Suka atau tidak, sebagian besar manusia itu demen bergunjing, alis ngegosip atau ghibah. Selain itu, pergunjingan juga bukan sekedar monopoli emak-emak di perempatan gang atau jalan komplek perumahan. Bergosip dilakukan oleh siapa saja, mau lelaki perempuan, tua muda, miskin kaya, dan lainnya. Dengan kata lain, ghibah itu bebas nilai. Siapapun pelakunya ya terserah tapi efeknya mematikan. Sebab bergunjing bisa memecah belah, memberi persepsi yang keliru atas datas yang invalid dan subyektif. Ibarat sayur, terlalu banyak garam sedangkan sayurnya sendiri cuma seuprit. Alih-alih enak dimakan, cuma nikmat sebentar di mulut sebelum dibuang ke orang lain. Bagaimana dengan korban pergunjingan? Sudah pasti jadi sasaran sorotan mata yang nggak pada tempatnya. Orang yang tidak mengenal sekalipun bisa berasumsi jelek terhadap dirinya.
Tapi kenapa sih orang demen ngegosip? Pertama, kebanyakan di antara mereka merasa insecure dengan dirinya sendiri. Untuk melepas rasa ketidakamanan atau ketidakpuasan diri, maka cara termudah adalah dengan mengadili orang lain. Mengetahui apa yang orang lain tidak tau, sudah pasti memberi rasa superior. "Eh lu tau nggak sih" adalah kalimat standar yang sering digunakan para pengghibah untuk menempatkan diri secara sosial bahwa dia lebih tau dan otomatis lebih unggul dari yang lain.
Kedua, orang yangbergunjing bisa saja punya kepribadian sadistis secara emosional; bersifat agresif, mengintimidati yang berakar dari gosip. Demen lihat orang lain susah menderita meski nggak ada hubungan sama sekali dengan dirinya. Ini bukti bahwa mereka sedemikian inferior sampai harus begitu kan?
Atau ketiga, bisa jadi para penggunjing itu benar-benar bosan. Mereka nggak bisa berpikir dan membicarakan hal-hal yang produktif atau kreatif. Nggak ada pengetahuan atau gagasan yang bisa mencerahkan. Ujungnya ya cuma sebata isu-isu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Keempat, para kepoers semacam itu dengan latar inferior dan bodoh, tentu saja punya kecemasan tersendiri di dalam hidup. Beda dengan mereka yang santuy serta tau apa yang diinginkan. Kehidupan yang serba monoton membuat para penyuka gosip merasa harus bisa mengontrol kecemasan. Caranya? Ya mulai mengalihkan pembicaraan tentang hidup yang nggak seberapa itu kepada pembahasan soal orang lain. Sudah pasti asyik, sebab yang ebrasangkutan kan nggak tau kalo lagi diomongin. Cemas pun berkurang karena fokus berpindah.
Kelima, mereka yang bergunjing lebih dari dua orang akan membentuk kelompok. Biasanya akan saling membandingkan untuk mana atau siapa yang mampu mendapat perhatian. tentu saja perhatian semacam itu bersifat kontraproduktif sebab tidak dihasilkan dari kapasitas personal. Perhatian yang ada dibangun dari eksklusi atau saling membicarakan satu sama lain. Maka sudah pasti sosok yang paling getol gegosipin orang lain yang tidak hadir, akan gantian dighibahin ketika dia nggak ada. Pait kan?
“Don't waste your time with explanations: people only hear what they want to hear.” ~Paulo Coelho
Nah, bagaimana caranya untuk menghindari gosip? Sudah barang tentu harus menghindar dan menjauhi orang-orang semacam itu. Abaikan dan nggak perlu memberi perhatian, apalagi sampai mengukur diri berkaitan dengan bias informasi yang diterima. Mengapa? Sebab itu nggak ada gunanya. Semakin menghindar dan menjauh dari radar serta tidak peduli dengan gosip adalah cara terbaik. Masih banyak yang bisa dilakukan ketimbang gantian ngurusin orang-orang yang merasa sakit hati, inferior, nggak mampu, tapi kerjanya cuma ngemeng doang. Mau dilabrak juga percuma; akan membuat diri menjadi setara dengan yang tidak perlu dipikirkan. Menjadi ribet hanya karena orang cari perhatian. Kan bisanya memang segitu; ngapain balik diseriusin?