Pada hakekatnya, manusia punya akal, perasaan atau emosi dan nyali. Akal adalah semua kegiatan rasional untuk bisa memutuskan sesuatu. Perasaan atau emosi adalah segala kegiatan untuk menimbang dengan faktor yang tak terlihat atau dirasakan. Nyali adalah insting manusia untuk bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh akal atau dirasakan oleh emosi. Lengkap bukan?
Tapi dengan semua kelengkapan itu, seringkali manusia tetap saja bodoh. Mengapa? Selain koordinasi yang lemah di antara ketiganya, pengambilan keputusan bisa saja menjadi berat sebelah, kurang data serta minus wawasan. Orang yang terlalu mengutamakan akal, seringkali keliru memutuskan sesuatu karena tidak ada data. Dengan tidak ada data, berarti hanya sekedar opini. Mengandalkan opini saja, apalagi pendapat orang lain yang didengar sebagai sebuah kebenaran akan menuntun masuk ke jurang.
Sama halnya dengan mereka yang mengandalkan perasaan atau emosi. Tidak bisa melihat dengan jelas bahkan buta. Akal yang mencoba menjelaskan, malah tidak dihiraukan. Memutusakan sesuatu dengan emosional, sudah seperti membakar diri sendiri dan tidak dapat melihat risiko atau prospek ke depan. Dengan emosi orang bisa berpuas diri dan melampaui akal sehat, tapi risiko atau prospek yang tidak bisa dihitung jelas akan menimbulkan kerugian di masa depan.
Tanpa akal dan perasaan, apakah cukup mengandalkan nyali? Meski insting selalu benar, tapi dengan hanya mengandalkannya maka manusia kembali kepada masa primitif. Padahal persoalan manusia di masa sekarang dan masa depan sangatlah kompleks. Ada yang memaksa akal harus bekerja ekstra keras menimbang, ada pula yang sekaligus harus mengorbankan perasaan. Mengandalkan nyali saja, jelas tidak cukup karena hasil yang didapat hanyalah penggalan solusi sementara.
Jadi suka atau tidak, untuk mendapatkan hasil terbaik manusia tidak saja cukup mengandalkan akal, emosi dan nyali. Harus ada data yang diserap sebanyak-banyaknya. Harus ada langkah pengambilan keputusan dengan menimbang segala kemungkinan yang terjadi. Artinya, manusia yang cerdas tidak hanya mampu membuat kesimpulan tetapi juga proyeksi ke depan. Apa yang akan terjadi dengan memilih A, B atau C? Bagaimana dengan D atau E? Maka kecerdasan yang hakiki adalah bukan saja membuat proyeksi tetapi mampu melakukannya dengan secepat mungkin. Ini hanya bisa didapat dengan membiasakan diri, melatih menghadapi masalah dan kemudian mencernanya dengan baik.
“Stupidity lies in wanting to draw conclusions.” ~ Gustave Flaubert
Dengan kata lain, menjadi cerdas adalah harus mampu juga untuk selalu berpindah menyelesaikan satu masalah dan lainnya. Maka, tidak ada kenyamanan yang menyesatkan untuk tetap menggunakan cara yang sama, atau bahkan membiarkan masalah. Sebodoh-bodohnya manusia adalah hanya mengandalkan satu satu dari akal, emosi atau insting tanpa berpikir panjang untuk mencari solusi terbaik dengan keengganan untuk meninggalkan posisinya saat ini. Orang bodoh adalah mereka yang memimpikan kenyamanan dan berharap segala sesuatu bisa selesai dengan sendirinya. Padahal sudah jelas hidup penuh dengan risiko dan prospek. Ada yang harus didapat, ada juga yang mesti dikorbankan. Bisa suram, bisa juga cerah, tergantung dari perspektif, data dan kebiasaan untuk mengolah akal, mengelola perasaan dan juga menggunakan insting untuk memahami. pola. Mereka yang bodoh akan mengabaikan itu. Boro-boro baca pola, mengorbankan kenyamanan untuk sesuatu yang lebih baik pun ogah. Akhirnya memutuskan dengan gegabah. Emosi pula. Instingnya mandeg. Kembali ke gua aja kalo gitu kan?