sejak abad lalu memang sudah kaya dari lahir. Orang berpunya. Bukan orang kaya baru yang norak pamer harta karena bosan miskin. Jadi kalau seandainya mereka juga nggak lulus kuliah, minimal kan drop out juga dari Harvard atau Ivy League lainnya. Bukan dari kampus ruko pinggir kali yang buka cabang dimana-mana. Tidaklah mengherankan juga untuk merawat pengaruh dan menjaga privilese, maka relasi sosial politik ekonomi juga menjadi sesuatu yang berkembang di antara mereka. Mau pinjem berapa triliun tinggal telpon, ngawinin anak yang satu dengan yang lain supaya kekuasaan bisa langgeng. Biasa itu.
Hal yang sama juga tejadi di negara ini. Pergaulan menjadi kunci agar kekuasaan tetap terpegang dengan baik. Anak menteri pacaran dan kawin dengan anak menteri. Anak jendral dengan anak jendral. Anak pengusaha ketemu juga dengan sesama pengusaha. Semakin jejaring sosial itu berkelindan, maka posisi sosial politik ekonomi menjadi terjamin. Cerita anak pejabat tinggi kawin sama anak tukang bakso depan rumah itu cuma ada di sinetron yang sudah pasti ending-nya happily ever after. Sementara dalam jejaring sosial yang sesungguhnya, pemetaan tidak akan sesederhana itu. Lihat saja pas pemilu. Siapa yang naik, pasti bernafas lega akan membawa gerbongnya yang sudah antri panjang sejak lama. Siapa yang gagal, siap-siap nahan nafas bangun kekuatan untuk lima tahun berikutnya. Ini nggak cuma politik, tapi juga konsekuensinya terhadap sektor lain seperti ekonomi, sosial dan sebagainya.
"The more privilege you have, the more opportunity you have. The more opportunity you have, the more responsibility you have." ~Noam Chomsky
Dengan demikian, cerita sukses itu hanya isapan jempol jika tidak membangun jejaring yang memadai. Kalo mau jadi rampok ya bergaul sama rampok. Bukan sama tukang copet pastinya. Mau jadi gagak ya bareng sama gagak, bukan sama sama segerombolan ayam sayur. Berarti sukses adalah juga perkara pola pikir kan? Soal bagaimana niat mengeskalasi status sosial. Baru terakhir adalah modal baik nyali, duit, dan pastinya peluang. Orang bisa saja punya nyali, duit dan peluang. Tapi tanpa pola pikir dan jejaring sebagai modal sosial yang meluas ya cuma jadi jagoan kampung. Sebaliknya sama saja dengan yang punya jejaring dan mindset. Tanpa nyali ya cuma menggantung saja kepada keluarga macem biji lapuk.
Itulah sebabnya memiliki privilese juga nggak mudah. Hidup bakal punya tanggung jawab lebih. Pusing gimana melangsungkan bahkan melanggengkan kuasa, relasi dan modal. Pening menjaga nama besar keluarga, reputasi yang sudah lama dibangun dan juga pastinya karakter personal yang bersangkutan. Puyeng mikirin aliran duit yang bisa banyak, utang pun bisa banyak. Jelas beda sama situ yang ngebon di warung aja sampe bikin nggak bisa tidur, malu keluar rumah takut diomongin tetangga. Jadi selain jejaring, pola pikir, nyali, duit dan peluang, maka mental pun juga kudu dibangun. Itu saja sudah generasi kesekian. Apalagi generasi pertama yang merintis. Betapa susahnya untuk bisa dibayangkan saat ini. Beda jauh juga sama mereka yang berlagak kaya, sok punya kuasa, padahal cuma berada di pinggiran. Model begitu sekalinya remuk, susah buat bangun lagi. Mau bikin imperium? Bergaul dulu yang bener. Sebab jaman gini nggak ada yang mulai dari nol kecuali bareng mbak-mbak penjaga pom bensin, "Kita mulai dari enol ya masee..."