Jika dibandingkan dengan binatang, sebenarnya manusia tergolong makhluk yang paling lemah. Bayangin aja, bayi binatang begitu lahir sudah bisa berdiri atau bahkan cari makan sendiri dalam hitungan hari atau minggu. Manusia baru mampu berdiri secara fisik dalam waktu sembilan bulan, butuh hitungan tahun untuk bisa berjalan normal dan berlari. Cari makan? Bahkan sampe puluhan tahun masih ada juga yang minta sama orang lain. Hewan juga nggak kenal yang namanya investasi sosial ekonomi. Begitu menjelang ajal ya sudah. Tinggal perkara mati. Manusia pastinya beda. Hingga menjelang ajal malah balik disapih dan dirawat balik oleh keturunan bahkan insitusi. Nggak tau malu sih sebenernya.
Tapi begitulah manusia. Ketika mempertanyakan sejauh mana bisa berdiri di atas kaki sendiri bukan dalam pengertian fisik, atau tegasnya dalam konteks kemandirian tentu akan jauh lebih sulit. Sejak awal, kelebihan manusia adalah menggunakan akalnya bukan saja dalam soal mencipta atau memproduksi apapun, tetapi juga membuat agar segala sesuatu menjadi jauh lebih mudah. Apalagi jika sudah punya daya finansial yang lebih baik, maka apapun serba gampang. Akan tetapi ini pun bisa jadi kebablasan. Contoh sederhana adalah soal pengasuhan. Di negara ini, pengasuhan yang dilakukan oleh baby sitter, pembantu atau tenaga berbayar lain dianggap sebagai sebuah kemudahan, privilese, status sosial dan alasan tepat untuk mengatasi kesibukan. Banyak orang tua yang jago bikin anak, tapi ngerawatnya pun ala-ala. Apalagi secara sistem kebutuhan dan kewajiban semacam itu sudah bisa dipenuhi oleh yayasan, suster dan sebagainya.
Konsekuensinya sih jelas, anak jadi terlindungi dan tercukupi. Saking terlindung dan cukup maka si anak menjadi kesulitan untuk melakukan problem solving, assessing situation dan decision making yang terus menghantui seumur hidup. Gimana nggak, sehari-hari tinggal buka mulut buat disuapi, pe-er dibikinin, apa-apa dilayanin. Itu pun sama mbaknya. Orang tua paling cuma kontrol dan sesekali selfie soal kebersamaan. Begitu masuk dunia kerja, yang nggak ada di dalam dunia hewan pastinya tentu akan mengalami banyak kesulitan. jatuh bangun di situ. Dikit-dikit minta resign, kagak betah, merasa lingkungan toxic, butuh healing, terus staycation, pindah lagi. Ketika diminta untuk membayangkan masa depan, sudah tentu penuh dengan kecemasan karena nggak tau harus berbuat apa. Itu baru generasi yang terakhir. Bagaimana jika kelak mereka jadi generasi parenting atau bahkan menggantikan posisi baby boomers yang selalu jadi kambing hitam soal gaya konvensional dan konservativisme? Jadi mau berdaya secara sosial ekonomi sekalipun, manusia adalah yang terlemah dalam soal survival. Nggak lebih dari binatang yang komposisi tubuhnya 80% air dan sisanya kecemasan. Persis kayak timun yang takut dirujak.
“I've known humans, and I know beasts. The beast is better. It is unpretentious. It kills for food. Humans do 'cause they're just not any good.” ~Fakeer Ishavardas
Itulah sebabnya menatap masa depan menjadi sangat kompleks dan mengerikan. Beda dengan hewan yang hidupnya linier; lahir, makan, berak, mati. Manusia justru sebaliknya. Akan tetapi pilihan-pilihan yang dilakukan adalah bebas ketimbang binatang. Ada yang kemudian tercerahkan dan sadar bahwa hidup harus diisi dengan lebih baik, ada juga yang malah menjadi semakin malas dan hanya mimikri fase kehewanan yang udah ada; lahir, makan, berak, mati. Sesekali ya kawin. Tapi kemalasan sering kali bukan karena tidak tau. Justru karena manusia tau betul bahwa hidupnya yang medioker itu nggak akan kemana-mana berbanding lurus dengan usia dan kesempatan. Ya udah sih akhirnya gitu aja. Cuma saling mengganduli satu sama lain, meregang kaki hingga nyawa kelak. Sambil sesekali ngedumel, sirik, gosip dan bikin skenario kesuksesan yang nggak jalan juga. Selesai akhirnya.